Tiga Tahun Menjadi Pengganti, Satu Hari Hancur

Tiga Tahun Menjadi Pengganti, Satu Hari Hancur

Kalbam

5.0
Komentar
17
Penayangan
22
Bab

Tiga tahun menjalani pernikahan sebagai wanita pengganti, namun nyatanya tak mampu membuat pernikahan terpaksa itu menjadi sebuah rumah yang nyaman bagi Arina. Hingga suatu hari, Arina tanpa sengaja mendengar percakapan Rafael dengan sahabatnya - bahwa ia berniat menceraikan Arina karena Nadira, kekasih lama Rafael yang dulu pergi tanpa kabar, kini telah kembali. Entah apa alasannya, Rafael tetap bersikeras ingin menikahi Nadira setelah tiga tahun ditinggalkan. Akankah Arina menyerah pada pernikahan yang tak pernah memberinya cinta, dan merelakan sang suami kembali kepada wanita yang pernah meninggalkannya?

Bab 1 perasaan yang selama ini ia sembunyikan

Hujan turun dengan derasnya sore itu, membasahi jalanan di depan rumah besar yang berdiri megah di kawasan elit kota. Dari balik jendela kaca yang tinggi menjulang, Arina menatap ke luar dengan tatapan kosong. Tetesan air menuruni kaca seperti meniru perasaan yang selama ini ia sembunyikan - pelan, dingin, dan tak bersuara.

Sudah tiga tahun berlalu sejak hari ketika ia dipaksa menikah dengan Rafael. Ia masih ingat betul, hari itu seharusnya menjadi hari pernikahan antara Rafael dan kekasih sejatinya, Nadira. Namun Nadira memilih melarikan diri, meninggalkan Rafael yang berdiri di pelaminan dengan wajah kelam penuh amarah.

Dan Arina-seorang gadis biasa, anak dari rekan bisnis ayah Rafael-mendadak dijadikan pengganti. Pernikahan mereka bukan karena cinta, bukan pula karena saling memilih. Pernikahan mereka hanyalah penyelamat harga diri keluarga Rafael di hadapan tamu dan media.

Tiga tahun berjalan, rumah besar itu tetap sunyi, dingin, dan asing baginya.

"Bu, mau saya bawakan teh hangat?" tanya Sari, asisten rumah tangga yang setia menemaninya sejak awal pernikahan.

Arina menoleh dan mengangguk pelan. "Iya, Sar. Terima kasih."

Sari menghilang ke arah dapur, meninggalkan Arina seorang diri lagi di ruang tamu. Jam dinding berdetak pelan, sementara hujan di luar terus turun seolah tak mengenal lelah. Arina merapatkan cardigan tipis di bahunya. Entah mengapa, rumah itu selalu terasa dingin meski semua penghangat menyala.

Dari atas meja, ponsel Arina bergetar pelan. Ia melirik layar, dan hatinya tercekat. Nama Rafael tertera di sana. Suaminya. Seseorang yang tinggal serumah dengannya tapi terasa sejauh langit dan bumi.

Jarang sekali Rafael menghubunginya. Biasanya hanya pesan singkat untuk memberi tahu bahwa ia pulang terlambat atau ada urusan bisnis keluar kota. Tak pernah ada pertanyaan tentang kabar Arina, tak pernah ada percakapan ringan tentang hal remeh sehari-hari. Mereka hidup berdampingan seperti dua orang asing yang kebetulan berbagi alamat.

Dengan hati-hati, Arina menggeser layar ponselnya.

"Jangan tunggu aku makan malam. Ada rapat mendadak."

-Rafael

Pesan singkat, dingin, tanpa tanda baca berlebihan. Begitulah Rafael. Selalu formal. Selalu menjaga jarak.

Arina menatap pesan itu lama, sebelum akhirnya meletakkan ponselnya lagi. Napasnya keluar perlahan, nyaris seperti desah lelah yang tertahan terlalu lama.

Malamnya, rumah itu tetap sepi. Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat suara mobil akhirnya terdengar di halaman. Arina yang sedang membaca buku di ruang tamu menoleh spontan. Pintu utama terbuka, dan Rafael muncul, mengenakan setelan jas abu-abu yang masih tampak rapi. Wajahnya lelah, tapi matanya tajam, seperti biasa.

"Sudah makan?" tanya Arina pelan, mencoba mencairkan udara yang membeku di antara mereka.

Rafael hanya mengangguk tanpa menatapnya. "Sudah," jawabnya singkat, lalu melangkah menaiki tangga menuju kamar utama.

Arina memandang punggung lelaki itu hingga menghilang di tikungan tangga. Ia menunduk, menatap buku di tangannya yang kini terasa berat dan tak berarti. Setiap hari seperti ini. Sunyi, hampa, tanpa warna.

Dulu, sebelum menikah, Arina pernah membayangkan pernikahan sebagai tempat yang hangat. Tempat ia bisa pulang dan disambut pelukan, tempat ia bisa bercerita panjang tentang hari-harinya dan ditanggapi dengan senyum hangat. Tapi kenyataannya, ia tinggal di rumah megah yang lebih mirip istana beku.

Dan ia hanyalah seorang ratu tanpa kerajaan, tanpa cinta.

Keesokan harinya, saat Arina turun ke ruang makan, Rafael sudah duduk di sana, memandangi layar tabletnya sambil sesekali menyeruput kopi hitam. Pagi jarang-jarang mereka bertemu. Biasanya Rafael berangkat kerja sebelum Arina bangun. Tapi pagi ini tampaknya ia memilih sarapan di rumah.

"Pagi," sapa Arina pelan.

"Pagi." Jawaban itu datar, tanpa menoleh sedikit pun.

Arina duduk di seberangnya. Sari datang membawakan roti panggang dan selai, lalu mundur pelan. Keheningan menggantung di udara, hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan cangkir.

Arina memberanikan diri berbicara, "Aku dengar galeri seni tempatmu berinvestasi akan buka cabang baru?"

Rafael berhenti mengetik sejenak, lalu menoleh dengan tatapan datar. "Dari mana kau tahu?"

"Aku baca di berita," jawab Arina, mencoba tersenyum.

Rafael tidak membalas senyum itu. Ia hanya mengangguk singkat, lalu kembali pada tabletnya. "Ya. Minggu depan."

Dan selesai. Percakapan itu berhenti di sana, seperti semua percakapan mereka selama tiga tahun ini-singkat, fungsional, hambar.

Sore harinya, Arina memutuskan keluar rumah untuk sekadar menghirup udara segar. Ia mengunjungi taman kota, duduk di bangku kayu di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga merah terang. Ia menatap anak-anak kecil berlarian di rumput, tawa mereka pecah memenuhi udara.

Sudah lama sekali ia tidak tertawa seperti itu.

Seorang wanita lanjut usia duduk di bangku sebelahnya, menatap Arina sekilas lalu tersenyum. "Kau terlihat sedih, Nak."

Arina tertegun, lalu memaksakan senyum. "Tidak, Bu. Saya hanya lelah."

Wanita itu mengangguk bijak. "Lelah dan sedih sering berjalan berdampingan. Tapi ingat, rumah seharusnya tempatmu pulang dan sembuh, bukan tempat yang membuatmu semakin rapuh."

Ucapan itu menancap di dada Arina. Ia hanya mengangguk pelan, tidak berani berkata apa-apa. Setelah beberapa menit, wanita itu berdiri dan pergi, meninggalkan Arina seorang diri lagi dengan pikirannya yang berantakan.

Malam itu, Arina tak bisa tidur. Ia duduk di balkon kamarnya, memandangi langit yang kelabu tanpa bintang. Pikirannya melayang pada pernikahannya. Ia tak pernah benar-benar dicintai Rafael, dan mungkin tak akan pernah. Ia bahkan tidak yakin Rafael tahu warna kesukaan atau makanan favoritnya.

Ia menoleh ke dalam kamar. Ranjang besar itu kosong di sisinya. Rafael masih belum pulang.

Ponselnya bergetar di meja kecil. Arina mengulurkan tangan malas, tapi tangannya membeku begitu membaca nama pengirim pesan.

"Dimas."

Sahabat masa kecilnya, yang dulu selalu ada untuknya sebelum ia menikah. Dimas yang menjauh setelah Arina menikah karena tahu dirinya menyimpan rasa yang lebih dari sekadar sahabat.

Pesan itu pendek.

"Kau baik-baik saja?"

Mata Arina panas. Sudah lama tak ada yang menanyakan kabarnya seperti itu. Ia ingin membalas, ingin bercerita, tapi ia tahu itu akan jadi awal dari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Jadi ia hanya menutup ponselnya lagi, menatap kosong ke langit.

Dua hari kemudian, Arina tanpa sengaja mendengar pembicaraan yang mengubah segalanya.

Pagi itu, ia sedang melewati ruang kerja Rafael untuk mengambil dokumen yang tertinggal di ruang tamu. Pintu ruang kerja itu sedikit terbuka. Suara Rafael terdengar jelas, dalam nada yang jarang sekali Arina dengar: hangat, lembut, nyaris penuh harap.

"...aku masih mencintainya, Dan. Tiga tahun pun tidak menghapus apa pun," suara Rafael terdengar rendah.

Arina berhenti melangkah. Napasnya memburu.

"Dia kembali, Dan. Nadira kembali. Setelah semua ini... aku pikir aku akhirnya bisa bahagia."

Hening sejenak, lalu suara sahabat Rafael, Daniel, terdengar. "Lalu bagaimana dengan Arina?"

"Aku akan menceraikannya."

Kalimat itu jatuh seperti petir dalam dada Arina. Tangannya yang menggenggam map bergetar hebat. Ia melangkah mundur pelan, lalu berbalik dan berlari kecil menuju kamarnya. Dadanya sesak, pandangannya kabur.

Jadi benar. Semua selama ini hanya menunggu waktu. Ia hanyalah pengganti sementara. Dan kini, saat wanita itu kembali, tugasnya selesai.

Arina duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai. Rasanya seperti seluruh dunia runtuh menimpanya.

Hari-hari berikutnya, Arina hidup seperti bayangan. Ia menjalani rutinitas seperti biasa, tapi jiwanya kosong. Setiap kali Rafael bicara dengannya, Arina hanya mengangguk atau menjawab singkat. Ia tak punya tenaga lagi untuk pura-pura.

Suatu malam, saat Rafael pulang larut, Arina memberanikan diri bertanya.

"Kau... masih mencintainya?" suaranya nyaris tak terdengar.

Rafael yang baru melepas jasnya menoleh tajam. "Siapa?"

"Nadira."

Tatapan Rafael mengeras. Untuk beberapa detik, ia hanya diam, lalu berkata pelan, "Itu bukan urusanmu."

Arina tertawa getir, air matanya nyaris tumpah. "Bagaimana bisa bukan urusanku? Aku istrimu, Rafael."

"Kau hanya istri karena keadaan," balas Rafael dingin. "Kita berdua tahu itu."

Kalimat itu menghantam Arina lebih keras daripada yang ia duga. Ia mengangguk pelan, bibirnya bergetar menahan tangis, lalu berjalan melewati Rafael tanpa menoleh lagi.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Arina menangis hingga tertidur.

Beberapa hari kemudian, Rafael mengabarkan bahwa ia akan pergi keluar kota selama seminggu. Arina hanya mengangguk tanpa bertanya apa pun. Tapi dalam hati, ia tahu: Rafael akan menemui Nadira.

Saat pintu rumah menutup di belakang Rafael, Arina berdiri lama di ruang tamu yang sunyi. Ia menarik napas panjang, lalu menatap dirinya di cermin dinding. Wajah yang dulu cerah kini tampak pucat dan lelah. Matanya sayu, bibirnya nyaris tak pernah tersenyum.

"Apa aku harus terus seperti ini?" bisiknya lirih.

Ia tidak tahu jawabannya. Tapi untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-apakah masih ada arti dari mempertahankan pernikahan yang hanya menyisakan luka?

Malam harinya, ia duduk di balkon lagi, menatap lampu-lampu kota dari kejauhan. Di dadanya ada sesuatu yang berubah-bukan keberanian, bukan pula harapan, tapi sebuah keinginan kecil untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Mungkin... sudah waktunya ia berhenti menunggu cinta dari seseorang yang tak pernah benar-benar menoleh padanya.

Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Arina merasa sedikit... lega.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Kalbam

Selebihnya
Pewaris Dari Rahim Yang Disewa

Pewaris Dari Rahim Yang Disewa

Romantis

5.0

Elara adalah seorang wanita tangguh yang harus menanggung beban keluarga sendirian. Kehidupannya semakin sulit ketika ia dipecat dari pekerjaannya akibat fitnah yang dibuat oleh rekan kerjanya. Dengan tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga, Elara berjuang mencari pekerjaan apa pun yang bisa menutupi kebutuhan hidup mereka. Di tengah kesulitannya, Elara bertemu dengan Adrian, seorang presdir perusahaan besar dan pewaris tunggal keluarga kaya raya. Adrian sedang berada dalam tekanan besar dari keluarganya-ia dituntut untuk segera menikah agar bisa meneruskan garis keturunan keluarga. Dijodohkan dengan seorang wanita yang dikenal oleh ibu tirinya, Adrian menolak karena ia merasakan motif tersembunyi di balik niat sang ibu tiri. Pertemuan mereka berdua membawa sebuah tawaran yang mengejutkan: Adrian menawarkan pekerjaan dengan bayaran sangat tinggi kepada Elara, namun dengan syarat yang sulit diterima hati nuraninya. Ia meminta Elara untuk "menyewakan rahimnya" demi melahirkan anak yang akan menjadi pewaris tunggal Adrian. Di balik kontrak dingin dan kesepakatan transaksional itu, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara keduanya. Adrian, yang awalnya hanya menaruh minat pada tanggung jawab biologis dan garis keturunan, mulai merasakan kedekatan emosional dengan Elara. Sementara Elara, yang awalnya menolak untuk menjadikan tubuhnya sebagai alat transaksional, mulai melihat sisi lain Adrian-seorang pria yang lembut, penuh perhatian, namun tetap menyimpan luka masa lalu dan rahasia keluarga. Pertanyaannya kini: Apakah Elara akan bersedia menjalani perjanjian kontroversial itu demi keluarganya? Dan bisakah cinta tumbuh dari sebuah kesepakatan yang dimulai tanpa kasih sayang? Apakah pernikahan mereka akan berubah menjadi hubungan yang sah dan tulus, atau hanya sekadar kontrak yang mengekang hati mereka?

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Cris Pollalis
5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Gairah Liar Dibalik Jilbab

Gairah Liar Dibalik Jilbab

Gemoy
5.0

Kami berdua beberapa saat terdiam sejanak , lalu kulihat arman membuka lilitan handuk di tubuhnya, dan handuk itu terjatuh kelantai, sehingga kini Arman telanjang bulat di depanku. ''bu sebenarnya arman telah bosan hanya olah raga jari saja, sebelum arman berangkat ke Jakarta meninggalkan ibu, arman ingin mencicipi tubuh ibu'' ucap anakku sambil mendorong tubuhku sehingga aku terjatuh di atas tempat tidur. ''bruuugs'' aku tejatuh di atas tempat tidur. lalu arman langsung menerkam tubuhku , laksana harimau menerkam mangsanya , dan mencium bibirku. aku pun berontak , sekuat tenaga aku berusaha melepaskan pelukan arman. ''arman jangan nak.....ini ibumu sayang'' ucapku tapi arman terus mencium bibirku. jangan di lakukan ini ibu nak...'' ucapku lagi . Aku memekik ketika tangan arman meremas kedua buah payudaraku, aku pun masih Aku merasakan jemarinya menekan selangkanganku, sementara itu tongkatnya arman sudah benar-benar tegak berdiri. ''Kayanya ibu sudah terangsang yaa''? dia menggodaku, berbisik di telinga. Aku menggeleng lemah, ''tidaaak....,Aahkk...., lepaskan ibu nak..., aaahk.....ooughs....., cukup sayang lepaskan ibu ini dosa nak...'' aku memohon tapi tak sungguh-sungguh berusaha menghentikan perbuatan yang di lakukan anakku terhadapku. ''Jangan nak... ibu mohon.... Tapi tak lama kemudian tiba-tiba arman memangut bibirku,meredam suaraku dengan memangut bibir merahku, menghisap dengan perlahan membuatku kaget sekaligus terbawa syahwatku semakin meningkat. Oh Tuhan... dia mencium bibirku, menghisap mulutku begitu lembut, aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, Suamiku tak pernah melakukannya seenak ini, tapi dia... Aahkk... dia hanya anakku, tapi dia bisa membuatku merasa nyaman seperti ini, dan lagi............ Oohkk...oooohhkkk..... Tubuhku menggeliat! Kenapa dengan diriku ini, ciuman arman terasa begitu menyentuh, penuh perasaan dan sangat bergairah. "Aahkk... aaahhk,," Tangan itu, kumohooon jangan naik lagi, aku sudah tidak tahan lagi, Aahkk... hentikan, cairanku sudah keluar. Lidah arman anakku menari-nari, melakukan gerakan naik turun dan terkadang melingkar. Kemudian kurasakan lidahnya menyeruak masuk kedalam vaginaku, dan menari-nari di sana membuatku semakin tidak tahan. "Aaahkk... Nak....!"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku