Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dikira Pelayan Miris, Ternyata Pewaris

Dikira Pelayan Miris, Ternyata Pewaris

Nona Mawar

5.0
Komentar
7.9K
Penayangan
19
Bab

Danny Laksana, harus menerima takdir pahit dalam hidupnya. Dicampakan kekasih, dan melihat kedua orangtuanya meninggal dalam keadaan tragis membuat Danny menyimpan dendam. Dendam Danny seakan disetujui oleh keadaan, ternyata ia cucu dari orang terkaya di negeri ini. Ia menikahi seorang wanita demi balas dendamnya kepada mantan kekasih yang sudah mencampakan dirinya, sembari mencari tahu siapa pembunuh kedua orangtuanya. Siapa sangka, pembunuh itu tidak jauh darinya. Kira-kira siapa pelakunya?

Bab 1 PENGKHIANATAN DAN PEMBUNUHAN

“Siapa kalian? Kenapa kalian datang menyerang kami!” teriak Tuan Fandy menatap mereka dengan penuh tanda tanya.

“Lebih baik tidak usah banyak tanya sebab ini adalah hari terakhir kalian di dunia ini!” Mereka pun tertawa puas.

“Apa maksud kalian? Kenapa kalian ingin membunuh kami!”

“Itu urusan bos kami, bodoh!”

“Bos?” Tuan Fandy semakin bingung.

“Iya, beliau ingin Anda mati agar tidak mendapatkan warisan dari ayahnya.”

“Apa kamu bilang?” Tuan Fandy sangat terkejut mendengar penuturan para berandalan tersebut.

Kini Tuan Fandy tahu apa yang sedang terjadi dengannya, siapa yang menyuruh mereka untuk menghabisinya, tidak mungkin!

“Mas, apa perlu kita hubungi Danny agar ia lekas pulang,” ucap sang istri, seketika sorot mata para preman tertuju kearahnya.

“Tidak, dia tidak boleh datang, Han!”

“Kenapa, Mas? Danny kan bisa bela diri.”

“Tetapi, mereka semua bukan tandingannya. Danny dalam bahaya, Han!”

“Apa maksud kamu, Mas?”

“Hey, siapa itu Danny!” seru ketua diantara para preman tersebut.

“Kalian tidak perlu tahu, biar aku yang hadapi kalian!” tegas Tuan Fandy tidak ingin mereka tahu siapa Danny, sebab Tuan Fandy tahu siapa mereka.

Perkelahian pun terjadi diantara para preman dan Tuan Fandy, beliau berusaha melindungi sang istri yang juga menjadi incaran mereka.

Tuan Fandy meminta Rihana sang istri untuk menjauh.

“Bagaimana denganmu, Mas?”

“Jangan khawatirkan aku, Sayang. Cepat pergi dan lindungi Danny!” pinta sang suami membuat Nona Rihana dilemma.

“Cepat!” seru Tuan Fandy sembari melawan beberapa preman bertubuh besar.

Nona Rihana pun akhirnya berlari keluar dari rumahnya, berusaha mencari bantuan, namun sayang seribu sayang, salah satu preman berhasil menangkapnya, hingga beliau tidak mampu lari kemana-mana.

“Mau kemana, ha? Anda tidak bisa lari lagi.” Preman tersebut mencengkram tangan Nona Rihana kuat-kuat.

“Lepas!” Nona Rihana memberontak, namun tenaganya kalah telak dari preman tersebut.

“Beritahu aku siapa itu Danny!”

“Tidak mau! Aku tidak akan memberitahumu, puas!” tegas Nona Rihana dengan bola mata membulat sempurna.

“Kurang ajar!”

Brukkkkk!

“Rihana!” teriak Tuan Fandy melihat sang istri didorong keras hingga mengenai meja makan oleh preman tersebut.

“Akh!” Nona Rihana pun meringis kesakitan sembari memegangi punggungnya, rasanya remuk redam, hingga ia langsung ambruk, tidak mampu berdiri lagi.

“Cepat katakan, atau aku akan berbuat yang lebih kejam dari ini!” ancam preman itu.

Nona Rihana menggeleng, ia menaati perintah suaminya. Beliau pun dihampiri sang suami yang sudah babak belur.

Para preman pun murka dengan kegigihan mereka yang tidak mau memberitahu tentang siapa Danny itu. Mereka sama-sama menyerang Tuan Fandy dan Nona Rihana tanpa ampun.

Tuan Fandy yang begitu menyayangi sang istri memeluknya untuk melindungi tubuh wanita tersebut dari kerasnya kaki para preman.

Bugh! Bugh!

Berkali-kali para preman memberikan tendangan demi tendangan terhadap mereka berdua membuat Nona Rihana ingin menyerah dan memberitahu para preman tentang anaknya yang bernama Danny. Namun, Tuan Fandy melarangnya dengan keras, beliau tidak mau mereka juga membunuh Danny. Tuan Fandy berharap Danny tidak segera pulang.

“Dasar keras kepala!” umpat ketua preman.

“Kita tunggu saja orangnya di sini, bos. Yang penting mereka harus kita habisi terlebih dahulu,” usul anak buahnya.

Ketua preman tersebut pun tersenyum sinis, “Kamu benar juga. Ayo kita lakukan tugas kita!” jawabnya diangguki anak buahnya.

Mereka pun kembali memukuli Tuan Fandy secara brutal, wajah beliau dan tubuhnya kini dipenuhi oleh luka karena melindungi sang istri. Setelah Tuan Sandy sudah tidak bernyawa, para preman tersebut menatap Nona Rihana dengan tatapan penuh nafsu.

Nona Rihana beringsut dari pelukan sang suami yang sudah tidak mampu melindunginya. Beliau ingin lari dari sana, akan tetapi tubuhnya terasa berat diajak bangkit. Beliau pun hanya bisa beringsut mundur sembari meringis menahan sakit.

“Haha .. haha.” Para preman tertawa puas melihat Nona Rihana ketakutan.

“Bos, tidak ada salahnya kan kita cobain dulu sebelum kita membunuhnya?” usul anak buahnya yang sangat biadab. Entah apa yang ada di dalam pikiran mereka semua sehingga mereka bisa berbuat kejam seperti ini.

“Tentu saja, kebetulan aku juga sudah tegang,” jawab sang ketua, seketika wajah Nona Rihana tercengang mendengar ucapan mereka.

“Pergi kalian, pergi!” teriak Nona Rihana, kini beliau tidak sanggup lagi menahan air matanya.

“Jangan takut, Nona. Kami tidak akan kasar-kasar, kita main halus saja, oke?”

“Dasar brengsek, aku bersumpah kalian akan masuk ke neraka Jahannam!” sumpah Nona Rihana.

Para preman menanggapinya dengan tawa yang menggelegar, mereka seakan tidak takut dengan sumpah serapah tersebut. Bagi mereka, hidup hanya ada di dunia ini saja. Padahal, setelah kematian ada hidup yang lebih mengerikan lagi bagi para penjahat sepertinya.

Mereka pun menghampiri Nona Rihana, melucuti pakaian wanita itu, tidak peduli dengan pemberontakan yang dilakukan Nona Rihana, mereka tetap memaksa dengan penuh nafsu.

“Tidakkk!” jerit Nona Rihana.

Jeritan demi jeritan tidak mampu menyusutkan niat mereka untuk terus menggauli Nona Rihana tanpa henti. Mereka seperti bajingan yang tidak punya akal sehat, tega berbuat kejam kepada seorang wanita yang sudah tidak berdaya.

****

Di sebuah tempat, tepatnya di depan café tempat Danny bekerja, ia tengah berdebat dengan kekasihnya lantaran diputusi tanpa alasan yang jelas.

“Apa maksudmu, Cintya? Kenapa tiba-tiba kamu ingin menyudahi hubungan ini?” tanya Danny penasaran.

“Tidak ada apa-apa, Mas. Aku hanya bosan denganmu dan aku capek.” Wanita yang bernama Cintya berbalik ingin pergi dari hadapan Danny, namun Danny mencegahnya.

“Tidak, jelaskan dulu alasanmu ingin putus dariku, Cintya. Apa kamu tidak tahu kalau cintaku sangat besar untukmu?”

Cintya menghela nafas panjang, lalu kembali berbalik berhadapan dengan Danny dengan wajah malas.

“Menurutmu, hidup hanya butuh cinta?”

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak mau hidup susah denganmu, Mas.”

Mulut Danny menganga mendengar alasan Cintya, padahal selama ini ia berusaha memenuhi keinginan wanita itu meski ia harus menahan lapar demi keinginan wanita tersebut, tetapi pernyataan Cintya barusan sungguh menuai goresan dalam di hati Danny.

“Kenapa tiba-tiba kamu berubah seperti ini?”

“Karena aku sadar bahwa hidup tidak hanya butuh cinta, Mas. Tapi juga materi yang akan menunjang kebahagiaanku nantinya. Aku rasa kamu tidak bisa melakukannya, jika kamu masih betah menjadi pelayan café terus,” hina Cintya menciptakan luka di hati Danny.

“Apa kamu sudah menemukan lelaki mapan, sehingga kamu mencampakanku seperti ini?”

“Iya, kamu benar, Mas. Dan lelaki ini yang akan membahagiakanku, karena dia bukan hanya sekedar tampan tapi juga mapan, tidak sepertimu yang hanya pegawai rendahan,” jawabnya seraya menatap pnampilan Danny penuh ejekan dari atas sampai bawah..

Danny melepaskan tangan Cintya, sorot matanya memancarkan kekecewaan, ia pikir Cintya berbeda dari wanita lain, ternyata sama saja.

“Selamat, pergilah! Dan ingat satu hal, jangan pernah kembali kepadaku.”

“Cih, memangnya siapa yang sudi kembali kepada pelayan café sepertimu, Mas?” ejek Cintya lalu berbalik, wanita itu melenggang meninggalkan Danny meninggalkan sejuta luka di hati Danny.

Danny menarik nafas dalam-dalam seraya memejamkan mata, ia pun pergi ke parkiran untuk mengambil motor butut yang menjadi kendaraannya. Ia memilih pulang karena hari sudah malam, ia ingin istirahat dan menenangkan pikiran setelah diputusi oleh Cintya. Ia merindukan pelukan sang ibu yang mampu menenangkan hatinya saat terluka seperti ini.

Sesampainya di rumah, kening Danny berkerut sebab ia melihat keadaan rumahnya yang gelap gulita seperti tidak ada penghuni, padahal biasanya kedua orangtuanya ada di rumah dan pasti menyambutnya pulang.

“Apa ayah dan ibu sedang pergi? Tapi kenapa tidak bilang?” gumam Danny sembari turun dari motor bututnya.

Cekrek!

Gelap, itulah yang pertama kali Danny lihat. Ia segera melangkah menyusuri tembok rumahnya guna menyalakan lampu yang ada di sebelah kiri pintu.

Betapa terkejutnya Danny saat lampu berhasil ia nyalakan.

“Ayah, Ibu!”

****

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku