Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hasrat Terlarang Janda Tujuh Kali

Hasrat Terlarang Janda Tujuh Kali

Yuliana Yustian

5.0
Komentar
18K
Penayangan
30
Bab

"Menjanda lagi, menjanda lagi. Mau berapa kali kamu menikah Aah? Bapak sudah lelah menjadi walimu. Tujuh kali menikah, tujuh kali pula kamu bercerai." Sarboah janda tujuh kali yang memiliki hasrat berlebih. Dia tidak bisa mengendalikan syahwatnya. Sedangkan Adrian pria Impoten yang ingin sembuh dari penyakitnya. Mereka dipertemukan oleh garis takdir. Dan peristiwa yang tak terduga membuat mereka terpaksa harus menikah. Bagaimana bahtera rumah tangga yang dijalani Sarboah dan Adrian?

Bab 1 Perceraian

"Tidak mungkin, kamu tidak bercinta dengan pria itu, Sarboah!"

"Mas, tidak percaya padaku? Dia hanya memintaku berkencan dan makan malam. Percayalah!"

"Halah, wanita seperti dirimu, tidak bisa dipercaya! Pantas saja, semua pria meninggalkanmu. Ck! Kamu memang perempuan yang tidak cukup dengan satu pria. Kita bercerai saja!"

Aku hanya pasrah, ketika Mas Dewo menarik tanganku dan masuk ke dalam rumah orang tuaku yang berada di samping rumah. Dia mendorong tubuh seksi ini, hingga tersungkur di lantai tepat di hadapan ibu bapak yang sedang menonton televisi.

"Ada apa ini, kenapa kasar sekali?" Ibu membangunkanku. Mas Dewo membuang wajah ke samping.

"Nak Dewo, ada apa? Coba ceritakan pada bapak." Kali ini bapakku yang bicara. Dia beranjak dari duduk dan menghampiri Mas Dewo.

"Hari ini aku resmi menceraikan dia!" Mas Dewo mengacungkan jari telunjuk, tepat mengenai hidungku yang mancung.

"Lho, kenapa? Dipikir dulu, Nak. Jangan grasak-grusuk," ucap Bapak menengahi.

"Aku sudah tidak bisa mempertahankan rumah tanggaku, Pak! Sarboah telah selingkuh dan sekarang dia baru balik berkencan. Semalaman dia ngapain aja coba, Pak? Aku tidak masalah, asal dia jujur tapi apa? Dia tetap mengaku tidak melakukan apapun. Mana mungkin semalaman dengan pria lain, tidak berbuat mesum!"

Sakit rasanya hatiku mendengar ucapan Mas Dewo. Mudah sekali dia berkata seperti itu, di depan orang tuaku. Padahal, semua tidak sepenuhnya salahku.

Aku melihat wajah bapak tampak memerah, aku merasa dia sedang marah. Matanya membola sempurna seakan-akan siap memakanku hidup-hidup.

"Sarboah, benar begitu?"

"Pak, Aah bisa jelaskan."

"Jawab!" teriak Bapak dan aku mengangguk mengiyakan tuduhan Mas Dewo.

Plaaaak!

Wajahku ditampar olehnya, hingga menoleh ke samping. Sakit, perih dan ini kali pertama bapak berbuat kasar padaku. Aku ingin memeluk ibu, tetapi wanita itu pun melepas pegangan tangannya di bahuku dan pergi menjauh seraya berucap, "Kamu membuat kami malu!"

"Padahal aku bisa menerima status dia dengan lapang, aku bahkan mengabaikan gunjingan orang-orang yang berkata miring tentangnya, tetapi kini aku buktikan sendiri. Bahwa dia tidak setia, jadi benar kau memang tidak pernah cukup dengan satu pria."

"Cukup, Mas!"

"Sarboah!" marah bapak saat aku menyela Mas Dewo.

"Ya, memang benar yang dikatakan mereka aku kelebihan libido tapi aku tidak seburuk itu!"

"Sudahlah, Sarboah. Nyatanya kamu bermalam dan bercinta dengan pria itu, kan!?" tuduhnya.

Aku tidak ingin menjawab, percuma saja karena sekarang aku benar-benar telah disudutkan. Aku hanya bisa pasrah saat Mas Dewo mengikrarkan perceraian padaku. Bapak memegangi dadanya, mungkin jantungnya kumat, aku meraih tangan bapak untuk membantunya duduk, tetapi pria itu menepis tanganku dan berkata dengan nada membentak, "Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang kotor!"

Sesak rasanya saat bapak mengatakan itu padaku. Kurasa kakiku lemas bagai jeli, berangsur tubuh ini merosot ke bawah, terduduk lemah di lantai. Tidak ada lagi tumpuan hidup tempat aku bersandar.

"Sarboah, bapak sudah lelah menjadi wali-mu, tujuh kali kamu menikah, tujuh kali pula bercerai! Sampai kapan kamu akan melempar bapak dengan kotoran!"

Aku hanya diam, meskipun ingin aku mengelak bahwa tak pernah sekalipun aku melempar kotoran padanya, karena tidak kuat dengan baunya. Sungguh.

"Pergilah!" usir bapak dengan mengacungkan jari ke udara. "Kau bukan anakku lagi."

Runtuh sudah pertahananku, hilang sudah harapku, kini pria yang selalu aku banggakan. Mendukung dalam setiap keputusan, sekarang karena Mas Dewo dia menjadi murka. Aku bisa apa? Hanya duduk menunduk di lantai dengan tubuh lemas bagai tanpa tulang.

"Sarboah, pergi!" teriak Bapak.

"Pak, sabar," ucap ibuku.

Aku mendongak menatap kedua orang tuaku dengan mata yang basah. Tidak peduli dengan semua tudingan Mas Dewo, tetapi aku hanya ingin satu, bapak dan ibu percaya dan mau mendengarkan penjelasanku. Aku kembali membuka bibirku yang bergetar, menjelaskan yang sebenarnya bukan mencari pembenaran.

"Bapak ini tidak seperti yang kalian bayangkan, aku …."

"Bapak tidak ingin melihat wajahmu lagi, kau benar-benar membuat kami malu. Pergi!" Bapakku mengusir dengan memegangi dada.

Segera aku berlari kembali ke rumah dan masuk ke dalam kamar. Dan, betapa terkejutnya saat melihat Mas Dewo sedang memasukkan baju ke dalam koper hitam. Aku berusaha menahan Mas Dewo dengan menarik kopernya. Tidak bisa kubiarkan dia pergi, karena masih sangat mencintai Mas Dewo.

"Jangan sentuh milikku, kau sudah bukan istriku lagi!"

Sungguh aku tidak menyentuh miliknya, hanya menyentuh koper saja. Aku menghampiri Mas Dewo dan menarik tangannya, ingin membicarakan kesepakatan yang terjadi diantara kita.

"Mas, harusnya tidak seperti ini, aku mohon jangan bercerai. Aku malu, Mas, malu, tujuh kali aku menjanda apa kata orang-orang di kampung ini?" mohonku.

"Tidak, aku gak mau!" Mas Dewo menepis tanganku. Menarik koper dan berlalu. Aku membuntuti Mas Dewo dan bertanya.

"Apakah pria itu mentransfer sejumlah uang yang dijanjikan padamu, Mas?" tanyaku. Mas Dewo diam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan intonasi nada yang tinggi.

"Tidak ada uang yang masuk ke rekening-ku, itu menandakan kau melakukan itu atas dasar suka sama suka!"

"Tapi dia bilang padaku …."

"Sudahlah, Sarboah! Jangan banyak alasan, aku sudah tidak sudi menikah dengan perempuan yang tidak setia!" tukas Mas Dewo.

Mas Dewo menutup pintu dengan keras, sehingga kusennya bergetar. Aku menghembuskan napas kasar, duduk di lantai dengan menyandarkan kepala di dinding, memejamkan mata, dan tersenyum getir.

"Cerai lagi dan lagi, kini resmi sudah aku menjadi janda tujuh kali."

Aku membayangkan, kejadian dua hari lalu. Pertemuan dengan sosok pria asing dari Jakarta. Dia mendekatiku yang kala itu sedang berjualan pernak-pernik di tepi pantai. Tanpa malu ia mengajak berkencan. Tentunya, aku menolak dan mengatakan sudah menikah. Ia menawarkan akan memberi banyak uang, asal mau berkencan semalam. Aku marah, karena ini bagai pelecehan. Dia tetap memaksa dan tentu kutolak dengan tegas, kukatakan padanya bahwa aku sangat mencintai suami. Namun pria itu tersenyum sinis dan berkata padaku.

"Uang selalu berada di atas cinta." Dia pergi dengan menyimpan kartu nama di atas mejaku.

"Aku akan memberimu uang dua ratus juta, asal kau mau berkencan!" ucapnya sebelum berlalu kala itu.

Tanpa kuduga, ada Mas Dewo berdiri di sampingku, menyadari keberadaan dia saat dia berdehem. Dia pun bertanya tentang tujuan kedatangan pria itu, karena yang didengar hanya nominal uang yang disebut pria asing itu, aku menceritakan semua tawarannya. Aku rasa Mas Dewo akan marah tetapi tidak. Dia justru meminta aku menerima tawaran pria asing dan uang yang dijanjikan akan digunakan untuk membuat toko kelontong. Aku menolak tawaran itu, aku berpikir itu sama dengan menjual diri. Namun, dia yang bersikukuh memintaku menerima tawaran untuk berkencan, hingga aku mau. Nyatanya sekarang, aku seperti orang yang dijebak oleh suamiku sendiri.

Tiga bulan berlalu aku berada dalam penyesalan, begitupun dengan gunjingan orang-orang yang memekakan telinga. Aku banyak mengurung diri di kamar, beruntung ada Turinah—sahabat yang setia membawakan makanan. Namun hari ini dia datang dengan membawa kabar duka. Turinah mengatakan bahwa Mas Dewo akan menikah lagi dengan pesta yang fantastis. Mendengar pesta yang mewah, tentu aku teringat dengan jumlah uang yang dijanjikan pria itu. Mungkinkah, Mas Dewo bohong? Aku mulai menerka-nerka, karena jika bukan uang dari pria itu, dari mana Mas Dewo mendapatkan uang, mengingat dia hanya seorang buruh tani.

"Ah, ko melamun? Masih belom bisa move on, ya?"

Bingung harus menjawab pertanyaan Turinah, dibilang belum bisa move on, itu benar. Hanya Mas Dewo yang bisa mengimbangi hasratku yang berlebih. Namun, bukan hanya itu yang mengisi pikiran. Aku harus memastikan sekali lagi, apakah pria itu benar-benar berbohong ataukah Mas Dewo yang mencari alasan dan menjebakku? Semua membuat aku pusing.

"Ah!" Tukinem kembali memanggil. "Mau datang, ndak?"

"Menurutmu?"

"Kalau ndak datang, aku yakin kau dikira gagal move on!"

Esok hari, aku memutuskan datang ke pesta. Dan, aku menatap tidak percaya, pesta pernikahan Mas Dewo begitu mewah. Mungkin ini pesta termewah yang disuguhkan di kampung sukun ini. Dia berdiri di pelaminan dengan perempuan yang tidak kukenal. Aku pun bertanya pada Turinah dan dia mengatakan bahwa perempuan itu berasal dari kota Jakarta. Tentu aku shock berat, kenapa tiba-tiba dua orang yang berasal dari kota yang sama hadir di antara pernikahan kami.

Tidak membuang waktu aku berjalan menuju pelaminan, menarik tangan Mas Dewo menjauh dari istrinya.

"Darimana kamu dapatkan uang untuk mengadakan pesta semeriah ini, Mas? Ini uang dari pria itu, kan? Jawab!" desak-ku.

"Aah, hubungan kita sudah berakhir, aku mohon jangan menggodaku. Aku sudah tidak bisa tidur denganmu," jawab Mas Dewo dengan suara yang keras membuat semua tamu menoleh ke arahku dengan tatapan seakan meremehkan.

"Ih, dasar perempuan gatel! Gak bisa move on, makanya jangan selingkuh!"

"Hati-hati, Buk. Nanti suami kita digoda olehnya."

Ingin aku menimpali ucapan para tamu itu, tetapi Turinah menarik tanganku menjauh dari kerumunan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Yuliana Yustian

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku