Giselle Youra Kalen, seorang gadis yang harus menyelidiki keanehan dibalik kematian ayahnya (Adison) secara diam-diam. Giselle merasa ada sesuatu yang disembunyikan ibunya (Melanie) dibalik kematian Adison. Victor Sorren adalah seorang yang cerdik dan tak kenal takut. Dia adalah orang kepercayaan Adison. Tidak ada seorang pun yang mengenal Victor termasuk Melanie dan Giselle. Victor terpaksa menyamar menjadi seorang sopir dan mengubah identitasnya menjadi Ren agar bisa membantu Giselle menyelidiki kematian Adison. Victor dan Giselle banyak menghabiskan waktu bersama untuk menyelidiki kematian Adison hingga mereka tidak menyadari kalau keduanya sudah saling jatuh hati. Victor menyadari kalau cintanya pada Giselle tidak boleh berlanjut karena ada sebuah janji yang harus dia tepati.
"Pagi itu semuanya berubah menjadi gelap, tak ada selipan cahaya sedikit pun bahkan di lubang pintu yang masih menganga lebar tidak dia temukan sedikit pun cahaya yang mencoba menyelinap masuk. Seorang gadis paruh baya duduk meringkuk dalam ruangan sempit yang kapan pun bisa menerkamnya. Alunan musik klasik menemani dia yang mulai mengantuk dan mulai terlelap. Dia tertidur namun tidak dengan pikirannya, ia berjalan semakin jauh bahkan dia lupa dari mana langkahnya dimulai."
"Buset cerita lo serem banget Gi!" ucap seorang pria tengil di kelas itu "Mendingan lo ceritain cerita yang romantis, cerita kita berdua mungkin?" ucapnya lagi dengan wajah nakalnya. Sontak saja suasana hening berubah ramai dan dipenuhi gelak tawa akibat ulah Rico, dan Giselle tentu saja membenci hal itu.
"Sudah sudah, kita dengarkan dulu cerita Giselle. Silakan lanjutkan." ucap pak Lucas melerai tawa yang memenuhi seisi kelas pagi itu.
"Dia berjalan semakin jauh dan masuk ke dalam sebuah tempat yang lagi-lagi gelap tanpa pencahayaan sedikit pun. Tidak merasa takut, dia justru merasa jauh lebih nyaman. Perlahan dia melihat sekelilingnya, mencoba mengenali tempat berukuran 1 x 2 meter tempat dia tertidur sekarang ini. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak dan semakin sesak saat dia menyadari tempat itu tidak memiliki pintu keluar. Dia memukul sebuah kayu kokoh di depannya, memukul dengan sangat kuat sampai dia terbangun dan tersadar kalau itu adalah bayangan dari pikirannya sendiri sesaat setelah dia melihat sebuah kereta melaju sangat kencang di depannya, mengibas hampir seluruh rambutnya dan menutup setengah wajahnya yang sudah penuh dengan keringat..."
"Baiklah, saya rasa cerita kamu cukup sampai di sini saja"
"Tapi ceritanya belum selesai Pak"
"Kamu selesaikan saja di kertas yang sudah saya bagikan tadi, silakan kembali ke tempat duduk kamu"
Giselle kembali ke tempat duduknya dan memandang kertas kosong di depannya. Entah apa yang kini ada di pikirannya, tentu hanya dia yang tahu.
"Woy! Cerita lo barusan tentang orang yang mau bunuh diri ya?" bisik seseorang di sebelah Giselle.
Giselle menoleh ke arah Rico dan menatapnya. "Kamu mau tahu kelanjutan ceritanya?"
Rico langsung menggeleng dan menjauhkan tubuhnya yang sempat mendekat ke arah Giselle. "Ga deh, makasih"
Itu adalah sepenggal dari kejadian yang bersarang di dalam ingatan Giselle. Masih banyak lagi selama bayang-bayang kejadian sialan itu terus bersarang di kepala Giselle. Ingatan tentang kejadiaan naas itu seperti bayangan yang selalu ada bersama Giselle dan senantiasa mengikutinya kemana pun dia pergi.
"Giselle! Bagun sayang sudah jam 8 pagi, kamu ga ke kampus?" teriak seorang wanita sembari membuka tirai hitam penutup jendela kamar Giselle. Sinar matahari sontak menyambar wajah gadis itu yang masih bersatu dengan bantal.
"Ahhh, tutup lagi tirainya!"ucap Giselle seraya menutupi wajahnya dengan bantal lain.
Melanie menarik bantal dan selimut yang menutupi tubuh Giselle. "Gi...bangun sekarang!" ucapnya dengan kedua tangan yang sudah berada di pinggang rampingnya. "Mama tidak mau kamu terlambat lagi, hari ini kamu diantar sama Tuan Ren."
Giselle mengerutkan dahi mendengar nama yang asing di telinganya. "Siapa Tuan Ren?"
"Dia sopir baru dan tugas dia adalah mengantar dan menjemput kamu."
"Aku kan sudah punya Pak Tedi" ucap Giselle kembali menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya.
"Pak Tedi sudah tidak bekerja dengan keluarga kita"ucapan Melanie berhasil membuat Giselle melepas selimutnya dan berdiri dari tempat tidur. "Mama pecat Pak Tedi? Kenapa?"
"Itu semua demi kebaikan kamu" ucap Melanie setelah diam beberapa saat. "Kalau kamu tidak berbohong terus-terusan sama mama, mama tidak akan pecat Pak Tedi." ucap Melanie menyilangkan tangan di depan dadanya.
Giselle mendengus kesal. "Tidak ada yang boleh memecat Pak Tedi selain papa!" ucap Giselle penuh penekanan dengan tatapan tajam mengarah jelas wanita yang ada di depannya itu.
"Papa kamu sudah meninggal!" jawab Melanie tak kalah tegas. "Cepat siap-siap! Pak Ren sudah menunggu di bawah." Melanie pergi meninggalkan Giselle yang masih kesal dengan keputusan sepihaknya. Memang seperti itu, Melanie kerap membuat sebuah keputusan tanpa meminta pendapat putrinya, termasuk keputusan yang menyangkut kehidupan pribadi Giselle.
Setelah selesai bersiap Giselle turun dan langsung menuju halaman depan. Dia berjalan begitu saja mengabaikan dua orang yang sedang duduk menyantap sarapan mereka di meja makan.
"Sarapan dulu Gi" ucap seorang pria dengan setelan kemeja rapi bernuansa biru tua yang duduk di sebelah Melanie, berusaha mencegat Giselle yang lewat di depannya.
"Tidak perlu, Pak Ren sudah menunggu" jawab Giselle dengan menatap ke arah Melanie yang duduk tepat di sebelah pria itu.
"Pak Ren bisa menunggu kamu selesai sarapan Gi" Melanie membuka suara berharap putrinya itu mau mendengarkannya.
Giselle kembali menatap Melanie dan seorang pria di sebelahnya secara bergantian, kemudian berjalan mendekat ke meja makan dan duduk di kursinya.
"Saya senang kamu mau sarapan bersama kami" ucap pria itu dengan senyum sumringah.
Giselle diam sejenak lalu menatap dingin pria itu. "Siapa bilang aku akan sarapan dengan kalian?"
"Gi...jaga sikap kamu" ucap Melanie yang mulai emosi melihat tingkah putrinya itu.
Seolah tak peduli dengan ucapan ibunya, Giselle mengalihkan pandangannya pada wanita tua di sebelahnya."Bi, tolong ambilkan tempat bekal yang ada di meja kamarku."
"Jangan di ambil!" ucapan Melanie menghentikan pergerakkan bibi yang masih berada di pinggir meja makan. Bibi memang selalu berada di pinggir meja makan setiap kali keluarga itu makan bersama. Wajah Melanie merah padam tatapan tajamnya kini membalas tatapan dingin Giselle.
"Kalau bibi tidak bisa, aku saja yang mengambilnya sendiri." ucap Giselle yang sudah berdiri dari tempat duduknya.
"Ambilkan tempat bekalnya Bi" ucap pria di sebelah Melanie. Seketika pandangan Giselle dan Melanie serentak mengarah padanya.
"Ini masih pagi Mel, aku tidak mau ada keributan."
Bibi pun beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju kamar Giselle yang berada di lantai dua rumah mewah itu. Tak lama kemudian bibi datang dengan tempat bekal berwarna putih di tangannya, dia pun memberikan tempat bekal itu pada Giselle. Tanpa membuang waktu Giselle segera mengisi tempat bekal itu dengan roti lapis yang ada di depannya.
"Aku akan pergi sekarang. Terima kasih sarapannya, Ma...Om Lucas, atau harus saya panggil Pak Lucas" ucap Giselle dengan menaikkan sebelah alisnya lalu beranjak pergi meninggalkan mereka dengan wajah kesalnya.
Giselle beranjak ke halaman depan rumah dan mencari Pak Ren, meskipun dia sendiri tidak tahu seperti apa wajah Pak Ren.
"Permisi Nona" ucap seorang pria bertubuh tinggi kekar dari belakang Giselle.