Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Pagi ini, hujan mengguyur kotaku. Tidak seperti biasanya, pagi ku kali ini di temani dengan secangkir kopi. Aromanya menguar memenuhi seluruh ruangan di kamarku. Hingga tanpa sadar, ingatanku kembali melesat ke masa dimana aku pertama kali bertemu dengannya 2 tahun lalu.
***
Namaku Anaya Anantara Sabila. Teman-temanku biasa memanggilku dengan sebutan Naya. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Status ku saat ini, adalah seorang mahasiswi semester 2. Jurusan akuntasi, di salah satu universitas di sebuah kota dengan julukan "Kota Kembang."
Aku merantau ke kota ini seorang diri. Aku tinggal bersama teman-temanku yang lain, yang berasal dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Mereka sama sepertiku. Datang ke kota ini, untuk menuntut ilmu sekaligus mencari pengalaman baru.
Aku tinggal di sebuah kost-kostan Putri dengan harga yang lumayan murah untuk ukuran mahasiswi sepertiku.
Siang itu, Ibu meneleponku.
"Neng, uang nya udah Ibu kirim. Jangan lupa! Nanti kalau mau pulang sekalian beli oleh-oleh buat bapak." Ucap Ibu di seberang telepon.
"Iya, Bu. Nanti Neng kabarin ibu sama bapak kalau mau pulang."
"Gimana kuliah kamu, lancar?" Tanya Ibu.
"Alhamdulillah, Bu, lancar. Doain neng, ya. Supaya neng bisa bikin Ibu sama Bapak bangga."
"Ibu sama Bapak selalu doain yang terbaik buat kamu. Tapi ingat! kamu juga harus berusaha sebaik mungkin agar semua cita-cita kamu tercapai. Dan jangan lupa! Untuk selalu libatkan Allah dalam setiap urusan kamu." Ucap Ibu menasehati.
"Iya, Bu. Neng akan selalu ingat sama semua nasihat Ibu." Ucapku tersenyum.
"Ya sudah, kalau gitu teleponnya ibu tutup. Jaga diri baik-baik di sana. Belajar yang rajin. Satu lagi yang paling penting, jangan pernah tinggalin sholat yang lima waktu."
"Iya, Bu."
Tuuuutttt tuuuutttt...
Ibu pun mematikan teleponnya di seberang sana.
Setelah itu, aku langsung bergegas menuju ke sebuah ATM di seberang jalan raya. Aku memutuskan untuk berjalan kaki. Karena jaraknya yang lumayan dekat, aku hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk sampai di sana.
Saat tiba di sana, aku melihat sekumpulan seniorku di Kampus sedang asyik nongkrong dan minum kopi. Aku perkirakan, mungkin, sekitar enam atau tujuh orang. Kebetulan, di seberang ATM ini ada sebuah kedai kopi yang sering di jadikan sebagai tempat nongkrong.
Tiba-tiba, seseorang memanggil namaku.
"Eh, Naya! Datar amat sih lo kaya penggaris." Teriak seseorang dari sana.
Dari mana dia tahu namaku? "Ucapku dalam hati."
"Lho, kok, penggaris si bro?" Tanya temannya.
"Iyalah, penggaris kan datar. Luruuus aja kaya si Naya." Ujarnya.
Hahahaha (teman-temannya ikut mentertawakan ku)
Hatiku mulai panas. Berani sekali dia mengejekku seperti itu. Apalagi, aku tidak mengenalnya sama sekali. Awas saja, akan ku balas nanti. "Gerutu ku dalam hati."