Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
CEO Dingin Pemikat Hati

CEO Dingin Pemikat Hati

Yuliana Yustian

5.0
Komentar
16.1K
Penayangan
46
Bab

Shintia masih berusaha menata hidup setelah berpisah dari sang kekasih. Selagi bersusah payah melupakan Arya, pria itu justru muncul sebagai CEO di tempatnya bekerja. Rindu yang meluap-luap tidak terelakkan, rasa cinta yang berusaha dikubur malah bangkit lagi. Sayangnya, Arya tidak merasakan hal yang sama. Pria itu membenci Shintia, bahkan tidak ragu memaki untuk membalas sakit hatinya. Kesalahpahaman di masa lalu masih belum terselesaikan, lalu muncul skandal Shintia bersama Felix yang makin membuat Arya makin berang dan bersikap kejam pada sang mantan kekasih. Mampukah Shintia memperbaiki hubungannya dengan Arya? Akankah pria itu berhenti membencinya setelah tahu semua alasan di balik perpisahan tragis mereka dua tahun lalu?

Bab 1 Awal yang Berat

Jakarta, 14 Maret 2022

"Oh, ya ampun. Gue telat!"

Seorang gadis bertubuh molek menyibak selimut, dia loncat dari tempat tidur.

"Aduh, sakit," pekiknya dengan meringis, karena tergesa dia menabrak kursi nakas. "Dasar kayu bodoh, beraninya nabrak gue!" omelnya dengan memukul meja itu. "Anjir malah tangan gue yang sakit," gerutunya kesal. Lalu dia berlari pergi ke kamar mandi. Gadis ceroboh itu, bernama Shintia. Dia bekerja di perusahaan terbesar di Indonesia. Acsimid company.

***

"Telat lagi, lo? Gak mandi lagi?" Belum sempat Sintia mendaratkan bokongnya di kursi kerjanya sang teman sudah menyambutnya dengan ocehan.

"Ya gitu deh." Shintia mengangkat bahu, acuh tak acuh.

"Astaga, Shin!" Nola menepuk jidatnya. "Elu tau kan, hari ini akan datang CEO baru. Anak-anak yang lain dandan abis-abisan. Eh, elu malah nggak mandi. Parah lo ya." Nola menggeleng lemah.

"Terus gue peduli gitu?"

"Ya mau sampai kapan elu terus seperti ini. Move on dong. Semua udah berakhir dan coba deh elu memulai hidup baru. Buka hati agar dapat pengganti. Ya, kali aja kalau elu dandan sekarang tuh CEO baru suka sama elu gitu."

Shintia mengorek kupingnya yang terasa gatal dia sudah bosan mendengar ceramah sahabatnya Nola. Meminta dia move on, menjodohkan, menyuruh berdandan agar banyak pria yang suka. Namun, semua itu dianggap angin lalu. Bagi Shintia hanya ada satu cinta meskipun pria yang sangat dicintai berada di masa lalu tapi semua tak bisa mengurangi perasaannya yang dalam.

"Shin! Elu dengar gue kan!" Nola kesal karena diabaikan. Namun, Shintia tak menjawab. Dia menyimpan tas di loker dan menggeser kursi kerja, menekan tombol monitor.

"Eh, vangke. Elu denger gue kan?" Nola mendorong bahu Shintia.

"Iya, bawel!"

"Terus kenapa gue diabaikan?"

"Ya elu, gue baru datang bukan disuguhi kopi malah dimarahi. Nih ya, mau gue mandi atau kagak tetap aja cantik, yang penting kan wangi."

"Iya yang suka banyak tapi elunya gak mau mulu percuma!"

"Udah gak usah bahas aneh-aneh. Sekarang buruan bikinin gue kopi."

"Gue buatin lu kopi?" Nola menunjuk dirinya dengan jari.

"Iya. Sana gih," jawab Shintia.

"Ogaaaah!" tolak Nola.

"Kalau nggak mau berbaik hati sama gue, sekarang elu kerja sono! Jangan ngoceh mulu, dimarahi Pak Felix, nangis kejer lo."

"Gak usah rusak mood gue dengan bawa-bawa nama si tua itu pagi-pagi deh."

"Jangan gitu sama pacar, Nol," goda Shintia.

"Bacot lu!" Nola melempar bolpoin ke arah temannya. Bukan marah Shintia justru tertawa geli melihat wajah temannya yang kesal.

Suasana menjadi hening dalam beberapa saat, mereka sibuk memeriksa laporan pengeluaran barang dari operator gudang. Kening Shintia mengerut, dia mencondongkan tubuhnya ke depan monitor memastikan penglihatannya tidak salah.

"Napa lo, Shin?" tanya Noli.

Shintia tak menjawab, dia masih fokus dengan semua laporan yang ada di layar monitor. Tangannya dengan lincah menekan mouse, membuka setiap file. Nola menyadari itu. Dia menyodorkan sebuah buku agenda pada Shintia.

"Shin, lo lihat ini deh."

"Apa sih? Gue lagi pusing nih," jawabnya tanpa menoleh.

"Gue tahu, makanya elu lihat dulu buku ini."

Bukan menjawab Shintia justru berbicara sendiri. "Perasaan gue kasih rincian harga nggak gini deh, kok sekarang beda ya? Apa gue lupa?"

"Nah, Lo pasti aneh kan? Makanya lihat buku ini juga." Nola melemparkan agenda itu ke atas meja Shintia. Gadis cantik dan molek itu menerima buku itu.

"Kenapa?"

"Lo lihat catatan pengambilan material Eva 10, deh."

"Iya. Kenapa dengan Eva 10?"

"Lu perhatikan, disini catatan operator saat mengambil material Eva 10 di siang hari. Satu operator 6 bag. Dan, lu lihat saat sif malam, satu operator ngabisin 10 bag. Aneh gak sih?" Jari Nola menunjuk sebuah catatan pengambilan barang yang tertulis di buku.

"Lembur kali dia? Atau mungkin mesin mereka lancar. Jadi dapat banyak barang, otomatis ngabisin material banyak kan?"

"Gue udah selidiki ini. Gue lihat laporan wip. Semua barang yang dihasilkan di bawah target. Lalu kemana material mereka?"

"Banyak reject kali. Coba cek laporan Q.C."

"Normal. Gue udah email leader QC. Gue juga udah nanya manager maintenance dan gak ada mesin rusak yang mengakibatkan banyak reject. Gue tanya admin produksi, target mereka normal. Antara sif satu dan sif dua pendapatan setara."

Mendengar penjelasan Nola Shintia mengetuk-ngetuk jari di atas meja "Harusnya mereka sama-sama ambil enam kan? Lalu empat lagi ke mana? Siapa yang ambil material saat malam? Dan, elu udah tanya penjaga gudang sif malam?" cecar Shintia.

"Gak masuk dia. Katanya semalam izin. Pak Satpam yang ambil."

"Hah! Kok bisa? Bahaya ini sih? Kita bisa dituduh curang."

"Kita harus segera urus ini. Daripada kita kena masalah. Lo tahu gak, CEO baru akan memecat siapa pun yang main curang."

"Lah kita nggak curang, Nol."

"Terus semua bukti ngarah ke divisi kita."

"Kalau gitu, coba hubungi Pak Felix."

"Justru gue curiga dia ada di balik ini dan kita jadi kambing hitamnya."

Shintia tak menjawab, dia membolak-balik buku data pengambilan barang manual, kemudian dia mencocokkan dengan yang ada di layar. Shintia melempar buku itu ke meja kerja dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia memijat pelipisnya dengan menghembuskan napas lelah.

"Gue udah beberapa kali bilang hal ini ke Pak Felix. Tapi dia bilang banyak reject dan alasan lainnya yang masuk akal. Hingga kemarin gue baru selidiki semua pada masing-masing departemen inilah hasilnya," lanjut Noli.

"Gue juga masih pusing, gue lihat rincian harga barang yang diorder. Semua tidak masuk akal. Satu gunting aja harganya lima juta."

"Apa?" Mata Noli terbelalak.

"Lo nulis harga segitu? Parah lo korupsi ya?"

"Elu nyangka gitu kan? Apalagi orang lain?" keluh Shintia.

"Jangan bilang ini dilakukan Pak Felix?"

Shintia mengangguk. "Gue harus gimana sekarang?"

"Harusnya kita curiga saat Pak Felix minta kita untuk liburan dan ambil cuti secara bersamaan," sesal Nola. Shintia hanya mengangguk. Mereka menoleh saling bertatapan dan menghembuskan napas kasar.

"Nah, elu coba cek agenda dan struk belanja yang ada di dokumen manual. Itu jadi bukti."

"Elu lupa, semua berkas ada di ruangan Pak Felix?"

"Anjirlah tuh orang." Shintia mengusap wajah dengan kasar.

"Dengan cara apa pun kita harus ambil berkas itu, Nol," ucap Shintia bersemangat. Tapi kemudian dia menghembuskan napas lelah, "tapi gue bingung caranya gimana?"

"Elu goda dia aja, kasih deh tuh bongkahan gunung lu yang besar, pasti dia kasih apa yang lo mau," cicit Noli dan mendapat pukulan keras di kepala.

Ketukan pintu kaca menghentikan ocehan kotor Nola. Keduanya tampak pucat saat seseorang meminta mereka untuk segera bersiap-siap, karena hari ini sang CEO baru akan datang.

"Mati kita, Shin."

Shintia tak mengindahkan ucapan Nola. Dia segera beranjak tanpa merapikan setelah kerjanya. Berbeda dengan Nola yang tiba-tiba sibuk merapikan riasan. Padahal tadi Nola tampak suram.

"Elu kenapa dah? Buruan ayo!"

"Kali aja Pak CEO maafin gue karena lihat muka gue yang cantik."

Shintia hanya merotasikan mata, jengah, bisa-bisanya dalam kondisi seperti ini gadis itu masih sempat-sempatnya dandan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Yuliana Yustian

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku