Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Wanita dengan manik hitam segelap malam itu menatap ke arah pria paruh baya di hadapannya dengan mata membulat, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan atas semua hal yang baru saja dia dengar. "Ayah!" teriak wanita itu, tak mampu menahan amarahnya lagi. "Demi seorang jal*ng, Ayah mengusir kami?!" Jarinya menunjuk ke arah seorang wanita muda yang memasang wajah ketakutan di belakang sang ayah.
Tentu saja itu hanya sebuah kepura-puraan. "Dasar rubah!" gumam Alvira yang masih bisa didengar oleh ayahnya.
"Alvira! Jaga ucapanmu!"
"Sudah, ayo kita pergi dari sini, tidak usah membuat tenaga kakak habis hanya gara-gara sampah seperti mereka!" Raka membawa kakak dan ibunya untuk menjauh dari rumah yang sejak kecil ia tinggali.
Alea tidak mampu berkata, hatinya begitu rapuh saat mengetahui orang yang dicintai sudah berhianat. Dengan mengeret koper ia meninggal rumah megah yang banyak kenangan di dalamnya. Mereka pergi tidak membawa apa-apa hanya pakaian yang boleh dibawa, semua fasilitas diambil kembali pada sang kepala keluarga.
***
Semenjak perpisahan itu terjadi Alvira harus bekerja membantu sang ibu Alea mencari uang. Pada malam hari ia bekerja sebagai waiters di kafe milik sahabatnya. Jika pagi ia akan pergi kuliah, Menjadi mahasiswa di fakultas kedokteran yang sebentar lagi akan menyandang gelar S.ked. Sedangkan adiknya Raka baru saja duduk di bangku kuliah semester awal. Awalnya Raka menolak untuk melanjutkan pendidikannya karena biaya yang dibutuhkan akan sangat banyak, ia berencana untuk mencari kerja sesuai kemampuan dirinya untuk membantu ibu dan kakaknya. Tapi Alvira tidak mengizinkannya, Alvira terus membujuk Raka agar melanjutkan pendidikannya soal biaya biar menjadi tanggung jawabnya. Setelah Alvira dan ibunya terus mendesak dirinya akhirnya Raka pun menurutinya untuk melanjutkan pendidikannya dengan memgambil jurusan bisnis dan manajemen. Dengan impian dirinya akan menjadi pembisnis yang berhasil seperti ayahnya yang sudah tidak diketahui kabarnya lagi.
“Hai, ngelamun aja lo?” seru Vita saat melihat Alvira duduk di bangku kantin sambil menatap kosong gelas yang ada di depannya.
“Apaan sih lo kagetin aja,”sahut Alvira.
“Mikirin apa sih calon ibu dokter?” tanya Vita sambil menyenggol lengan Alvira yang dibuatnya bertumpu pada wajahnya.
“Apaan sih lo, lo juga calon dokter kali," jawab Alvira yang tidak terima dengan pernyataan Vita.
“Lo nggak makan?” tanya Vita yang melihat di meja Alvira hanya ada segelas minuman berwarna kuning.
“Enggak gua masih kenyang," balas Alvira masih banyak diam sambil mengaduk-aduk minuman berwarna kuning di depannya,
“Yakin masih kenyang, temani gua makan yuk kita pergi ke kafe yang ada diujung sana. Masih ada waktu satu jam lagi bukan untuk ketemu sama pak dosen,"desak Vita sambil mengoyang-goyangkan lengan Alvira.
“Gua udah kenyang Vit, elo aja deh," tolak Alvira dengan suara lembut.
“Ayolah temani gua, masa lo tega biarkan gua makan sendiri entar gua diculik sama cowok ganteng gimana?” Vita memohon agar Alvira mau menemani diri nya. Vita tau kalau Alvira bukannya kenyang dia hanya menghemat pengeluaran saja karena Alvira harus memikirkan Raka dan ibunya.
Vita terus merengek untuk minta ditemani makan siang. Pada akhirnya Alvira menyetujui, karena Vita terlihat seperti anak kecil yang minta dibelikan perman. Dengan menggunakan mobil milik Vita mereka menuju kafe Pinky yang jaraknya tidak jauh dari kampus mereka.
“Elo mau makan apa?” tawar Vita. Begitu sampai di kafe dan keduanya sudah duduk di bangku pojokan kafe tersebut.
“Jangan bilang kalau lo sudah kenyang ya, ayo pesan, gua bayarin kok. Lo tenang aja,” sambung Vita lagi sambil melihat daftar menu makananya.
“Bukannya gitu tapi--?"
“Udah ayo pesan nggak ada tapi-tapian," timpal Vita.
Karena menunggu Alvira yang lama banget mikirnya akhirnya Vita yang memesan dua menu makanan.
“Lo kenapa sih?” selidik Vita.
“Ada masalah, kalau ada tuh cerita ke gua siapa tau gua bisa bantu jangan dipendam sendiri.”
“Gua mikirin nasib kuliah nih, apa gua bisa nyandang gelar dokter nantinya. Usaha kue nyokap, akhir-akhir ini terjadi penurunan. Kalau ngandalin gaji gua di kafe mah, nggak bakal cukup." adu Alvira lesu.
“Elo semangat dong, gua yakin lo bakal jadi dokter muda. Soal biaya nanti gua bantu, Lo tenang aja ya," sahut Vita.
“Kenapa enggak kasih tau bokap lo aja, gua yakin bokap lo mau bantu biayanya,” lanjut Vita memberi saran.
“Gua takut diusir lagi, lo tau sendiri kan istrinya gimana?” lirih Alvira yang sudah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Gua kapok ah ke sana lagi, malas gua cari ribut.”
“Ya udah nggak usah dipikirin dulu, kita makan dulu yok dah lapar nih,” ajak Vita karena cacing dalam perutnya dari tadi sudah memanggil minta diisi.