"Woi, om seenaknya aja loe ambil ciuman gua," teriak Alvira tapi tidak ada jawaban dari Daffin. Dua manusia yang tak saling kenal itu, tapi sering bertemu dan selalu terjadi percekcokan diantaranya. Namun, siapa sangka jika keduanya akhirnya berada dalam satu atap. Pernikahan yang hanya dijalani 100 hari itu akan kan berkahir bahagia atau malah sebaliknya mengingat keduanya tidak pernah bersahabat. Ikuti terus kisahnya Alvira dan Daffin yang bikin baper... Terima kasih....
Wanita dengan manik hitam segelap malam itu menatap ke arah pria paruh baya di hadapannya dengan mata membulat, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan atas semua hal yang baru saja dia dengar. "Ayah!" teriak wanita itu, tak mampu menahan amarahnya lagi. "Demi seorang jal*ng, Ayah mengusir kami?!" Jarinya menunjuk ke arah seorang wanita muda yang memasang wajah ketakutan di belakang sang ayah.
Tentu saja itu hanya sebuah kepura-puraan. "Dasar rubah!" gumam Alvira yang masih bisa didengar oleh ayahnya.
"Alvira! Jaga ucapanmu!"
"Sudah, ayo kita pergi dari sini, tidak usah membuat tenaga kakak habis hanya gara-gara sampah seperti mereka!" Raka membawa kakak dan ibunya untuk menjauh dari rumah yang sejak kecil ia tinggali.
Alea tidak mampu berkata, hatinya begitu rapuh saat mengetahui orang yang dicintai sudah berhianat. Dengan mengeret koper ia meninggal rumah megah yang banyak kenangan di dalamnya. Mereka pergi tidak membawa apa-apa hanya pakaian yang boleh dibawa, semua fasilitas diambil kembali pada sang kepala keluarga.
***
Semenjak perpisahan itu terjadi Alvira harus bekerja membantu sang ibu Alea mencari uang. Pada malam hari ia bekerja sebagai waiters di kafe milik sahabatnya. Jika pagi ia akan pergi kuliah, Menjadi mahasiswa di fakultas kedokteran yang sebentar lagi akan menyandang gelar S.ked. Sedangkan adiknya Raka baru saja duduk di bangku kuliah semester awal. Awalnya Raka menolak untuk melanjutkan pendidikannya karena biaya yang dibutuhkan akan sangat banyak, ia berencana untuk mencari kerja sesuai kemampuan dirinya untuk membantu ibu dan kakaknya. Tapi Alvira tidak mengizinkannya, Alvira terus membujuk Raka agar melanjutkan pendidikannya soal biaya biar menjadi tanggung jawabnya. Setelah Alvira dan ibunya terus mendesak dirinya akhirnya Raka pun menurutinya untuk melanjutkan pendidikannya dengan memgambil jurusan bisnis dan manajemen. Dengan impian dirinya akan menjadi pembisnis yang berhasil seperti ayahnya yang sudah tidak diketahui kabarnya lagi.
"Hai, ngelamun aja lo?" seru Vita saat melihat Alvira duduk di bangku kantin sambil menatap kosong gelas yang ada di depannya.
"Apaan sih lo kagetin aja,"sahut Alvira.
"Mikirin apa sih calon ibu dokter?" tanya Vita sambil menyenggol lengan Alvira yang dibuatnya bertumpu pada wajahnya.
"Apaan sih lo, lo juga calon dokter kali," jawab Alvira yang tidak terima dengan pernyataan Vita.
"Lo nggak makan?" tanya Vita yang melihat di meja Alvira hanya ada segelas minuman berwarna kuning.
"Enggak gua masih kenyang," balas Alvira masih banyak diam sambil mengaduk-aduk minuman berwarna kuning di depannya,
"Yakin masih kenyang, temani gua makan yuk kita pergi ke kafe yang ada diujung sana. Masih ada waktu satu jam lagi bukan untuk ketemu sama pak dosen,"desak Vita sambil mengoyang-goyangkan lengan Alvira.
"Gua udah kenyang Vit, elo aja deh," tolak Alvira dengan suara lembut.
"Ayolah temani gua, masa lo tega biarkan gua makan sendiri entar gua diculik sama cowok ganteng gimana?" Vita memohon agar Alvira mau menemani diri nya. Vita tau kalau Alvira bukannya kenyang dia hanya menghemat pengeluaran saja karena Alvira harus memikirkan Raka dan ibunya.
Vita terus merengek untuk minta ditemani makan siang. Pada akhirnya Alvira menyetujui, karena Vita terlihat seperti anak kecil yang minta dibelikan perman. Dengan menggunakan mobil milik Vita mereka menuju kafe Pinky yang jaraknya tidak jauh dari kampus mereka.
"Elo mau makan apa?" tawar Vita. Begitu sampai di kafe dan keduanya sudah duduk di bangku pojokan kafe tersebut.
"Jangan bilang kalau lo sudah kenyang ya, ayo pesan, gua bayarin kok. Lo tenang aja," sambung Vita lagi sambil melihat daftar menu makananya.
"Bukannya gitu tapi--?"
"Udah ayo pesan nggak ada tapi-tapian," timpal Vita.
Karena menunggu Alvira yang lama banget mikirnya akhirnya Vita yang memesan dua menu makanan.
"Lo kenapa sih?" selidik Vita.
"Ada masalah, kalau ada tuh cerita ke gua siapa tau gua bisa bantu jangan dipendam sendiri."
"Gua mikirin nasib kuliah nih, apa gua bisa nyandang gelar dokter nantinya. Usaha kue nyokap, akhir-akhir ini terjadi penurunan. Kalau ngandalin gaji gua di kafe mah, nggak bakal cukup." adu Alvira lesu.
"Elo semangat dong, gua yakin lo bakal jadi dokter muda. Soal biaya nanti gua bantu, Lo tenang aja ya," sahut Vita.
"Kenapa enggak kasih tau bokap lo aja, gua yakin bokap lo mau bantu biayanya," lanjut Vita memberi saran.
"Gua takut diusir lagi, lo tau sendiri kan istrinya gimana?" lirih Alvira yang sudah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
"Gua kapok ah ke sana lagi, malas gua cari ribut."
"Ya udah nggak usah dipikirin dulu, kita makan dulu yok dah lapar nih," ajak Vita karena cacing dalam perutnya dari tadi sudah memanggil minta diisi.
Vita memperhatikan Alvira yang begitu lahap dengan makanannya betul saja dugaannya tadi kalau sebenarnya Alvira juga lapar. Mereka makan saling diam tidak ada obrolan yang terjadi keduanya fokus pada makanan dan pikirannya masing masing.
Selesai makan keduanya kembali ke kampus karena jam masuk sebentar lagi. "Sebentar lagi kita koas nih lo senang nggak akhirnya kita bisa bantu-bantu di rumah sakit nih," seru Vita sambil matanya fokus pada jalanan.
"Gua sebenarnya senang sih malah udah nggak sabar banget, tapi apa tabungan gua cukup yah?" lirih Alvira kembali mengingat keuangannya yang semakin menipis.
"Lo tenang aja, kalau bokap lo nggak mau kasih uang. Biar gua yang bantu," jawab Vita penuh keyakinan. Vita membelokkan mobilnya memasuki pelataran kampus. Keduanya berjalan menuju ruang dosen. Saat menaiki anak tangga Alvira tidak sengaja menabrak seseorang hingga buku yang berada ditangannya jatuh berserakan.
"Lo nggak liat apa?" cerca Alvira.
"Maaf gua nggak sengaja, gua buru-buru," ucapnya sambil memungut buku milik Alvira.
"Walau buru-buru mata tuh dipake," teriak Alvira sambil menunjuk matanya.
"Kan gua juga udah minta maaf, ni buku lo," ucapnya sambil menyerahkan buku milik Alvira dan berlalu pergi.
"Ih ngeselin banget sih tuh orang, main pergi aja," sambil menatap kepergian orang tersebut menjauh darinya.
"Udah dong, dia juga tadi udah minta maaf kan," ucap Vita sambil menarik lengan Alvira.
"Iya tapi tuh cowok ngeselin banget. Lo tau nggak siapa dia?" tanya Alvira yang masih penasaran dengan penabrak.
Vita mengangkat kedua bahunya sambil melangkah menuju ruang dosen, tangannya masih menarik lengan Alvira.
***
Daffin Mallory adalah pewaris tunggal kerjaaan bisnis milik sang papi Ahmad Mallory. Menjadi anak tunggal yang mengharuskan Daffin meneruskan bisnis keluarganya. Beruntung dirinya juga mempunyai otak yang sangat cerdas jadi tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mempelajari kerjaan bisnis papinya.
Menjadi seorang CEO yang mempunyai beberapa bisnis membuat Daffin belum memiliki kekasih hati. Hari-harinya disibukkan dengan kerja dan kerja. Seperti hari ini ia harus datang ke kampus untuk melakukan meeting. Kampus yang cukup terkenal di kotanya itu adalah milik keluarga Mallory.
Saat ia buru-buru dengan tidak sengaja ia menabrak seorang mahasiswa. Walau sudah meminta maaf namun dirinya masih saja mendapat perlakuan ketus. Tidak ingin terus berdebat membuat ia langsung melangkahkan kaki kembali ke pakiran.
Daffin akan melakukan pertemuan lagi dengan relasi bisnisnya untuk membicarakan kerja sama yang akan mereka lakukan. Di mobil sudah ada pak Budi sebagai sopir pribadinya dan Reiki sebagai assistennya. Setelah pertemuannya di kampus tadi Reiki langsung beranjak dan menuju mobil lebih dulu dari Daffin. Mobil yang Daffin tumpangi sudah melintasi jalan raya menuju restoran untuk pertemuannya itu. Daffin tampak serius dengan MacBook yang ada di pangkuannya. Sebelum bertemu relasinya tersebut Daffin mempelajari kerja sama yang akan dilakukannya.
Daffin begitu teliti dengan mengamati setiap tulisan yang di layar itu. Pak Budi membelokkan mobilnya saat tujuannya telah sampai.
Restoran yang dipilih mereka berada di mall ternama di Jakarta. Daffin melangkahkan kaki memasuki area resto dan menuju ruang VIP berada, Reiki berjalan di samping Daffin seperti assisten yang lain, Reiki siap siaga membantu Daffin.
BERSAMBUNG....