Cahaya Pelangi dari Surga

Cahaya Pelangi dari Surga

Yuliana Yustian

5.0
Komentar
24.4K
Penayangan
121
Bab

"Sekarang kau bisa bahagia setelah dia pergi, Halilintar!" "Demi Tuhan, bukan ini yang kuinginkan!" Penderitaan tidak pernah surut menyelimuti Rubby. Siksaan ibu tiri selalu memberikan luka pada tubuh. Kehadiran Rain-sahabat Rubby, menguatkan dirinya. Rain menjanjikan cinta yang tulus. Ketika bunga cinta mulai tumbuh di hati Rubby untuk Rain. Tiba-tiba Rubby dijodohkan dengan Halilintar. Dia tidak tahu, Halilintar memiliki niat buruk padanya. Namun pesona Halilintar, menggetarkan hati Rubby. Siapakah yang akan Rubby pilih untuk menemani sisa hidupnya?

Bab 1 Kematian Sang Ibu

Pecahan gelas membentur lantai marmer, serpihannya menyebar, berbunyi begitu nyaring. Gadis bersurai hitam tersentak kaget. Anak berumur sepuluh tahun itu, hanya diam mematung menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tua.

"Jangan kau pikir aku tidak tahu, kau berselingkuh dengan pria itu!" Suara bariton memecah kebisuan malam.

"Astaghfirullah, Mas. Kau jangan membalikan fakta. Jelas-jelas aku melihat kau bersama dengan tetangga kita!" sahutnya dengan mata yang menyala.

"Berhenti menuduhku, Sharena!" bentaknya.

Tamparan keras melayang menyentuh pipi mulus istrinya. Wanita berambut hitam panjang tersungkur ke lantai dengan memegangi bibirnya yang berdarah.

"Mamah!" pekik anak kecil berumur sepuluh tahun. Ia berlari menuruni tangga, hendak menghampiri ibunya. Namun, urung dilakukan.

"Kau dekati ibumu, aku pastikan kau akan bermalam di gudang bawah tanah!" ancam pria paruh baya itu.

"Kau tidak pernah berubah, Mas. Kau akan menyesal jika terus seperti ini!"

"Ya, aku menyesal karena telah menikahimu, Sharena! Aku semakin yakin, bahwa anak itu bukan anakku!" Pria itu mengacungkan jari telunjuk, mengarahkan pada gadis yang sedang menangis tergugu, di anak tangga ke tiga.

"Cukup, Mas. Cukup!" jerit Sherena. Bulir suci membasahi pipi, tetesannya menunjukan rasa perih yang mendalam.

"Pergilah, kau bebas sekarang! Silahkan, kau bersenang-senang bersama selingkuhan berkedok sahabat itu!"

"Demi Tuhan, aku tidak pernah selingkuh. Percayalah, dia anakmu!"

"Cukup, Sherena! Pergi!" Brahma menendang tubuh istrinya, hingga meringkuk di lantai.

Sherena kembali bangkit dan menatap suaminya dengan mata yang menyala dan basah oleh air mata.

"Jika benar dia bukan anakmu kau boleh buang kami, tapi aku mohon jangan menuduh tanpa bukti. Aku ingin kau tes DNA!" tekan Sherena menggoyang kaki Brahma.

"Tidak!" Brahma menepis tangan Sherena.

"Kenapa kau begitu egois, Mas!?"

"Kau yang egois, sekarang enyahlah dari hadapanku, Sherena. Aku sudah jijik melihat wajahmu!" usir Brahma tanpa ampun.

Brahma pergi meninggalkan Sherena yang masih bercucuran air mata. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu, menangis dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Dia menutup wajah dengan kedua tangan. Sherena batuk hingga mengeluarkan darah. Dia menatap tangannya yang penuh darah dengan nanar.

Sherena merahasiakan penyakit kanker yang diderita dari suami dan anak. Dia tidak ingin mereka tahu, selama ini Brahma menuduh dia berselingkuh. Padahal pria yang dituduh adalah sahabat yang setia, menemani dan membiayai pengobatan penyakit Sherena. Brahma terlalu pelit mengeluarkan uang untuk pengobatan.

Anak kecil yang sedari berdiri memaku itu berjalan menghampiri, Sherena segera mengusapkan tangannya yang dipenuhi darah pada celana Kulot yang dikenakan.

"Mamah," panggilnya. Dia ikut duduk di samping ibunya. "Apa benar aku bukan anak papah?" Wajahnya terlihat sendu.

Sherena memeluknya dengan erat. Mencium beberapa kali pucuk kepala putrinya. Sherena melepas pelukan, memegang kedua bahu putrinya dan berkata.

"Anakku, Rubby," ucapnya. Ya, anak kecil berumur sepuluh tahun itu, bernama Pelangi Mekka Rubby.

"Dengarkan Ibu, Nak. Kau itu anak papahmu. Percayalah, Mamah tidak pernah selingkuh." Mata Sherena Kembali berkabut, hujan turun dari kelompok mata.

"Mamah, jangan nangis." Bibir Ruby bergetar menahan sesak, ibu jarinya yang lentik mengusap wajah ibunya. "Rubby percaya pada Mamah," ucap Rubby.

Sherena kembali memeluk anaknya dengan erat. Menumpahkan rasa sesak, yang menguasai hati selama dua belas tahun. Sherena kembali melepas pelukan, menatap lekat darah dagingnya yang terlihat cantik dan manis.

"Nak, dengarkan ibu baik-baik," serunya. Rubby pun mengangguk.

"Jika ibu tidak ada, tolong jaga papahmu. Jangan tinggalkan dia apapun yang terjadi. Kau mengerti, Nak?"

"Memang, Mamah mau kemana?" Rubby bertanya dengan wajah yang polos.

"Mamah harus pergi, jadi berjanjilah padaku, agar Mamah bisa tenang." Sherena mengacungkan jari kelingking ke udara. "Janji!" Wanita ini tersenyum dipaksakan.

"Aku, janji, Mah." Rubby melingkarkan jarinya.

"Anak pintar." Sherena mengacak rambut hitam putrinya.

"Jaga dirimu baik-baik, Nak. Mamah pergi dulu ya." Sherena beranjak dari duduk. Dia berdiri. Rubby menahan tangan wanita ini. Namun, dengan kasar Sherena menepisnya.

"Maafkan Mamah, Nak. Mamah harus pergi." Sherena berlari dengan menangis, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Mamah jangan pergi!" Rubby berteriak mengejar Sherena. Namun Sherena sama sekali tidak berbalik.

"Mamah!"

"Biarkan dia pergi, Rubby! Dia bukan ibu yang baik!" Brahma berteriak menahan langkah Rubby.

Sherena menghentikan langkahnya saat suaminya mengatakan kata yang menyakitkan. Sherena menggelengkan kepala dan meninggalkan rumah ini dengan membawa segudang luka. Rubby terus menangis, melihat kepergian ibunya dengan bersandar di daun pintu.

"Mamah." Rubby bergumam lirih.

"Rubby, masuk!" bentak Brahma.

*

Mentari datang menyapa bumi, sinar keemasan mulai menembus ranting-ranting pohon. Kicauan burung terdengar syahdu, pagi yang indah. Pintu rumah Rubby digedor dengan sangat kencang. Rubby tersentak dari lamunan, sejak semalam dia tidak dapat memejamkan mata-menangisi kepergian Sherena.

Rubby menyibakan selimut yang menutupi tubuh. Dia beranjak dari tempat tidur. Menuruni tangga dengan tergesa. Dia melihat Brahma sedang berdiri di ambang pintu, berhadapan dengan pria asing. Rubby menghentikan langkah, tubuhnya ambruk. Dia bersimpuh di anak tangga saat mendengar pria asing itu, mengatakan ibunya ditemukan di tepi pantai dengan sudah tidak bernyawa. Mendengar itu, Rubby berlari menghampiri sang ayah dan memeluknya. Menumpahkan rasa sedih. Namun, dengan cepat Brahma menjauhkan tubuh Rubby. Berlalu meninggalkan Rubby tanpa sepatah katapun.

Rubby duduk di lantai, menangis sendiri dengan memeluk lutut dan membenamkan wajah di antaranya. Tidak ada lagi tempat bersandar dan berbagi, Sherena kini telah pergi dan tak akan kembali.

Seorang anak kecil seusianya berdiri di belakang Rubby, mengusap lembut pucuk kepalanya. Gadis kecil ini mendongak, matanya yang berair menangkap sosok pria yang sangat dikenal.

"Rain?" gumamnya.

Ya, anak lelaki berusia sepuluh tahun itu, bernama Rain Suryadharma-sahabat Rubby.

"Apa kau tidak berniat pergi ke pantai, melihat ibumu?" Rain memiringkan wajah ke satu sisi. Ibu jari mengusap sudut mata Rubby yang masih dipenuhi air mata.

Rubby memeluk tubuh Rain dengan erat. Menumpahkan kesedihan di bahu Rain.

"Mamah udah tidak ada, aku harus bagaimana?" lirih Rubby, suaranya bergetar.

"Jangan takut, kan, ada aku." Rain mengusap lembut pucuk kepala Rubby.

"Aku tidak akan pergi, Rubby. Aku berjanji," ucap Rain. Melepaskan pelukan dan tersenyum manis menatap wajah Rubby yang berair.

"Ayo kita lihat ibumu."

Rubby mengangguk cepat.

Mereka pergi ke Pantai yang tidak jauh dari rumah. Rain tahu kabar duka itu dari ayahnya-Dharma.

*

Pusara Sherena masih basah. Belum genap satu bulan, Sherena meninggal. Brahma sudah menikah dengan janda beranak satu. Rubby tidak terima semua ini. Dia mengacaukan pesta pernikahan Brahma. Rubby membanting apa saja yang ada di lantai dua. Hal itu membuat Brahma marah dan murka.

Brahma naik ke lantai dua dengan langkah cepat. Menyeret Rubby masuk ke dalam kamar. Membanting tubuh mungil itu ke lantai hingga tersungkur.

"Apa kau sudah gila, hah!" bentak Brahma. Rubby semakin menangis tergugu saat tamparan mendarat di pipinya yang basah oleh air mata.

"Rubby tidak mau ayah menikah lagi, aku mohon." Rubby bersimpuh di kaki Brahma.

"Lepaskan!" Brahma menendang perut Rubby hingga tersungkur.

"Suka atau tidak, aku akan tetap menikah!" Brahma berbalik hendak meninggalkan Rubby.

"Aku mohon." Rubby menahan kaki Brahma dengan kedua tangan.

"Rubby lepaskan!" Tangan Brahma terangkat di udara siap melayang ke pipi Rubby.

"Mas, jangan!" Wanita calon pengantin itu menahan tangan Brahma. Perlahan tangan itu turun.

"Kau lihat Rubby. Calon ibumu sangat baik," ucap Brahma dengan berlalu.

Wanita bergaun putih itu tersenyum menyeringai saat Brahma pergi. Dia berjongkok dan mendekatkan wajahnya ke arah Rubby.

"Rubby sayang, sebaiknya kau menurut padaku atau aku bisa saja membuat, ayahmu sangat membenci dirimu, kau paham?" ancamnya dengan mencengkram dagu Rubby.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Yuliana Yustian

Selebihnya

Buku serupa

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku