Secret Affair With Hot Captain

Secret Affair With Hot Captain

Thearraaa

5.0
Komentar
338
Penayangan
20
Bab

Di setiap pelabuhan ada seorang wanita berbeda yang menunggu kedatangan seorang pelaut. Kalimat itu sudah tidak asing lagi bagi seorang pelaut dan hal itu benar adanya. Di setiap kota yang Gilang kunjungi pasti ada wanita yang selalu ia temui, sampai pada akhirnya kapal yang ia bawa berlabuh di sebuah kota dan ia bertemu dengan teman masa kecilnya, Kyra Pandhita. Kyra dengan sikapnya yang realistis sangat takut untuk memulai suatu hubungan percintaan. Ketika kembali bertemu dengan cinta pertamanya sewaktu kecil dahulu, rasa itu kembali muncul. Gilang yang mengajarinya arti sebuah hubungan pun berhasil membuat dirinya dilemma. Lantaran pria itu sudah mempunyai seorang kekasih. Sedangkan Gilang berhasil dibuat bingung atas desakan sang pacar-Joysella, untuk segera menikahinya. Sedangkan Gilang sendiri tidak tahu ke mana sebenarnya hatinya itu inginkan. Ke teman masa kecilnya, ataukah ke kekasihnya.

Bab 1 Part 1; Gilang Dan Kebiasaannya

Kapal pesiar Goldensea yang membawa lebih dari lima ratus penumpang kembali berlabuh di pelabuhan Singapura. Kapal pesiar dengan rute Singapura – Perth – Indonesia dan akhirnya kembali berlabuh di Singapura, telah menghabiskan waktu dua puluh satu hari di tengah lautan. Gilang Mahendra selaku salah satu nakhoda kapal pesiar itu pun akhirnya bisa merasakan suasana kota lagi, setelah hampir satu bulan berada di tengah lautan.

'Angkat telponku. Kapan lagi kita membahas rencana pernikahan kita kalo bukan sekarang, Mas.'

Udara pagi di pelabuhan Marina Bay Cruise Centre Singapore itu sangat segar. Harusnya Gilang merasa senang sudah kembali berlabuh di kota. Namun sebuah pesan yang baru saja masuk ke dalam ponselnya seketika membuat dirinya tidak lagi bersemangat.

"Kenapa, Lang? Kok tiba-tiba berhenti?"

Enggan menjawab pertanyaan sang senior, Gilang hanya memberikan pesan yang ia terima. Sang senior yang berdiri di samping Gilang pun membaca pesan itu. Seketika tawa sang senior pecah, dan hal itu sukses membuat Gilang menghela napas kasar.

"Kan sudah saya bilang ke kamu, Lang. Kalo kamu ga mau nikah, putusin sekarang juga," jawab sang senior sembari mengembalikan ponsel milik Gilang.

"Saya bukannya ga mau nikah, Pak. Cuma belum siap aja," keluh Gilang yang kemudian menyimpan ponselnya ke dalam saku celana jeans, enggan membalas pesan tersebut.

"Ya kasih penjelasan dong pacarmu itu. Lagian kenapa sih kamu belum mau nikah? Emang apalagi yang mau kamu siapin?"

Gilang melirik ke arah seniornya, "Nyiapin diri, Pak," hela Gilang, "Nyiapin duit lamaran lebih tepatnya."

Sang senior kembali tertawa ketika mendengar jawaban Gilang, "Emang pacar kamu minta berapa sih? Kok kamu macem orang susah ga punya uang gitu?"

Gilang hanya diam tidak menggubris pertanyaan yang diajukan seniornya. Ia hanya diam sepanjang perjalanan menuju ke tempat antrian taksi.

Seolah tahu dengan apa yang sedang dipikirkan Gilang, seniornya kembali bicara, "Dengar, Lang. Kalo kamu orangnya lurus aja dan emang setia, kamu ga bakal kepikiran dengan kebiasaan kamu sebagai orang kapal nanti setelah menikah," ucap sang senior menepuk pundak kiri Gilang, "Lagian kamu mainnya sama saya sih. Kalo kamu main sama Pak Bayu yang setia banget sama istrinya dan juga agamis, ya kamu ga bakal terpengaruh juga. Semuanya balik ke pribadi masing-masing."

Pak Rafi, senior Gilang pun telah mendapatkan taksi yang ia pilih. Gilang hanya menatap seniornya yang sudah duduk di dalam taksi.

"Mending kamu pikirin baik-baik, Lang. Dan juga jangan lupa nanti malam bakal ada party kecil-kecilan di Marina Bay. Seperti biasa," ucap Pak Rafi sembari mengedipkan satu matanya. Lalu taksi yang membawa seniornya itu pun pergi meninggalkan stasiun tempat mereka memesan taksi.

Gilang pun langsung masuk ke dalam taksi yang ia pilih. Setelah mengatakan ke mana tujuannya, taksi pun segera melaju menuju ke hotel tempat biasa Gilang menginap.

Marina Bay Sands Hotel. Hotel yang selalu menjadi tempat pilihan Gilang untuk menginap. Walau harga per malamnya kamar hotel tersebut hampir menyentuh delapan juta, Gilang tetap akan memilih menginap di sana. Alasannya sederhana, kasino terbesar ada di dalam hotel tersebut. Walau yang sebenarnya Gilang cari adalah night club-nya.

Sesampainya di hotel, Gilang langsung check-in dan merebahkan tubuhnya di atas kasur king size yang ia pilih. Tangannya meraih ponsel yang kembali bergetar entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini. Namun Gilang tetaplah Gilang. Walaupun panggilan tak terjawab dengan nama kontak yang sama sudah lebih dari dua puluh kali. Ia tetap enggan untuk menjawabnya.

"Aku sibuk," gumam Gilang ketika akhirnya ia mengangkat telpon setelah dirinya membersihkan badan.

"Kamu kenapa sih akhir ini selalu menghindar? Kamu ada cewe lain di sana ya, Mas?"

"Aku sibuk, Sella. Kapalku baru aja berlabuh. Masih banyak yang harus ku urus. Bisa ga sih nanti aja kita ngobrolnya?"

"Kamu ngehindarin aku."

"Maksud kamu apa, Sel?"

"Iya aku tahu kamu lagi ngehindarin aku. Kamu ga biasanya kaya gini. Sesibuk dan selelah apapun kamu, kamu pasti angkat telpon dari aku. Dan hari ini? Puluhan kali aku telpon kamu dan baru kamu angkat sekarang."

"Sella denger. Hari ini ada kerjaan penting yang buat aku ga bisa ngangkat telpon dari kamu."

"Kamu selingkuh. Kamu pasti punya pacar baru kan di sana? Ngaku sama aku, Mas. Aku ga pernah permasalahin kamu kalo kamu mau main cewe tapi, please. Jangan punya pacar selain aku, Mas. Aku satu-satunya pacar kamu."

Gilang yang baru saja ingin menuangkan air ke dalam gelas pun tiba-tiba berhenti. Ia pun segera duduk di pinggiran kasur, "Bentar. Main cewe? Apa maksud kamu?"

"Ga usah pura-pura gatau kamu Mas. Aku tau persis kebiasaan orang kapal tuh main cewe. Udah jadi rahasia umum kalo di setiap pelabuhan pasti ada cewe-cewe yang sudah nunggu kamu. Sumpah Mas aku gapapa. Aku ga marah selagi itu bukan pa-"

"Maksud kamu apa sih, Sel? Jadi selama ini kamu ngeraguin kesetiaanku?" suara Gilang terdengar sudah naik satu oktaf.

"Aku gapapa kamu main sama para cewe penggoda di sana, asal kamu tetep sama aku. Biarpun kita nikah nanti kamu tetep mau main sama cewe di sana juga bakal aku ijinin. Makanya nikahin aku segera, Mas. Kamu ga bakal aku kekang."

"Gila kamu, Sel."

Tidak pernah sejarahnya Gilang mematikan panggilan telponnya lebih dulu. Tidak pernah sekalipun. Ia terlalu kesal mendengar ucapan pacarnya barusan. Entah apa yang dipikirkan pacarnya itu sampai menuduh Gilang memainkan para gadis di sini.

Memang benar. Apa yang dikatakan Joysella-pacar Gilang, benar adanya. Gilang sudah berumur tiga puluh empat tahun, tahun ini. Dan ia bukanlah tipikal pria yang agamis. Ia butuh hiburan. Dan ia butuh belaian wanita lain di saat ia jauh dari sang pacar.

Namun dituduh dengan tuduhan yang 'cukup blak-blakan' seperti ini membuat Gilang kesal. Ia terdengar seperti laki-laki rendahan. Dan hal itulah yang membuat Gilang marah.

"Dan apa maksudnya? Dia rela kalo aku main cewe asal dia aku nikahin? Sedangkan aku nahan ga mau nikahin dia karna aku masih sering main cewe, dan aku ga mau nyakitin dia nantinya."

"Cewe mana yang mau suaminya main di luar demi cewe lain? Sella oh Sella. Entah apa yang ada di otak kamu saat ini," keluh Gilang masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran pacarnya itu.

Ponsel Gilang kembali bergetar. Dilihatnya ada dua pesan masuk. Yang pertama dari Sella dan yang satunya dari Reno-teman Gilang di kapal pesiar.

'Maafin Sella ya, Mas. Sella lagi datang bulan dan ibu terus-terusan nyuruh Sella buat nanyain ke Mas Gilang kapan mau nikahin Sella. Mas tahu kan hormon Sella gimana kalo Sella lagi datang bulan? Maafin Sella yaa, Mas. Sella sayang dan selalu percaya sama Mas, kok.'

"Hormon aja terus yang disalahin. Kalo hormon kamu bisa ngomong, marah kali dia selalu dibawa tiap kamu mau marah," gumam Gilang masih kesal ketika membaca pesan masuk dari Sella.

Tak berniat membalas pesan dari Sella, Gilang pun langsung beralih ke pesan masuk yang lain. Pesan yang dikirim Reno dua menit yang lalu.

'Ke mana sih Lang? Cepet sini aku udah di bar. Jadi nginep di Marina lagi kan?'

"Mau nginep di mana lagi aku Ren, kalo bukan di Marina," gumam Gilang sembari merapikan rambutnya dan berjalan menuju pintu kamar hotelnya.

Tak pernah lupa leather clutch bag Gucci yang sempat ia beli tempo hari di shopping centre Marina Bay. Habislah riwayat dirinya jika lupa membawa clutch bag berwarna hitam itu, pasalnya isi clutch bag itu merupakan barang penting. Dompet dan paspor ada di dalamnya.

Gilang keluar dari dalam lift dan segera masuk ke dalam bar. Seseorang berbaju hawai berwarna biru dengan celana pendek hitam menarik perhatian Gilang. Pria itu sudah memesan minuman dan seorang gadis sudah duduk di samping pria tersebut.

"Mana yang lain?" gumam Gilang mengambil posisi duduk di samping pria tersebut.

"Eh, Lang? Yang lain open table di atas," tunjuk Reno menggunakan dagunya menunjuk ke meja yang berada di lantai dua.

"Yaudah aku naik dulu. Nyusul ga Ren?" tanya Gilang sebelum beranjak mencari rekannya yang lain.

"Ga deh kayanya. Udah dapet nih."

"Yaudah duluan."

Tanpa menunggu jawaban dari temannya, Gilang pun langsung menaiki lantai dua. Ia melihat sekumpulan bapak-bapak bersama para wanita muda di samping mereka. Gilang menarik napas dalam sebelum ikut bergabung dengan para seniornya.

"Gilang akhirnya yang ditunggu datang juga."

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku