Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Crescent Moon
5.0
Komentar
Penayangan
7
Bab

Yang satu mencintainya. Yang satu lagi juga menginginkannya. Namun, garis menjadi kabur saat kita peduli. *** Di tengah pelariannya, Anna Rue Lewandowski jatuh dalam portal misterius di Hutan Nightingale. Tempat para makhluk dari cerita dongeng eksis dan mempertemukannya dengan Xaverius Sean Foster, sang alpha. Pria serigala yang kemudian melengkapi takdirnya dan membuat hidup Anna tidak lagi sama. Ketika ikatan masa lalu keduanya terungkap, akankah perbedaan di antara mereka bisa meniti ke akhir yang bahagia?

Bab 1 Portal Magis

Prolog

“Aku tidak akan menyakitimu, anjing manis. Aku janji.” Anna mengulurkan tangan kirinya pada hewan predator itu.

Serigala seukuran kuda. Bulu kusutnya adalah bukti perjuangan. Gigi runcingnya sengaja dipamerkan guna mempertegas jarak di antara mereka.

Mengabaikan geraman kasar si serigala, Anna justru membawa langkahnya lebih dekat ke depan. Belaian lembut mendarat ke atas kepala makhluk itu. “Kau terluka. Siapa yang tega melakukan ini padamu?”

Suara lengkingan parau keluar dari moncongnya. Mata biru yang salah satunya tersabet luka gores milik serigala itu menatap waspada wajah Anna.

“Aku juga pernah punya anjing peliharaan yang warnanya persis seperti dirimu. Sayang, dia menyeberangi jembatan pelangi terlalu cepat.”

Ketika Anna menempelkan keningnya, serigala itu tersentak oleh semburan adrenalin aneh yang meresapi pembuluh darahnya. Tubuhnya mendadak dikuasai insting dan hasrat. Sesuatu yang meledak-ledak meruntuhkan ruang kendali dalam dirinya.

Terlapisi keinginan primitif untuk mencicipi. Merasakan. Melindungi. Sensasinya luar biasa mengejutkan dan membuatnya menyerah pada emosi yang jauh lebih gelap.

Lehernya tercekik saat Anna memisahkan diri. Kehampaan membombardir hatinya dari segala penjuru. Rasa lapar yang belum pernah dirasakannya membuat serigala itu berperang dengan kewarasannya sendiri.

Anna mengeluarkan benda pipih kecil dari saku rok rimpelnya. Dia tersenyum. “Ini, ada plester luka untukmu. Mungkin kau perlu lebih banyak karena kau anjing raksasa, tapi aku hanya punya satu.”

Anna melekatkan plester lukanya di alis kanan serigala itu dan telah melanggar batasan yang tak terlihat di antara mereka. Jurang tinggi yang seharusnya tidak boleh dilewati dan membentuk ikatan asing tanpa dia sadari. Tato magis berpola rumit khas suku Varet melingkari pergelangan kaki kiri Anna sebelum kemudian lenyap pada detik kelima.

“Anna? Di mana kau?” teriak Paman Cédric sambil menenteng peralatan memancingnya.

“Itu Paman Cédric. Dia bisa mengobatimu,” bisik Anna mengangguk.

Terlibat dalam takdir bersama bocah sembilan tahun itu sama sekali bukan bagian dari rencana. Serigala itu mengerjap-ngerjap gelisah sebelum matanya terpejam rapat. Coba menghalau debaran ganjil yang memukul di sepanjang tulang rusuknya.

“Rupanya kau di sini.” Nada Paman Cédric dipenuhi kelegaan.

Anna berbalik menghadap Paman Cédric. Ujung sweternya yang tipis bergoyang ditiup angin malam. “Bisakah kita mengajak anjing itu pulang, Paman Cédric?”

“Anjing? Anjing mana yang kau maksud?” Paman Cédric meletakkan keranjangnya ke tanah.

“Yang di—” tunjuk Anna yang kembali menoleh. Namun, serigala itu sudah pergi tanpa meninggalkan jejak seolah-olah dia tak pernah ada di sana sebelumnya.

***

Anna

Ada tiga orang di sana. Dengan tinggi rata-rata dan janggut tebal berantakan. Mengenakan sepatu bot yang lebih cocok dipakai di musim dingin, tulang pipi cekung, dan kantong mata yang menegaskan kesan bahwa mereka sudah melewatkan jam tidur untuk waktu yang begitu lama.

Tubuhku terlonjak saat gerombolan bandit itu mengayunkan kapak mereka berkali-kali ke meja makan. Bahan dari kayu mahoni yang minggu lalu telah dipelitur cantik oleh paman spontan hancur berkeping-keping. Menyisakan bekas koyak di atas lantai linoleum rumah kami.

Salah satu dari mereka yang mengenakan topi koboi lalu meraup kasar stoples dalam rak. Gula pun tumpah dan mengotori dapur. Tawa puasnya mengudara setelah melihat kekacauan yang berhasil mereka ciptakan.

Aku luar biasa gemetar. Beruntung kegelapan di sudut ruangan membantu menyamarkan keberadaanku. Aku masih mengintip dari balik celah lemari dengan ukuran sempurna yang dapat menyembunyikan diriku di dalamnya.

Pria koboi kembali melayangkan kapaknya ke kompor dan perapian dua tungku milik bibi langsung rusak. Adrenalin menjalari tulang punggungku yang kebas. Aku hampir menjerit setelah mataku menangkap cipratan noda darah segar yang tertinggal di ujung mata kapak.

Apa mereka sudah menghabisi paman? Aku terus bertanya-tanya sambil menahan tangisku yang berubah jadi isak parau tak tertahankan. Aku bahkan tidak sanggup untuk membayangkan kondisi paman sekarang.

Foto keluarga kami kemudian mendadak jatuh dari dinding. Bingkainya pecah. Seseorang yang lain yang bibirnya dihiasi tindik segera memungutnya dan menyeringai memamerkan deret gigi depannya yang tak rapi.

“Si tua bangka itu punya putri yang cantik,” komentarnya sambil menggaruk-garuk rambut.

Pria koboi serentak memalingkan wajah. Ekspresinya berubah asing dan gelap. Matanya memancarkan ketertarikan yang berbahaya.

Dia maju mendekati foto. Kepalanya terteleng seolah-olah sedang mengaktifkan radar pendeteksi arah. Jantungku mencelus ketika tatapannya tertuju lurus pada tempatku berlindung.

“Aku suka rambutnya. Akan menyenangkan saat digagahi di ranjang.” Tawa terbahak-bahaknya membuatku meringkuk makin jauh dan memeluk erat kedua lututku.

“Jeez, she’s too young for you.” Pria yang memakai jaket kulit itu menyahut, aksennya ganjil, ada bekas keloid yang mencolok di rahang kirinya.

“Siapa peduli? Dia tampak polos dan seksi,” balasnya sambil memanggul gagang kapak di salah satu bahunya.

“Aku yakin itu potret lama. Mungkin usianya sembilan belas atau dua puluh sekarang.”

Pria koboi itu menjilat bibir. Jari-jariku gatal ingin melancarkan tinju. Aku tahu pasti dia sedang membayangkan fantasi kotor dalam kepalanya.

Refleks, hidungku mengernyit jijik. Aku terjebak dalam situasi yang tidak memberikanku jalan keluar, kecuali kematian. Apa lagi yang bisa kuharapkan dari para bajingan seperti mereka?

Tenggorokanku sakit hanya karena memikirkannya. Senjata yang mereka bawa jelas bukan digunakan untuk sekadar menggertak, tetapi mengeksekusi. Keberanianku tiba-tiba hilang secepat nyali itu datang.

“Ini masih panas.” Pria bertindik itu mencomot roti gandum yang kutinggalkan di dekat oven.

“Dan lezat,” tambah pria lain yang ikut mencicipi dan mengunyah dengan suara gumaman berdengung yang bising.

Pria koboi itu mengamati dua temannya yang asyik menikmati hasil jarahan, sementara matanya masih mengawasi sekitar. Waspada pada segala bentuk antisipasi dan kemungkinan. Aku melihat kapak itu kembali terlempar menghancurkan sasaran acak.

Napasku terhenti ketika bunyi pecahan piring terdengar dan menyisakan keheningan tajam yang mendebarkan selepasnya. Aku meringkuk seperti kucing. Keadaan di luar mendadak jadi terlalu sunyi dan aku terlalu takut untuk mencari tahu.

Aku menggigil dan wajahku basah dengan air mata. Cukup lama sampai aku dapat mengendalikan diri dan menguasai tremor di kedua telapak tanganku yang licin oleh keringat. Berjuang menyingkirkan rasa cemas yang menggerogoti jiwaku.

Aku bangkit dan kembali menyejajarkan mataku di antara celah. Berhati-hati dengan gerakan yang akan mengundang masalah baru. Pekikanku tertahan saat ada mata lain yang juga mengintip ke dalam.

Mereka menemukanku. Aku bermanuver mundur dan menunduk serendah yang tubuhku mampu. Namun, usahaku masih belum cukup.

Ketika pintu lemari dibuka, pria koboi itu tertawa keras dan aku berteriak histeris. Pria koboi menarik dua kakiku, sementara aku terus menendang-nendang tanpa hasil. “Lepaskan! Lepaskan aku!”

Aku diseret hingga punggungku mengenai serpihan kaca. Bagian belakang blusku robek. Meninggalkan luka gores di banyak sisi.

Rasa perih serentak menyerbu kulitku dan aku bisa merasakan benda runcing itu menancap di tulang belikat kiri. Sesuatu yang hangat merembes membasahi serat kain yang kukenakan. Aku mengabaikan nyerinya dan coba meloloskan diri.

Pria koboi kemudian mengancamku dengan kapak yang diacungkannya ke atas. Satu tangannya yang bebas beralih mencekikku. Aku terjebak dan napasku mulai habis.

Aku tersengal-sengal melebarkan mulut. Menyaring udara untuk dihirup. Mengisi paru-paruku yang nyaris pecah dengan harapan untuk bebas dan lari jauh dari rumah yang seharusnya jadi tempat paling aman untukku bernaung.

Kau harus tetap tenang agar kau dapat berpikir jernih, Anna. Aku memejamkan mata untuk tiga detik yang terasa seperti selamanya. Nada lembut dalam kepalaku terbukti membantu menenangkan seluruh sarafku yang tegang.

“Kau bahkan jauh lebih cantik dari foto, Sugar Pie. Berapa umurmu? Sembilan belas? Dua puluh?” bisik pria koboi di depan wajahku dan mengendurkan cengkeramannya.

Tatapanku dipenuhi kebencian yang sanggup meruntuhkan segalanya. Aku mengangkat dagu dan memikirkan ratusan taktik dalam kepalaku. Menunggu momen yang tepat datang untuk menyerang mereka.

Aku tersenyum simpul. Sudut bibirku terangkat miring membentuk seringai ejekan dan aku tahu itu akan mengganggunya. “Tebakan yang salah, Tuan Koboi. Aku dua puluh empat. Aku bukan remaja lagi.”

Pria koboi menggeram dan raungannya mengingatkanku pada anak anjing milik Bibi Prudence yang tinggal di depan gang. Kedua alisnya bertaut rapat, jari telunjuknya yang kurang ajar menuruni leherku, dan singgah lebih jauh ke belahan dada. “Bukan masalah, Sayang. Kita akan tetap bersenang-senang.”

Menelan rasa muak dan takutku dengan susah payah, aku kembali tersenyum. Lebih manis, lebih menggoda. Bersikap seolah-olah aku terbiasa dengan sentuhan dan mendambakan sesuatu yang lebih darinya.

“Fuck. I'm going to wreck your pretty pussy.” Pupil matanya melebar dibanjiri ekstasi.

Mengesampingkan semua konsekuensi yang membuatku muak dan putus asa, setidaknya aku harus mencoba. Jika aku gagal keluar melalui pintu belakang itu, leherku pasti akan ditebas. Jadi, kesempatanku hanya satu.

Sekarang atau tidak selamanya. Aku memantapkan tekad. Saat pria koboi menyentuh pahaku, aku membenturkan kepalaku ke kepalanya dan menusuk salah satu matanya dengan serpihan kaca yang bisa kuraih di dekat kami.

“Berengsek—uh!” jerit pria koboi ketika lutut kananku sukses menendang selangkangannya dan membuatnya roboh berguling kesakitan.

Aku bangkit sebelum yang lain sempat bereaksi. Lari melewati pintu belakang yang terhubung dengan jalan setapak yang mengarah ke hutan belantara. Berharap dapat menemukan tempat lain untuk sembunyi.

Suara tembakan yang meletus di belakang tak menggentarkan langkah telanjangku. Aku justru terpacu dan terus melesat melompati semak-semak berduri, tapi pelarianku mendadak terhenti karena aku jatuh tersandung akar pohon. Suara tembakan sekali lagi terdengar dan saat aku sadar mereka sudah begitu dekat, aku lalu merangkak menuju pohon beech di seberang.

Setelah menempatkan diriku ke dalam ceruk besar di antara batang raksasanya, tekanan di atmosfer tiba-tiba berubah. Dadaku pengap oleh sensasi magis yang tidak pernah kupercaya ada. Rasanya seperti baru saja membuka segel dari sebuah portal yang tak terlihat dan aku lenyap ditelan keajaiban lorong waktu yang membingungkan.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Laquisha Bay

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku