"Bagaimana bisa aku menikah saat ini? Saat aku belum menyelesaikan pendidikanku? Belum lagi, pria itu pantas disebut kakek?" Sova terus meracau seorang diri, meratapi nasibnya yang harus mengubur cita-citanya. Terlebih, fakta bahwa ibu tirinya menyetujui pernikahan ini karena uang satu juta. Sungguh menyakitkan. Namun, keikhlasan dan kebaikan hatinya, membuat ia berniat menikah dengan sebenar-benarnya pernikahan. Ia pun berniat untuk belajar mencintai suaminya. Saat ia bertemu suaminya, ternyata lelaki tua itu tidaklah seperti apa yang ada di gambarannya, lelaki tua tak berdaya seperti Ayahnya. Tidak, lelaki itu sungguh tampan dan gagah, bahkan dia masih memiliki roti sobek di perutnya. Bukan hanya itu, lelaki itu ternyata seorang CEO yang mencari istri tulus untuk ia jadikan sebagai ahli waris dari semua harta kekayaan yang ia miliki. Apakah bisa Sova tak mencintainya? Yang matang lebih menantang. Ikuti terus kisahnya!
"Saya datang ke sini, bermaksud untuk melamar putri Bapak Harun, untuk ayah Saya, Pak Roy."
Samar-samar, Sova mendengar suara obrolan yang sepertinya berasal dari ruang tamu. "Melamar?" lirihnya pelan. Sontak Ia pun menghentikan langkahnya untuk mencuri dengar. "Siapa yang dilamar?" tanyanya di dalam hati. Ia pun berjongkok di teras belakang rumahnya, sisi ruang tamu, seraya meletakkan ember berisi piring-piring yang baru saja Ia cuci di sumur umum. Rumah milik Sova merupakan rumah panggung yang berukuran empat kali enam meter, jadi antara ruang tamu dan tempat Ia berjongkok saat ini seolah tak ada sekat, terlebih dinding rumah pun terbuat dari bilik kayu.
"Untuk siapa tadi?" Terdengar suara bu Devi, ibu tiri Sova yang mempertanyakan ucapan awal tamu.
"Untuk Ayah Saya, Pak Roy," jawabnya dengan suara yang tegas.
Hening sesaat, tak ada suara dari siapapun. Sova mengerutkan keningnya, berpikir tentang satu hal. Biasanya yang datang melamar itu adalah Ayah untuk anaknya, mengapa sekarang dibalik? Apakah anaknya sudah cukup dewasa, sehingga bisa melamarkan seseorang untuk ayahnya? Jika anaknya dewasa, bagaimana dengan ayahnya?
"Anda yakin? Berapa usia ayah Anda? Apa yang anda bawa untuk Saya?" tanya bu Devi terdengar ketus.
"Bisakah Saya berbicara langsung dengan pak Harun?" tanya orang itu lagi yang entah siapa, Sova tak berani mengintip. Jika Ia berani mengintip, pasti akan ketahuan karena kaca jendela yang merupakan kaca bening tanpa gordeng tipis.
"Tak perlu, suami saya masih sakit. Dia enggak bisa gerak. Semua keputusan ada di tangan saya. Saya cuma mau tanya dua hal. Satu, apa yang Anda janjikan untuk Saya sebagai orang tua? Dua, berapa usia ayah Anda?" tanya bu Devi to the point.
"Baik. Saya akan memberikan uang tunai sebesar satu juta untuk Anda sebagai ibunya. Usia Ayah saya 57 tahun, tepat di bulan depan."
"Hah?" terdengar bu Devi kaget, sama halnya dengan Sova yang langsung menutup mulutnya saat Ia mendengar usia sang pelamar.
"Tapi kan... yang ngebet pengen nikah Yulia." Sova tak berpikir apapun saat mendengar obrolan Ibu tiri dan tamunya. Toh, yang selama ini ingin segera menikah adalah Yulia, adik tirinya.
"Untuk usia segitu ya!" ucap bu Devi yang membuat Sova sedikit tersenyum lega. Nada bicara bu Devi seperti sedang mempertanyakan atau menunjukkan keraguan untuk menerima lamaran. Dia merasa kasihan kepada Yulia jika harus berakhir dengan menikahi seorang lansia. Bagaimana pun jahatnya Yulia kepadanya, Sova masih memiliki rasa sayang kepada anak ibu tirinya itu.
"Kalau kamu mau menaikkan harga menjadi lima juta, kita deal." Sova lebih serius mendengarkan obrolan kedua orang tersebut. Ia pun melirik ke kiri dan ke kanan, mencari sosok Yulia yang setiap hari memang jarang berada di rumah. Ia ingin mewanti-wanti agar adiknya bisa tegas menolak lamaran ini. Tapi nihil, ia tak menemukan sosok Yulia di sekitaran rumah.
"Baik. Sebulan lagi akan kita adakan pernikahan ini. Dan saya, melamar untuk yang ini!" ucap tamu lelaki tersebut.
"Yang ini?" monolog Sova sambil mengerutkan keningnya. "Apa di dalam ada Yulia? Jadi, dia nunjuk Yulia." Sova terus menerka-nerka pemikirannya sendiri. Ia tak berani mengintip untuk sekedar menuntaskan rasa penasarannya.
"Sebulan lagi, kami akan datang lagi untuk melaksanakan pernikahan."
"Oke, deal. Sepakat!" sahut bu Devi terdengar sumringah. "Tapi, saya minta DP sebesar satu juta, sekarang!" lanjut bu Devi yang membuat Sova lebih mengeratkan pegangannya pada gagang ember. Ia memikirkan nasib Yulia yang akan menikahi lelaki tua. "Kasihan! Mendingan kayak aku, lebih memilih mengejar cita-cita daripada harus berakhir menikah di usia muda. Aku masih mau bahagiain Ayah, Mama dan Yulia juga. Ahhh, semoga aku bisa merubah pikiran Yulia," gumamnya di dalam hati.
"Baik. Kita bertemu lagi bulan depan. Assalamu'alaikum," ucap suara bariton yang berasal dari ruang tamu.
Sova segera berdiri dari jongkoknya, kemudian Ia segera masuk ke dapur dengan segera. Ia cukup kaget karena disaat pikirannya sedang mengembara, tamu tersebut malah pulang dan keluar dari rumah. Ia buru-buru masuk dan tak sempat melihat perawakan tamu tersebut. Bahkan, setelah Ia berada di luar rumah sekalipun.
"Sova!" panggil bu Devi setelah kepergian tamu tersebut. Wanita paruh baya itu menyadari kedatangan Sova saat Ia mendengar seseorang membuka pintu dapur.
"Iya, Ma!" sahut Sova sambil menyimpan pekerjaannya. Ia sedang merapikan piring-piring yang baru Ia cuci ke atas rak kayu yang dibuat jauh di atas tungku.
"Kamu..." Sejenak bu Devi berhenti berbicara, seolah Ia sedang memikirkan sesuatu.
"Ada apa, Bu?" tanya Sova penasaran.
"Kapan datang dari sumur?" tanya bu Devi pada akhirnya.
"Baru masuk dapur, Bu. Kenapa gitu?" tanya Sova seolah Ia tak tahu kemana bu Devi akan membawa pembicaraan mereka. Ia memang benar-benar baru memasuki dapur seperti apa yang diucapkannya.
"Oh, enggak apa-apa. Ya sudah, sana lanjutkan!" titah bu Devi seraya mengibaskan tangannya.
"Iya, Ma!" sahut Sova seraya berlalu, kembali ke dapur.
"Jangan lupa, sapuin rumah lagi. Tadi baru ada tamu, dirapiin gelas yang di meja!" titah bu Devi sambil melenggang menuju kamar.
"Iya, Ma!" Lagi-lagi hanya kalimat itu yang terucap dari mulut kecilnya. Ia tak pernah mempermasalahkan apapun yang Ia terima di keluarga ini. Baginya, hidup bahagia adalah bagaimana cara seseorang menyikapi keadaan saja. Ia ikhlas.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Sova teringat dengan Yulia yang sedari tadi tak Ia lihat batang hidungnya. Bukankah lelaki tadi menunjuk ke arah Sova?
Sova berjalan ke kamar bu Devi dan pak Harun. Ia pun berhenti tepat di depan pintu yang hanya tertutup oleh gorden, tanpa daun pintu. "Ma!" panggil Sova.
"Apa?" bu Devi tiba-tiba menyibak gorden dan berdiri tepat di depan wajah Sova.
"Astaghfirullah!" ucap Sova karena kaget dengan keberadaan bu Devi yang tak sempat Ia perkirakan. Gadis cantik itu pun mengelus dadanya demi menurunkan rasa kaget yang Ia rasakan. Bahkan, Ia melihat dandanan bu Devi yang begitu mencolok.
"Apa?" ulang bu Devi dengan pertanyaannya.
"Mama mau kemana?" tanya Sova saat Ia melihat tampilan bu Devi yang cetar.
Karena pertanyaannya sendiri, Sova merasa serba salah karena melihat delikan tak suka dari bu Devi. Bahkan, wanita yang sudah menjadi ibu tirinya sejak Ia masih belum sekolah SD itu, tak sedikitpun menjawab pertanyaannya. "Emmmhh, Yulia mana?" tanya Sova pada akhirnya.
"Enggak ada. Dari pagi juga enggak ada," jawab bu Yulia seraya menggeser tubuh Sova yang menghalangi jalannya.
Sova mengernyitkan keningnya. "Bukankan Yulia ikut keluar sama tamu tadi?" tanya Sova yang hanya bercokol di dalam otaknya saja. Ia tak berani mengungkap pertanyaan itu karena Ibunya akan otomatis tahu kalau dia mengetahui tentang keberadaan tamu tadi. Ia pun memilih bungkam.
"Jangan lupa, bersihin Ayah kamu!" titah bu Devi seraya membuka pintu keluar.
"Mama mau kemana?" tanya Sova lagi sambil melihat Ibunya yang sedang mengenakan sendal, dengan membawa dompet kecil andalan bu Devi kalau mau pergi keluar.
Tak ada jawaban apapun dari bu Devi atas pertanyaan Sova. Bahkan, wanita paruh baya itu melenggang pergi tanpa mengucapkan salam kepada Sova yang masih setia berdiri di pintu keluar.
Sova segera masuk ke dalam rumah setelah menetralkan perasaannya dengan menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti barusan. Sekarang, Ia harus segera mengurus rumah dan Ayahnya.
Sova pun segera berbalik dan berniat membereskan gelas air putih yang berada di meja, serta piring yang berisi pisang goreng yang tadi pagi Ia siapkan di buffet. Saat Ia mengambil gelas tersebut, matanya menangkap sebuah foto yang tergeletak di sana. "Foto aku?" tanyanya dalam hati seraya memungut foto candid saat Ia mengenakan seragam sekolah.
Deggg... Tiba-tiba hatinya bergetar hebat karena teringat dengan obrolan antara bu Devi dan tamunya tadi. "Apakah tadi benar-benar tak ada Yulia?"
Bab 1 SLTC 1. Lamaran Misterius
10/02/2024
Bab 2 SLTC 2. Paksaan
10/02/2024
Bab 3 SLTC 3. Haruskah Pergi
10/02/2024
Bab 4 SLTC 4. Tom Cruise
10/02/2024
Bab 5 SLTC 5. Kesepakatan
10/02/2024
Bab 6 SLTC 6. Pesan untuk Kakek Calon Suami
10/02/2024
Bab 7 SLTC 7. Berjumpa Lagi
10/02/2024
Bab 8 SLTC 8. Norak
10/02/2024
Bab 9 SLTC 9. Ambruk
10/02/2024
Bab 10 SLTC 10. Gadis Malang
10/02/2024
Bab 11 SLTC 11. Flash back
10/02/2024
Bab 12 SLTC 12. Kita Kan Sudah Menikah!
10/02/2024
Bab 13 SLTC 13. Nyaman
10/02/2024
Bab 14 SLTC 14. Rahasia Ayah
10/02/2024
Bab 15 SLTC 15. Kejutan
10/02/2024
Bab 16 SLTC 16. Raksasa
10/02/2024
Bab 17 SLTC 17. Benih Cinta
10/02/2024
Bab 18 SLTC 18. Mulai Curiga
10/02/2024
Bab 19 SLTC 19. Pesan Bu Halimah
10/02/2024
Bab 20 SLTC 20. Anak Di Bawah Umur
05/03/2024
Bab 21 SLTC 21. Aku Masih Bayi Saat Kamu Beristri
05/03/2024
Bab 22 SLTC 22. Tragedi
07/03/2024
Bab 23 SLTC 22. Diselamatkan
09/03/2024
Bab 24 SLTC 24. Wanita Paruh Baya
09/03/2024
Bab 25 SLTC 25. Pertemuan Tak Disengaja
10/03/2024
Bab 26 SLTC 26. Rahasia Ayah
10/03/2024
Bab 27 SLTC 27. Fakta Lain
11/03/2024
Buku lain oleh Haifa Dinantee
Selebihnya