Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
180 Hari Menuju Akad

180 Hari Menuju Akad

Asda Tan

5.0
Komentar
4K
Penayangan
25
Bab

Kania Salsabila, gadis cantik berusia 27 tahun harus menerima kenyataan bahwa ia telah bertunangan dengan seorang ustadz tanpa persetujuan darinya. Kania tidak bisa menerima pertunanganan itu karena hatinya terpaut pada Aryaguna Wiratmaja, seorang sahabat yang menjadi malaikat dalam kehidupannya. Kedua orang tua Kania menginginkan ia menikah dengan lelaki yang baik agamanya bukan lelaki yang selalu memberinya harapan. Kania tidak bisa menolak keinginan orang tuanya, jadi ia meminta waktu 180 hari untuk dihabiskan bersama sahabatnya, hingga rasa nyaman itu membuat keduanya tidak ingin berpisah. Kepada siapakah pelabuhan cinta terakhir Kania akan berlabuh disaat hatinya sedang berkecamuk antara perjodohan dan persahabatan.

Bab 1 Perjodohan

"Nia, ada yang akan datang ke rumah kita malam ini, cepat pulang ya, Nak!"

Kata-kata mama Anita selalu terngiang-ngiang di dalam benakku, padahal ada setumpuk pekerjaan yang harus ku segerakan di meja kerjaku dimana deadline dua jam lagi.

Terlebih lagi dengan sikap protektif mama. Beliau berkali-kali menghubungiku, dengan sebuah kata yang mengingatkan agar aku tidak berkeliaran sepulang dari kantor. Sungguh, kata yang membuatku semakin tidak ingin pulang ke rumah hari ini.

Aku sangat yakin kalau mama akan menjodohkan ku lagi dengan seseorang. Tidak sekali dua kali, bahkan hampir setiap bulan ada saja lelaki yang beliau kenalkan kepadaku. Bahkan, mama tergolong lebih gencar mencarikan pasangan untukku dari pada diriku sendiri, hingga ada suatu ketika sebuah celetukan yang terucap dari mulut orang lain, "Itu yang mau nikah mamanya apa anaknya?"

Sungguh, bagi orang lain usia dua puluh tujuh tahun adalah usia yang sudah sangat matang untuk seorang wanita menikah, apalagi sebagai gadis yang tinggal di kampung dimana memang melihat seorang wanita yang belum menikah sebagai aib. Bagi mereka, usiaku adalah usia yang rentan mendapatkan ejekan dari lingkungan di sekitarku, karena tidak menikah dianggap tidak laku bagi mereka. Seperti sebuah barang kadaluarsa , aku seperti tidak bernilai dan tidak ada harganya bagi mereka.

Wajah yang cantik dan awet muda dengan karir yang cemerlang tidak menjamin seorang wanita akan menikah di usia muda, karena terkadang rutinitas pekerjaan membuat diri ini lupa kalau usia sudah tidak lagi muda.

"Bosan ah!"

Ku hempaskan satu map ke map yang lainnya. Aku bangkir dari tempat dudukku, berjalan cepat meninggalkan segudang pekerjaan itu, keluar dari ruangan untuk mencari udara segar agar pikiranku kembali jernih.

Ku bentangkan kedua tangan dengan mata tertutup sembari menghirup udara segar yang menyatu bersama hembusan angin. Ya, setidaknya udara segar yang dihasilkan oleh tanaman hijau di sekitar lingkungan kerja, cukup membuat pikiranku seperti terisi daya lagi.

"Kania, Kania ...."

Teriakan yang cukup membuat kesenanganku terganggu untuk sementara. Entah mengapa, saat ini dunia seolah tidak berpihak padaku. Ada saja hal-hal yang mengganggu ketenanganku, hingga mood ini menjadi tidak baik lagi. Namun, kali ini aku memilih mengabaikan suara itu, tapi lama kelamaan suara itu terdengar semakin dekat denganku.

"Ngapain bengong disini? Ntar kesambet loh!"

Suara yang tidak asing itu membuatku mencari sumber suara itu.

Sebuah senyum manis terpancar jelas dari wajah tampan Aryaguna Wiratmaja, lelaki dua puluh empat tahun itu menutup kaca mobilnya hingga membuatku ingin menghampirinya. Dialah lelaki yang sejak tiga tahun terakhir menjadi malaikatku. Lelaki terbaik yang selalu ada di setiap suka dan duka ku, lelaki hebat yang menjadi sandaran hatiku, tempat mengadu dan mencurahkan semua isi hatiku.

Lelaki tampan itu keluar dari mobil sport berwarna biru miliknya dengan penampilan rapi dan gagah rupawan yang mempesona. Ia seorang pengusaha muda yang sedang merintis karir di bidang fashion dengan bisnis yang saat ini sedang berkembang pesat saat ini.

"Jelek, ada apa? Kenapa wajahnya murung begitu?" ucap Arya sembari mencubit hidungku yang sangat jauh dari kata mancung.

Tetesan air mata yang sedari tadi ku bendung akhirnya tercurahkan juga. Entah mengapa, kedatangan Arya malah membuatku semakin ingin menangis sejadi-jadinya. Aku ingin mengadu dan mencurahkan semua beban yang tengah ku tanggung kepadanya. Rasanya aku ingin bersandar di bahunya dan aku ingin ia membantuku keluar dari masalahku saat ini.

"Arya, sepertinya Mama akan menjodohkan ku lagi," ucapku serak dalam isak tangisan.

"Paling nanti gagal lagi, Jelek."

Celotehan lelaki dengan tinggi 170 cm dengan kulit putih itu cukup menghiburku, aku tertawa di dalam tangisku. Memang ini bukan kali pertama aku bercerita tentang perjodohan dengan Arya, hingga lelaki tampan itu mulai paham dan mengerti tentang problem yang tengah kurasakan sekarang.

"Sudah ah, jangan cengeng, yuk jalan!"

Arya menarik tanganku, membawaku berjalan memasuki mobilnya, namun aku tidak ingin kemana-mana sekang, karena keadaanku dalam kondisi mood yang kurang baik.

"Aku ingin pulang," tolak ku lembut sembari melepaskan tanganku dari tangan Arya.

"Tapi jam kerja masih sejam lagi," ucap Arya sembari melihat arlojinya.

"Aku hanya ingin pulang."

"Sini, biar aku antar!"

Arya menggenggam tanganku kembali dan berniat mengantarkan aku pulang ke rumah, tapi aku tidak ingin ia mengantarku karena aku tidak ingin mengajak lelaki yang bukan calon suami ke rumahku. Prinsip ini adalah harga mati dan sudah kupegang erat sejak lama.

Bagiku Arya seperti seorang sahabat, teman dan malaikat yang mengayomi ku. Bahkan, walaupun usianya terbilang lebih muda dariku, tapi kedewasaan sikapnya membuatku merasa sangat nyaman untuk sekedar bercerita dengannya.

Arya memiliki energi luar biasa yang membuat wanita sepertiku seperti terhipnotis, ia seperti magnet yang membuatku lengket dan bergantung kepadanya, bahkan hanya dengan menatap wajahnya saja hatiku sudah merasa teramat sangat bahagia.

"Aku pulang sendiri saja."

Dengan gerakan sigap, aku melepaskan genggaman tangan Arya. Namun, lelaki itu tidak akan diam saja, ia pasti mengikuti langkah kakiku. Jadi, aku memilih mempercepat langkah dua kali lipat darinya, berlari ke parkiran dan langsung mengendarai sepeda motorku dengan kecepatan 60 km/jam. Ya, walaupun aku harus bolos beberapa menit dari jam kerja, bahkan meninggalkan tas kerjaku, setidaknya saat ini aku ingin menghindari Arya. Selain itu agar mama Anita tidak terus-terusan meneleponku.

"Nia, tunggu!" Teriakan Arya tidak ku hiraukan, karena aku harus cepat sampai di rumah agar kedua orang tuaku tidak khawatir.

"Nanti aku telepon," ucap Arya lagi.

Aku terus melajukan kendaraanku hingga dalam tiga puluh menit sampailah aku di depan rumahku.

Ku parkirkan motor matic kesayanganku, membuka helm berwarna merah muda yang selalu menemaniku, sebelum akhirnya berlari menuju kamar. High hells yang ku kenakan tidak menghalangi langkahku untuk terus melangkah, karena baju dinas yang ku kenakan terasa sangat gerah. Aku ingin segera mandi dan bersemedi di kamar untuk menghindari perbincangan dengan mama. Tapi, mama tidak akan tinggal diam, dengan berbagai cara beliau akan mencari cara untuk mengobrol denganku.

Tok ..., Tok ..., Tok ....

Sesuai dugaanku, dalam sepuluh menit terdengar olehku mama mengetuk pintu kamarku, tapi kali ini aku bersikap tidak peduli.

Aku segera membaringkan tubuhku di ranjang, menutup seluruh tubuhku dengan selimut dan pura-pura memejamkan mata seolah tidak mendengar panggilan dari orang tuaku.

Untuk saat ini aku tidak ingin bertemu dengan siapapun termasuk keluargaku, aku hanya ingin mengurung diriku di kamar dengan membawa sejuta kesedihan bersamaku.

'Maafkan Nia, Mama.'

Ada rasa bersalah di dalam hati ini karena telah mengabaikan orang tuaku. Namun, ini adalah salah satu bentuk penolakan secara tidak langsung atas ketidaksukaan ku atas perjodohan orang tuaku.

"Kania, Mama tahu kamu belum tidur, Nak, apa kamu bisa keluar? Mama dan Papa ingin berbicara," ucap mama lembut namun terdengar sangat tegas sekali.

Bagaimanapun aku adalah seorang anak dan aku tidak ingin menjadi anak durhaka yang tidak patuh kepada orang tua. Tapi keegoisan membuatku menjadi tinggi hati, aku mengurung diri di kamar tanpa menghiraukan panggilan orang tuaku.

Sejam berlalu, mama Anita akhirnya masuk ke kamarku dengan rasa kecewa yang ia bawa bersamanya. Sementara aku, aku menjadi anak yang keras hati, ku palingkan tubuhku menghadap ke dinding dan aku sama sekali tidak ingin melihat wajah mamaku.

"Nia, Mama tahu kamu belum tidur, tapi satu hal yang harus kamu kalau Ustadz Fahri adalah lelaki yang tepat untuk menjadi suamimu, bukan si Arya, lelaki yang hanya memberikan harapan dan memanfaatkan mu saja!"

-Bersambung-

Hai readers, selamat datang dibuku pertama aku di bakisah , semoga pada suka ya.

Cerita ini diambil dari kisah dan fenomena yang sering terjadi di masyarakat kita, selamat membaca dan semoga pada suka ya!

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku