Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Membangun Surga Bersamamu

Membangun Surga Bersamamu

Kahen

5.0
Komentar
16
Penayangan
5
Bab

Tumbuh sebuah cinta awalnya memang sangat kaku, tapi lama-lama saling merindu, dan akhirnya bersatu. Dua hati yang tidak sengaja bertemu di sebuah kampus. Bertemu dengan cara yang tidak pernah disangka-sangka. Ternyata justru dari pertemuan itu Zayyad dan Faza penasaran satu sama lain. Dari background keluarga mereka yang sangat bertolak belakang, akhirnya memberi mereka pelajaran, bahwa mereka adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Namun, di sisi lain, ujian terus menghantam mereka, sampai salah satu dari mereka akhirnya menyerah dengan keadaan. * Tentang pertemanan, cinta, keluarga, dan perpisahan.

Bab 1 Bodyguard Dadakan

Menerima segala hal yang mengganggumu tanpa merasa diusik adalah salah satu cara untuk bebas dari masalah.

*

Sekarang pukul 22:45, kampus masih ribut. Ribut dengan beberapa kelompok mahasiswa yang menikmati waktu tenangnya. Ada sebagian yang putar musik dengan speaker yang sangat kencang, ada sebagian yang teriak-teriak, ada juga dua tiga orang yang baru keluar dari masjid.

Salah satu waktu yang tenang bagi mahasiswa adalah di malam hari dan di hari libur. Selebihnya waktu yang menyebalkan, waktu yang membosankan, dan waktu yang mengerikan. Akan ada titik tertentu bagi mahasiswa akan merasakan hal ini, kapan merasa tenang dan kapan merasa tertekan. Jadi, kalau misal ada sebagian mahasiwa yang biasa ribut-ribut di depan masjid, aku sama sekali tidak menegur, semasih bukan waktu salat. Aku bebaskan mereka melampiaskan semua capek dan lelahnya kuliah dan menghadapi tugas akhir.

Sebelum hendak ingin tidur, aku keluar mengambil air wudhu. Sangat jelas, betapa ributnya suasana yang terdengar dari luar teras masjid ini. Teriak, nyanyian, serta sorak-sorak bercampur aduk. Polosnya aku waktu itu, pikirku dunia kampus hal yang menarik, bebas mau lakuin apa aja dalam kampus yang penting bisa menghargai orang lain, pakal celana dan baju kemeja yang rapi, jalan berlagak kayak orang-orang hebat. Tetapi, setelah merasakannya, ternyata aku sepolos itu. Nyatanya sangat-sangat bertolak belakang dengan apa yang aku pikirkan.

Namun, aku selalu percaya satu hal, bahwa di setiap tempat tidak akan mungkin hanya ada sesuatu yang buruk. Akan ada saja cara Tuhan untuk mengadakan sesuatu yang baik untuk membuatnya seimbang. Meskipun sesuatu yang buruk lebih dominan. Seperti halnya dalam sebuah keluarga, akan ada saja beberapa anak yang suka bikin masalah, sifatnya buruk, sehingga memperburuk pikiran orang tua, tetapi di sisi lain, pasti ada satu anak yang berperan menjadi air, penenang, dan kebahagiaan di keluarga tersebut.

Begitu juga di setiap tempat yang kita temukan, di sekolah, rumah sakit, maupun di kampus ini, aku sangat percaya, meskipun banyak yang sudah aku lihat hal-hal yang buruk, tetapi yang baik itu ada, meskipun setitik yang sangat kecil.

Setelah siap mengambil air wudhu, aku akan mengunci semua pintu masjid. Dua pintu masuk khusus untuk laki-laki sudah terkunci semua. Sekarang aku melangkah ke saf akhwat. Aku menarik pintu tersebut agar rapat dan bisa dikunci, tetapi seperti ada yang tahan dari luar.

"Kak! Kak!"

Tiba-tiba ada suara perempuan dengan sedikit berbisik.

Aku membuka kembali pintu itu, hingga terbuka lebar.

"Eh, maaf, mau salat?" tanyaku sembari menjaga jarak darinya karena teringat dengan wudhuku yang belum batal.

"Gak, Kak," jawab perempuan itu terengah-engah. "A-aku hanya ingin masuk di masjid."

Aku tidak heran dengan beberapa perempuan yang sampai malam di kampus, tetapi kali ini aku baru ketemu dengan perempuan yang hampir jam 11 malam ingin masuk ke dalam masjid.

"Gak pp, kunci aja pintunya, Kak." pintanya.

"Eh, tapi kamu tidak nginap di sini, kan?"

"Tidak, Kak. Sebentar aja, nanti aku keluar lagi. Di luar ada senior yang lagi kejar aku soalnya. Aku rasa masjid tempat yang aman untuk sembunyi."

" Senior? Dikejar? Kamu maling, ya?"

"Astaga. Ih, Kak. Banyak nanya, nanti orang itu keburu datang."

Aku mengangguk paham dan mencoba berpikir normal dengan situasi kampus, dimana sebagian. senior-senior sering menyuruh juniornya untuk datang di kampus bahkan sampai malam hanya untuk ngobrol dan bahas yang tidak penting. Tapi ini perempuan, apa mereka setega itu? Ah, sungguh tidak becus.

Aku merapatkan kembali pintu tersebut, lalu menguncinya. Karena tidak tega melihat wajah ketakutan perempuan di depanku ini.

"Kak!"

"Eh, eh." Aku menghindar, refleks melangkah mundur setelah melihat tangan perempuan itu ingin memegang tanganku.

"Aku sudah wudhu tadi."

"Ih, maaf banget Kak. Aku tidak tahu."

Terlihat perempuan itu mengerutkan dahinya, ia dengan merasa bersalah mengurungkan tangannya kembli.

"Kakak bisa tinggal di sini bentar gak? Aku takut banget soalnya."

"Kenapa?" tanyaku tegas.

"Allahu, cobaan apa lagi ini, Tuhan? Mana mungkin aku berduaan sama perempuan di masjid?" kata hatiku yang tak bersuara.

"A-aku di saf laki-laki aja. Aman kok. Pintunya sudah aku kunci semua." Kali ini aku yang terbata-bata plus keringat dingin.

"Tapi Kak, dia pasti mengintip aku dari luar, secara masjid ini sangat terbuka meskipun pintu-pintu sudah terkunci semua."

Aku semakin panik.

Betul juga apa yang dikatakan oleh perempuan ini, meskipun pintunya terkunci, tetapi orang dari luar masih bisa melihat kami di dalam, karena konsep temboknya memakai interior yang berlubang-lubang. Hanya bagian pintu saja yang tertutup. Tembok samping kiri kanan belakang semua dipasangi interior yang berlubang-lubang.

Aku dengan cepat memikirkan alasan yang lain.

"Oh iya. Gimana kalau aku matiin semua lampunya?"

"Kak, plliss. Senior aku bukan orang yang bodoh. Dia pasti pake senter Hp kalau kondisinya gelap."

"Ya udah, tunggu sini. Aku mau matiin lampu dulu bentar, agar teman-teman aku tidak keluar lagi ngecek pintu. Kalau mereka tahu kita berduaan di sini, aku bisa dikeluarin dari masjid ini. Bukan hanya di masjid, tapi mungkin langsung di DO sama dosen-dosen."

Perempuan itu hanya mengangguk patuh.

Setelah semuanya aman, aku kembali ke saf perempuan. Dalam hati kecilku, kasian juga sama perempuan ini. Mungkin dia dalam keadaan tertekan, terlihat dari raut wajah yang sangat panik dan keringatnya yang bercucuran.

"Lah, tuh anak ke mana?" Netraku tidak bisa menangkap keberadaan perempuan itu setelah kembali.

Aku tidak melihat siapa pun di dekat pintu sana. Meskipun lampu luar dan dalam masjid sudah mati semua, tetapi pancaran sinar cahaya lampu jalan di luar cukup terang, sehingga masih bisa membuatku untuk melihat seseorang di dalam masjid ini.

Aku melirik kanan kiri, nah akhirnya ketemu. Ada seseorang yang melambaikan tangan di sudut sana. Iya, itu adalah perempuan yang menambah beban hidupku malam ini.

Aku pun melangkah ke sudut kanan. Posisi kami saling berhadapan, tetapi sangat jauh, karena masing-masing dari kami menempati kedua sudut masjid yang berbeda meskipun satu tempat yaitu di saf perempuan.

"Kak Zay! Kak! Kak!"

Mampus, salah satu teman kamarku keluar, mungkin karena aku yang lumayan lama gak masuk- masuk. Karena mengingat ini hampir jam 12, dimana pada jam tersebut kami semua sudah menikmati dunia mimpi.

Keringatku semakin bercucuran. Jangan sampai dia tiba-tiba membuka tirai yang membatasi antara saf perempuan dan laki-laki. Jika dia membuka tirai tersebut, dia akan melihat dua makhluk yang mungkin sedang gemetaran ketakutan terciduk.

"Ekhm! Ekhm!"

Tiba-tiba terdengar suara batuk yang dibuat-buat. Itu adalah suara perempuan di sudut sana.

"Apa ada perempuan?" tanya temanku memastikan.

"Iya ada," jawab perempuan itu.

Aku sedikit lega, akhirnya dia peka juga untuk membantuku. Aku mengelus dada bersyukur.

Terdengar suara pintu dibuka oleh seseorang.

"Eh, Wira, kamu mau salat?" temanku tadi bersuara, sepertinya dia bicara dengan seseorang di luar.

Malam yang hening, suara bisik-bisik mereka terdengar sangat sempurna.

"Gak, Den. Kamu lihat perempuan di sekitaran sini, gak?"

"Perempuan?"

Mampus, pikirku itu adalah orang yang ngejar perempuan ini. Netraku langsung mengarah ke arah perempuan tersebut. Dia pun memberi kode, mengarahkan ibu jarinya ke arah suara dua laki-laki yang tengah berdiskusi di luar sana.

Jangan sampai Aden bilang ada perempuan di dalam masjid ini.

"Ti-tidak, Wir," jawab Aden.

Aku sangat paham, Aden salah satu junior yang tidak pandai berbohong, tetapi sekali dihadapkan dengan situasi yang seperti ini, dia salah satu junior yang juga mempunyai kepekaan yang sangat tinggi. Dia begitu cepat mengerti kondisi kampus. Jika ada laki-laki yang mencari perempuan tengah malam seperti ini, apalagi perempuannya sembunyi di dalam masjid, pasti ada yang tidak beres.

"Oke, bro."

Aden kembali mengunci pintu.

Terdengar jelas langkah kaki laki-laki di luar sana sedikit demi sedikit menjauh sampai akhirnya hilang.

"Makanya, Mbak, kuliah-kuliah aja. Jangan lagi ada embel-embel mau cari cowok atau pacar-pacaran apalagi tengah malam gini, di kampus lagi. Mbak tidur aja di sini kalau takut pulang."

Intonasi Aden marah-marah dan suaranya sangat jelas diarahkan ke kami berdua di belakang sini. Perutku terasa seperti ada yang menggeliti mendengar Aden mengoceh seperti itu pada perempuan, hahaha. Seperti seorang suami yang lagi marahin istrinya yang berbuat salah, mana umur mereka yang aku pikir gak beda jauh juga. Tapi serius, Aden salah satu jenis manusia yang sama sekali tidak bisa melihat orang lain sedang dalam kesulitan, apalagi perempuan, karena mungkin dia anak pertama dan dia mempunyai dua adik perempuan.

"Iya, Kak, terima kasih," jawab perempuan itu polos.

Tiba-tiba suara pintu kamar terkunci. Aden betul-betul mengunci pintu kamar dan melupakan aku yang belum masuk di dalam kamar. Mungkin pikirnya, aku malam ini nginap di luar. Padahal rencana aku ingin masuk ke kamar setelah dia tidur.

Malam yang hening. Angin sepoi-sepoi datang dari luar menghembus masuk ke dalam masjid lewat lubang-lubang interior yang tidak terlalu besar ini.

Angin-angin ini seperti sedang mengingatkanku tentang kalimat yang pernah dikatakan oleh Murabbi, bahwa jika antum berdua-duaan sama seorang perempuan tanpa ada pantauan langsung dari mahramnya si perempuan itu, maka yang ketiganya adalah syaitan. Dan syaitan ini lah yang tidak akan pernah berhenti menghasut kalian untuk bermaksiat.

Mengingat itu, berkali-kali aku ucap "Audzubillahiminasyaitonirojim".

Aku melirik pelan perempuan di ujung sana. Ternyata dia sudah terlentang di lantai yang beralas sajadah. Sebelum tidur juga, aku berdiri untuk salat witir. Untung dia tidur membelakangiku. Andai saja dia tidur ke arahku, mungkin aku tidak akan salat, langsung tidur saja.

Setelah salam ke kiri, betapa kagetnya aku melihat perempuan itu menghadap serius ke arahku, tanpa senyum dan tanpa ekspresi apa pun. Tatapannya datar. Spontan aku langsung mengucap astagfirullah dan mengusap wajah setelah sempurna salam menghadap ke kiri.

"Kenapa? Gak bisa tidur?"

"Badanku sakit, Kak. Mungkin karena tidurnya melantai."

"Ya susah juga kalau kamu mau tidur pakai kasur dalam kondisi seperti ini. Ambil aja lagi beberapa sajadah di lemari itu. Lapisin sampai puluhan lapis, biar gak kerasa lantainya."

"Emang boleh. Kak?"

"Boleh. Tapi besok kamu bawa pulang, terus cuci."

"Gak papa, Kak. Aku besok cuci semua."

Lah, ini bocah. Padahal aku bercanda, malah diseriusin. Tidak menunggu lama dia langsung menyusun sajadah berlapis-lapis. Entah berapa sajadah yang dia pakai, sepuluh menit kemudian dia langsung terlelap, dan anehnya ada suara yang tidak enak didengar. Itu suara ngorok.

Astaga, di umur 22 sekarang, aku baru tahu ternyata perempuan cantik juga bisa ngorok. Aku berusaha untuk tutup mata, tetapi suara pengantar tidurku kali ini sangat mengganggu.

Biasanya untuk pengantar tidur, kami mendengar muratal, tetapi malam ini sungguh tidak disangka, di luar nurul seperti kata orang di komentar-komentar medsos. Sudahlah, aku nikmati saja suara ngorok ini daripada aku tidak tidur semalaman.

Sambil memejamkan mata, aku memikirkan alasan jika ditanya sama anak-anak, malam ini aku nginap dimana.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Sang Pewaris Terkaya

Sang Pewaris Terkaya

Lebih

4.8

Sejak kecil, aku selalu hidup miskin. Setiap pulang sekolah, aku akan bertemu dengan pemandangan ayahku yang sibuk di dapur. Dari ingatanku yang paling awal, aku akan selalu ingat ayahku mengenakan seragam pabrik lamanya di rumah. Rambutnya seputih salju dan kulitnya sangat gelap. Dia biasanya merokok rokok murah dan mobil yang dikendarainya adalah Kijang tua yang benar-benar rusak. Terlepas dari semua kesulitan kami, ayahku mengabdikan dirinya ke dalam pekerjaannya selama 18 tahun dan membesarkanku dengan kemampuan terbaiknya, dan aku akhirnya tidak mengecewakannya karena aku berhasil masuk ke universitas yang sangat bagus. Karena aku berasal dari kemiskinan, aku harus bekerja paruh waktu untuk membayar biaya kuliah yang tinggi. Aku tahu teman sekelasku pasti memandang rendah diriku karena aku sangat miskin, tetapi aku melakukan yang terbaik untuk tidak membiarkan hal itu mengganggu pikiranku. Pada hari ulang tahunku yang ke-18, ayahku mengumumkan bahwa dia akan memberiku hadiah ulang tahun dan dia akan membawanya kepadaku secara langsung. Hari itu aku melihat ayahku dalam pandangan baru. Kepala putih salju ayahku yang kasar telah berubah menjadi hitam mengkilat. Dia telah mengganti pakaiannya yang compang-camping dengan setelan Givenchy yang mahal, dan dia bahkan memakai jam tangan Patek Philippe di pergelangan tangannya. Kijang tua sekarang menjadi Rolls Royce edisi terbatas. Aku menatap ayahku dengan mata bingung dan bertanya dengan suara tidak percaya, "Ayah, apakah keluarga kita benar-benar yang terkaya di dunia saat ini?" Ayahku mengeluarkan cerutu Maya Sicars senilai Rp 5.000.000.000, menyalakannya, dan meniup cincin asap. “Nak, aku tahu kamu telah banyak menderita selama 18 tahun terakhir, dan aku merasa malu karena aku tidak dapat memberikan lebih banyak untukmu. Aku ingin kamu mengambil seratus miliar ini sebagai uang saku terlebih dahulu. Kamu dapat memintaku lebih banyak nanti jika itu tidak cukup!

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku