Kehadiranmu membuat hatiku tidak baik-baik saja. Ezelya Van Nathalie, gadis perempuan yang sama sekali tidak pernah berurusan dengan yang namanya percintaan. Walaupun banyak yang sering menyatakan perasaan kepadanya, tapi dia tidak pernah memiliki rasa yang sama. Beda cerita ketika di pertemukan dengan seorang lelaki yang bernama Farezzo Xabiru Mahendra. Tunangan pilihan dari papa. Ezlyn harus merasakan berbagai hal yang campur aduk baik kesal, senang dan juga sedih. Cinta ternyata sangat rumit, pikirnya. Karena lika-liku setelah tunangan pun banyak terjadi. Tidak mudah bagi Ezlyn menaruh hati untuk Biru, butuh waktu yang cukup lama untuk menaklukkan perasaannya itu. Dan saat sudah berjalan, ada juga yang mencoba membuat hubungan mereka hancur. Apakah mereka bisa terus bertahan sampai di pelaminan nanti? Atau justru mereka akan kandas karena si perusak hubungan?
"Ez, tunggu!"
Aku berbalik badan dan menyipitkan kedua mataku dari sinar matahari yang sangat menyilaukan. Chrystal Florencie, atau akrab disapa Chrystal, masih berdiri di halaman kampus. Padahal, kampus sudah mulai sepi. Mungkin hanya tersisa beberapa mahasiswa saja yang sedang mengikuti kegiatan ekskul.
Aku berpaling menatap ponselku. Dengan tatapan sedikit kesal karena orang yang sedari tadi aku hubungi nggak ada kabar. Orang itu adalah Papa, ya, aku tahu kalau Papa sangat sibuk. Tapi aku juga kesal karena dia tidak memperbolehkanku untuk bawa mobil sendiri. Alhasil, aku harus selalu menunggunya.
"Capek, jalannya santai aja kenapa, sih?" Gerutu Chrystal sambil mengejarku. "Eh, tunggu sebentar. Kayaknya aku nginjak sesuatu, deh."
Dia menggesek-gesekkan sepatu putihnya di tanah sembari berjalan menuju halte depan sekolah. "Pegangin tas aku sebentar, dong," pinta Chrystal, berusaha mengoper tasnya yang besar kepadaku.
"Dih, what's the magic word?" Sahutku dengan satu alis terangkat. Kadang anak ini sangat tidak sopan dengan caranya yang suka menyuruh seenaknya seperti ini.
Sebenarnya, aku mau saja membawa tas itu. Tapi mengingat isinya yang lumayan banyak, aku jadi malas untuk membawanya. Ntah apa yang Chrystal bawa, aku juga tidak peduli, dia selalu membawa barang yang seharusnya tidak dibutuhkan. Sungguh penting, bukan?
Ia mendengus pelan sembari kesusahan dengan barang bawaannya itu, "huh, nggak usah. Makasih!" ucapnya kesal.
Kami berhenti di halte dan duduk di salah satu kursi panjang yang tersedia, sementara aku merogoh saku-ku kembali untuk mengambil ponsel. "Lama banget, sih, mana panas begini." Ujarku.
Aku memandang ke atas langit, awan mulai terbagi dan saling berjauhan diatas sana. Membentuk suatu gumpalan yang sangat lucu, seperti permen kapas. Sangat lucu sekali.
Tentu saja mataku langsung berair.
Bukan karena nangis! Tapi karena aku tidak terlalu tahan menatap sinar matahari secara langsung, terkadang tidak hanya mata berair. Bisa juga pusing dan bahkan sampai aku jatuh pingsan. Karena itu aku selalu sedia botol obat tetes mata dan juga segepok tisu. Untuk berjaga-jaga.
"Nah, loh, kan! Jangan terlalu lama natap langitnya!" Tegur Chrystal, setengah panik. Kalau lagi kambuh seperti ini, dia lah orang yang paling siap siaga membantuku.
"Ma.... Makasih," aku menerima tisu dan mengusap air mataku sendiri, sebelum mengalir lebih deras lagi.
TIN...TIN...TIN..!
Tidak lama kemudian terdengar suara klakson mobil yang sangat familiar, siapa lagi kalau bukan Papa. Orang yang sedaritadi aku tunggu-tunggu. Mobilnya berhenti tepat di depan kami, lalu ia menurunkan kaca jendelanya, " Udah lama ya?" tanya-nya.
"Menurut ngana?!" Pekikku dalam hati. Tentu saja aku tidak berani mengatakan hal itu secara langsung, bisa saja aku langsung dikutuk pada saat itu juga. Aku mengatur nafas dan juga mimik wajahku untuk terlihat sesantai mungkin. "Iya," jawabku, singkat.
"Hai, Papi!" Chrystal melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum. "Kasian, Pi. Ezielle udah nunggu lama, nih. Daritadi dia nge-gerutu terus nggak ada habisnya!" ujar Chrystal dengan tampang watadosnya.
Papa tertawa kecil, sedangkan aku mencoba untuk tidak berkata kasar dan sedang mengontrol diri untuk tidak mendaratkan kepalan tangan kananku ke dahi Chrystal. Tak lama setelah itu, aku beranjak dari kursi. "Aku duluan, ya?" Pamitku ke Chrystal, ia mengangguk pelan sambil tersenyum.
Dan kemudian aku masuk ke dalam mobil, sudah pasti hening menyelimuti keberadaan kami. Habisnya, aku tidak tau mau membicarakan apa dengan Papa. Aku memang dekat dengannya, tapi kalau seperti ini, pasti akan canggung juga.
"Gimana kuliahnya hari ini, aman? Ada yang menarik?" Tanya Papa, ia tau keadaan semakin canggung. Untungnya ia sangat peka, hahaha.
"Hmmm," aku berdeham pelan. "Same as usual, nothing special." Jawabku kemudian dengan nada pelan.
Papa mengangguk dengan pandangan mata yang masih fokus ke depan memperhatikan jalan yang sedang kita lewati. Hanya jalan biasa yang sangat hambar, tidak ada hiasan di tepi-tepinya seperti pohon dan sebagainya.
DRRTTT... DRRRTTT...
"Ya, halo?" Sapa Papa setelah menerima panggilan tersebut. Tidak terlalu kedengaran jelas mereka sedang membicarakan tentang apa, tapi mungkin suatu bisnis. Ah, entahlah, aku juga tidak peduli.
"Ya, aku sedang bersama Ezielle disini, bagaimana kau tahu?" ucap Papa kemudian. Aku yang baru saja di sebut menautkan kedua alis, asing jika teman kerjanya bertanya tentang diriku. Mungkin itu Mama, ah, tapi tidak mungkin. Karena jika Mama yang menelpon, kata pertama yang seharusnya Papa keluarkan adalah "Ya, sayang?"
"Benarkah? Hmm, bagus. Mungkin kita bisa membicarakannya nanti," sahut Papa, kulihat sekilas ada guratan senyum yang cukup lebar. Ntah apa maksud dari senyuman itu, aku pun curiga dan menatapnya lama.
Setelah ia mengakhiri panggilannya, Papa kemudian beralih menatapku dengan senyum yang tiba-tiba hilang dari wajahnya. "Kenapa, sayang?" Tanya-nya lembut.
"Tadi siapa?" Tanyaku dengan nada menginterogasi, Papa agak sedikit takut melihat tatapanku ini. Biasa ia menyebutnya dengan tatapan 'Killer'. "Hmm, ada, teman kantor Papa. Dia tahu ini jam biasa Papa jemput kamu. Makanya dia nyeletuk kayak begitu." Terangnya.
Aku mengangguk mendengar penjelasan tersebut, selama bukan yang macam-macam aku lega. Kadang agak aneh, apalagi banyak karyawan Papa yang belum punya pasangan alias single. Mereka sering menanyakanku lewat Papa sendiri. Aku malas meladeni mereka semua. Bagiku, no time for love. Aku hanya ingin fokus dengan studiku dan juga kerja di masa depan nanti.
Oh, iya. Perkenalkan, namaku Ezelya Van Nathalie. Cukup rumit, ya? SIngkatnya, Ezlyn. Biasa orang terdekat memanggilku Ez, Ezel, atau Cel. Panggil aku sesuka hati kalian saja, hahaha. Aku mahasiswi semester ketiga di Starling International Univesity jurusan Ilmu Gizi. Aku sangat senang mengatur pola makan jadi pola makan yang sehat, maka dari itu aku mengambil jurusan ini.
Aku juga punya 3 orang sahabat yang selalu bersamaku di Universitas ini. Yakni tadi yang sudah kalian temui, Chrystal. Kami sudah berteman lama semenjak dari sekolah menengah pertama, cukup lama bukan? Untungnya kita bertemu lagi di universitas ini lagi. Seperti biasa, Chrystal selalu menjadi sorotan karena kecantikkannya seantero universitas. Bahkan sampai ada kakak tingkat yang iri kepadanya. Nasib jadi cewek cantik. Ngomong-ngomong, Chrystal mengambil jurusan Psikologi.
Selanjutnya, ada Christopher Lakeswara atau Christ. Cowok berperawakan setengah bule ini adalah inceran adik tingkat dan juga kakak tingkat. Banyak yang sering mencari perhatian kepadanya, apa daya, ia tidak tertarik dengan para wanita ini. Anak jurusan Seni dengan potongan rambut pendek ala-ala Korea membuat semua wanita menjerit, apalagi postur tubuhnya yang tinggi dan juga atletis. Wanita mana yang nggak jatuh hati kepadanya?
Jangan tertipu karena tampangnya yang dingin, sebenarnya dia adalah orang yang sangat tengil! Ia suka menjahili, khususnya ke Chrystal. Makanya setiap kali mereka berdua bertemu, mereka selalu adu mulut. Biasanya, kalau kayak begini pasti akan menjadi jodoh, hahaha.
Dan yang terakhir, ada Aksara Frederickson. Cowok yang lebih kalem di banding Christ. Aksa mengambil jurusan hukum, yang mana membuat karakteristiknya sedikit misterius dan lebih dingin apalagi dengan orang-orang yang tidak ia kenal. Beda jika ia bersama dengan kita, pasti sifat gilanya keluar, deh.
Sampai di rumah, Papa dan aku disambut pelukan hangat dari Mama yang baru saja selesai memasak makan siang untuk kita. Tanpa berganti baju, aku langsung mencuci tangan dan duduk di kursi ruang makan.
"Gimana? Apa sudah bertemu?" Tanya Mama dengan sangat antusias. "Belum, mungkin besok." Jawab Papa. Aku tidak mengiraukan mereka, aku hanya asyik menyendok nasi ke piringku dengan cepat.
"Pelan-pelan aja, sayang. Jangan buru-buru," kata Mama yang melihat tingkahku. Aku mengangguk sekilas kemudian berdoa dan lalu mulai makan.
Selama aku melahap makanan, aku rasa mereka berdua tengah mengawasiku. Ntah kenapa ini jadi terasa sangat canggung sekali. "Kenapa?" Tanyaku, membuat mereka sedikit tersentak.
"Ah, nggak papa, kok." Mama tersenyum hangat, sedangkan Papa asyik mengunyah ayam goreng. Masih agak kurang puas dengan jawaban tersebut, aku berhenti makan dan memperhatikan gerak-gerik mereka berdua.
"Jangan kayak begitu,Cel. Habisin makanannya," tegur Papa. Aku mendengus dan lanjut satu suapan kembali, "Anyway, Cel. Kamu sudah punya pacar?" Pertanyaan tak terduga dari Mama.
Aku menaruh sendonkku pelan dan menatapnya datar, "Kenapa memangnya?" tanyaku. Mama lagi dan lagi tersenyum dan menggeleng kecil. "Just wondering,"
Terlihat Papa menatapku sekilas, aku merasakan ada sesuatu hal aneh yang akan terjadi. Aku pikir ini hanya sebuah kebetulan mereka bertanya seperti itu.
Tetapi beberapa hari kemudian aku baru sadar bahwa mereka ternyata merencanakan sesuatu untukku.