Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hello, My Secret Boyfriend

Hello, My Secret Boyfriend

Gianna Eucalyptus

4.5
Komentar
1.6K
Penayangan
22
Bab

Setelah dicampakkan dengan teman sekaligus pacarnya, Daniar memilih untuk tetap bertahan. Kehidupan di kampusnya mengadu pertahanannya, ia hampir saja menyerah. Namun, pertemuannya dengan @heroisme34 lewat dunia maya membuat hidupnya memiliki kebahagiaan yang belum ia rasakan sebelumnya. mereka berkencan, namun berjanji untuk tidak saling mencari identitas masing-masing. sayangnya, ia harus berhadapan dengan Sabda, seorang kakak tingkatnya yang sangat ambisius untuk menjadi Presiden BEM, sebuah organisasi tertinggi di lingkup mahasiswa. Daniar hanya ingin bahagia, @heroisme34 telah memberikannya. Dan berhubungan dengan Sabda, membuatnya semakin berani dengan ketidakadilan yang ia dapatkan selama ini. jika waktu berpihak kepada kebahagiaan Daniar, akankah mungkin salah satu dari mereka menjadi pasangan hidupnya?

Bab 1 1 - Sebuah Mula

Mahasiswa, dengan segala keistimewaannya, didamba oleh masyarakat untuk berbuat 'sesuatu'. Mereka terpilih lewat beberapa seleksi. Mereka telah direkrut untuk beberapa fungsi, salah satunya adalah agent of change yang berarti agen perubahan.

Seorang anak laki-laki yang tengah termenung di pelataran perpustakaan kampus juga sedang memikirkan, apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa sepertinya?

"Udah, nggak usah dipikir!" seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

Anak tersebut menoleh ke belakang. "Aku benci rapat sampai dini hari seperti ini."

"Aku tahu," jawabnya kemudian mengambil kartu identitasnya yang jatuh.

"Aku ngantuk banget, Am. Sedangkan nanti ada acara kementrian pas daftar ulang."

Liam mengangguk paham. "Ayo ke kedaiku dulu. Aku bikinin kopi. Barusan dapet dari Flores." Ia menunjukkan sebuah kantong yang bisa dipastikan berisi biji kopi.

"Itu yang Bajawa atau Manggarai?" tanyanya lagi sambil membolak-balikkan kantung tersebut yang tidak memuat keterangan apapun.

"Bajawa. Ini kan pesenanmu, Sab. Kamu nggak ingat?" tanya Liam kembali.

Sabda yang daritadi hanya melamun karena merasa capek dan kesal karena rapat semalaman menggali ingatan yang belum juga ia temukan. "Aku nggak inget."

"Pekan lalu kamu protes kenapa latte-mu pakai kopi Java Raung. Nggak inget juga?"

Sabda menyerah. Ia benar-benar lelah. Ia tidak ingin melakukan sesuatu yang membuatnya mengeluarkan tenaga, termasuk mengingat-ingat apa yang pernah ia keluhkan. Padahal, ia sering melakukan protes terhadap banyak hal.

"Udah, ayo kamu tidur di kedaiku aja, daripada di sini. Kamu juga nggak sanggup buat pulang ke kosan kan?"

Sabda setuju. Ia mengikuti Liam dari belakang dengan mata yang berusaha untuk terbuka. Ibarat baterai ponsel, ia sudah berada di sisa lima persen untuk bertahan.

Liam membuka pintu kedainya, mengganti tulisan yang ada di pintu dari 'Closed' ke 'Open'. Kedainya tidak besar, hanya seluas tiga puluh meter pesegi, dan berada di dalam gedung kantin milik kampus yang menjadi tempat studi bagi Sabda. Liam mengamati kedai-kedai di sekitarnya, beberap sudah siap beroperasi. Sebelum menyiapkan peralatan kopi untuk digunakan, Liam mampir ke kedai sebelah untuk membeli dua porsi bubur ayam.

"Bubur ayam dua ya, Ning."

Ningning, penjual itu, menggangguk dan segera membuatkan pesanan Liam. "Satu buat Bang Sabda ta, Mas Am?" tanya Ningning yang seringkali memanggil Liam dengan Mas Am.

"Iya."

"Kayaknya tadi malam rame banget di sekre BEM," Kata Ningning.

"Loh, ngapain ke sana kamu, Ning?"

"Nganter cireng ke sana, Mas. Kayaknya Bang Sabda gontok-gontokan sama orang-orang di sana."

Liam mengangguk. Seakan-akan telah memahami bagaimana situasi ketika Sabda 'gontok-gontokan' dengan orang- orang di sana.

"Ini mas. Udah lunas ya mas," kata Ningning memberikan dua bungkus bubur ayam kepada Liam.

"Lunas apaan, Ning?"

"Kan kemarin saya pinjem uang ke Mas Am. Nggak inget?"

Liam masih mencari ingatan itu. "Aku lupa, Ning. Tapi makasih, ya."

Ningning mengangguk dan tersenyum.

Liam kembali dan mendapati Sabda tertidur di balik meja kasir. Bubur ayam yang baru saja dibelinya disimpan di sebuah lemari yang tak jauh dari sana.

"Kamu habis dari mana, Am?" tanya Sabda yang masih dengan mata tertutup.

"Tidur aja kenapa sih? Bukannya nanti jam sembilan pembukaan pendaftaran maba?"

"Aku nggak sanggup. Aku ngantuk banget."

Liam pun membuka lemarinya dan memberikan sebungkus bubur ayam kepada Sabda. "Makan dulu aja deh. Siapa tahu setelah itu nggak ngantuk."

"Kenapa kamu buka sepagi ini, Am?"

"Kan ada acara daftar ulang? Lagian, nanti jam delapan aku harus ngirim kopi ke divisi keuangan."

"Owalah," kata Sabda kemudian membuka bungkusan dari Liam.

"Kata Ningning kamu debat lagi sama anak-anak?"

Sabda mengangguk.

"Aku mau nanya kenapa, tapi pasti setelah ini kamu bakalan cerita."

Sabda tersenyum sinis. "Mereka tetap mau adakan ospek malam lagi."

"Lagi?"

"Bukannya beberapa jurusan udah nggak mau adakan ospek malam lagi?" Liam penasaran, sampai-sampai ia menghentikan pekerjaannya.

"Sini lah, makan sama aku. Aku ceritain kronologinya."

Liam menurut. Ia pun membuka bungkusan satu lagi dan mengambil di sebelah Sabda.

"Karena pak presbem yang memutuskan, mau gimana lagi?"

"Tapi, presbem nggak dengerin pendapat ormaju yang lain? Bukannya arsitek dan kimia udah nggak mau ngadain lagi?" Liam pun merasa kesal dengan pemimpin BEM yang biasa disebut presbem itu.

"Yap. Kamu tahu kan di belakang presbem ada siapa?"

"Apa sih gunanya ospek malam kayak gitu?" Liam semakin kesal, karena hal ini sudah terjadi berulang kali.

"Nggak penting pakai maksimal. Nggak penting banget. Mereka bilang supaya besok ketika jadi alumni bisa saling membantu, ikatan menjadi kuat, blabla. Seperti itu," kata Sabda sembari memberikan suapan terakhir bubur ayamnya.

"Tapi kan sudah ada korban," kata Liam menyesali apa yang telah diputuskan walaupun ia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa karena bukan mahasiswa di sana lagi.

"Tapi ormaju bahkan BEM tutup mata. Mereka cari aman."

"Haruskah orang rektorat mengetahuinya?"

"Entahlah." Sabda telah selesai makan dan berjalan menuju meja kasir yang berbaris macam-macam alat untuk menyeduh kopi. "Aku minta kopi."

"Bayar pakai apa?" tanya Liam menatap garang kepada Sabda. Sedangkan Sabda mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya.

Liam tertawa melihat apa yang dilakukan Sabda. "Aku Cuma minta satu shot espresso aja," kata Sabda sambil memanaskan mesin espresso yang ada di kedai Liam.

"Terserah kamu lah." Liam menyelesaikan makanannya.

Kedai milik Liam yang diberi nama 'Kedai Kale' itu dipenuhi oleh aroma dan suara kopi yang sedang digiling. Bagi Liam dan Sabda, aroma biji kopi yang baru saja dipecah adalah surga. Di sela-sela tangan Sabda yang sibuk membuat espresso untuk dirinya, suara notifikasi ponsel milik Liam tidak berhenti berdering.

"Itu suara apaan sih, Am?" tanya Sabda yang mulai jengkel karena dirasa berisik.

"Ini?" Liam menunjukkan ponselnya yang menyala. "Aku lagi ngedate."

"Ha?" mulut Sabda menganga cukup lebar. "Kupikir kamu nggak suka cewek."

"Sialan," Kata Liam.

"Kamu beneran pacaran, Am?" tanya Sabda masih tidak percaya.

"Ya, nggak lah. Aku Cuma chatting aja sama cewek di grup pecinta kopi ini," kata Liam menegaskan.

"Kamu nggak mau nyoba? Nyari pacar lewat daring kayak gini mungkin nggak butuh ketemu dan nggak berat di ongkos."

"Hmm. Aku nggak pingin dulu."

"Tapi kamu masuk dulu di grup ini. Bahasannya tentang kopi lumayan banyak. Bisa bikin kamu refresh dari kejenuhan politik kampus," saran Liam yang ternyata menggoyahkan hati Sabda.

"Apa nama grupnya?"

"Love at The First Cup," kata Liam. "Beberapa orang ada yang jadian di sini. Grup Diskusi berubah jadi grup cari jodoh. Hahaha."

Sabda mengambil ponselnya dan memeriksa grup yang diceritakan oleh Liam. Setelah masuk, ia membaca postingan-postingan yang ada di sana.

"Espressomu keburu dingin kalau ngga segera diminum," ujar Liam kemudian menyiapkan pesanan kopi untuk para karyawan di divisi keuangan.

**

Sabda baru saja menyelesaikan gilirannya untuk menjaga stan kementrian di acara pendaftaran mahasiswa baru. Dia segera menuju Kedai Kale untuk menemui Liam, lebih tepatnya mencari acara untuk menghabiskan waktu karena di tempat kosnya dia kesepian.

"Kamu mau kopi juga nggak?" tanya Liam.

"Mau lah. Latte dua shot tanpa gula."

Belum sempat Liam membuat kopi untuk Sabda, seorang gadis dengan rambut sebahu datang ke Kedai Kale. "Halo, apakah Caramel Latte ada?" tanyanya.

"Ada, kak."

"Saya pesan satu."

"Atas nama siapa?"

"Daniar."

Liam menuliskan nama 'Sabda' dan 'Daniar' pada dua gelas kopi yang berbeda. Namun, Sabda yang berada di sebelah gadis itu tersenyum sinis. Dasar, cewek-cewek suka kopi dengan gula apa gunanya? pikirnya.

"Baik, ini kak kopinya. Terima kasih."

Gadis itu keluar dari Kedai Kale dan Sabda menerima kopinya. "Sepertinya aku mau ambil rencana selanjutnya. Tapi, aku benar-benar harus kuat," kata Sabda.

"Yang-- kamu jadi presbem?" tanya Liam memastikan.

Sabda mengangguk. "Sebelum ada korban lagi di kemudian."

"Raya gimana?"

"Raya yang nyaranin, bahkan," kata Sabda sembari meneguk kopi susu hangatnya. Belum sampai tiga detik, Sabda memuntahkan apa yang baru saja ia minum. "Ini manis banget!" Sabda mengeluarkan lidahnya seakan-akan tak sanggup menahan rasa manis yang ia terima.

Liam mengernyitkan dahinya. Ia memeriksa gelas kopi milik Sabda. Namun, yang tertulis di gelas Sabda adalah 'Daniar'.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku