Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Misi 27 Hari Yura

Misi 27 Hari Yura

drizzle

5.0
Komentar
2
Penayangan
1
Bab

Penolakan keras Yura Anindita terhadap perjodohannya, membuat misi 'mungkin tak mungkinnya' spontan tercetus. Dia harus menemukan calon suami terbaik sebelum hari ulang tahunnya, agar perjodohan yang di rencanakan kedua orang tuanya di batalkan. Tentu saja tak mudah menemukan seseorang yang baik yang mau menikahinya hanya dalam waktu sesingkat itu. Tapi Yura tak akan menyerah, dia yakin bisa menemukan calon suami sebelum 27 hari. Persis, sebelum dia berusia 27 tahun. Saat dirinya sibuk memikirkan jalan keluar menyelesaikan misinya, saat itu pula dua orang pria berbeda karakter, beda kehidupan, muncul dalam hidup Yura. Manakah yang akan Yura pilih? Seseorang dari masa lalunya atau orang yang baru dia kenal namun sukses membuatnya jatuh hati dengan begitu mudah. Atau justru tidak keduanya?Ikuti kisah Yura dengan misinya sampe akhir ya...

Bab 1 Break Up

"Kita udahan ya."

"Ok."

Hening sejenak.

"Kamu nggak tanya alasan aku apa?" tanyanya dengan raut wajah heran.

"No."

"Kamu beneran nggak pengen tahu?"

"Iya."

"Kamu nggak kecewa atau sakit hati gitu?"

"Pertanyaan kamu telat. Aku udah kenyang dengan semua perasaan itu, sejak aku tahu kamu selingkuh sama Julia.

Yup ... sesimple itulah responku di momen berakhirnya hubunganku dengan Langit. Cowok yang selama 3 tahun terakhir menjadi pacarku. Cowok yang pada awalnya sangat aku percaya kini berubah menjadi sangat mengecewakan.

Cowok yang ... ahhh sudahlah. Aku muak membicarakannya.

Dia menghembuskan nafas kasar, ada rasa ketidakpuasan tergambar dari mimik wajahnya.

"Kenapa? Kamu kecewa karena aku nggak marah-marah, sebel, atau nangis-nangis gitu?" tanyaku runtun.

Jika memang dugaanku benar, Langit sungguh sangat aneh. Dia yang minta udahan, lalu kenapa dia yang harus merasa kecewa dan sakit hati? That's funny.

"Apa jangan-jangan kamu sendiri udah punya cadangan? Makanya kamu bisa bersikap sesantai ini."

Aku terkekeh. Sekarang dia malah melayangkan tuduhan tidak jelasnya padaku. Cowok gila.

"Jangan samain aku sama kamu, Langit. Aku bisa bersikap sesantai ini, karena mata aku udah terbuka. Aku sadar, kalau cowok modelan kamu nggak pantes buat di tangisin. Even kamu udah nggak ada di duniapun, belum tentu aku tangisin."

"Kamu nyumpahin aku?"

"Nope. Kamunya aja yang baper."

Dia terlihat masih tak percaya dengan respon yang aku tunjukkan. Masa' bodoh dengan itu, toh memang sudah sewajarnya hubungan ini berakhir. Sudah tidak ada satupun lagi alasan untuk mempertahankann

"Udah nggak ada yang perlu dibicarakan lagi kan? Kalau gitu aku pamit. Bye."

Aku beranjak pergi meninggalkan cafe dengan perasaan lega. Lega karena tak akan ada lagi laki-laki itu dalam hidupku.

***

Melupakan Langit mungkin hal yang mudah bagiku. Tapi, melupakan semua kenangan yang tercipta, jujur aku kesulitan. Walaupun dia brengsek, tapi setidaknya dia pernah membuat hari-hariku bahagia. Ahhh ... kenapa dia harus menjadi semenyebalkan itu?

"Mama, capek-capek masak bukan buat di liatin Yura," tegur Mama sambal menepuk pundakku. Menyadarkanku dari lamunan yang tidak begitu penting tadi.

"Maaf, Ma," sesalku dengan senyum hambar, berusaha menyembunyikan kegusaranku dari Mama.

"Kamu lagi ada masalah?"tanya Mama usai meneguk sedikit air putih dari gelasnya. Beliau sudah selesai dengan makan malamnya.

Aku menggeleng pelan,"Nggak kok Ma. Lagi capek aja," elakku dan kemudian Kembali melanjutkan makan.

"Bagaimana kerjaan kamu, Yura? Lancar?" Papa yang sedari tadi diam mulai buka suara. Semoga saja tak akan ada pembahasan tentang Langit malam ini.

"Alhamdulillah lancar kok, Pa," sahutku sambal meraih gelas lalu meneguk isinya perlahan.

"Lalu bagaimana dengan Langit, kapan dia akan melamar kamu?"

Harapanku sirna, Papa akhirnya membahas soal langit. Pertanyaannya sukses membuatku tersedak.

Apa yang harus aku katakan pada Papa dan Mama.

Haruskah aku mengatakan yang sejujurnya sekarang? Bagaimana aku menjelaskannya kalau antara aku dan Langit sudah tidak ada apa-apa lagi.

Putusnya aku dengan Langit mungkin tidak begitu masalah bagiku, karena aku tahu dia sebrengsek apa.

Tapi itu tak berlaku bagi orang tuaku, mereka hanya tahu yang baik-baiknya saja tentang Langit.

Apa aku bilang begini saja, 'Ma, Pa, calon menantu kesayangan Mama sama Papa itu ternyata kelakuannya Naudzubillah'. Haruskah begitu?

"Kamu nggak apa-apa sayang?" tanya Mama dengan wajah cemas setelah melihatku tersedak.

"Nggak kok, Ma. Nggak apa-apa."

"Nggak baik loh pacarana lama-lama," ujar Papa lagi setelah menyudahi makannya.

"Iya, Pa. Yura tahu. Tapi kalau untuk nikah sekarang apa nggak terlalu buru-buru?"

Aku mencoba sebisa mungkin untuk mengelak pembahasan yang seperti ini. Apalagi sekarang statusku tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun.

"Kamu ngomong apa sih? Buru-buru apanya? Kalian sudah sama-sama dewasa. Usia kamu hampir 27, Yura Anindita. Mau nunggu sampai kapan kamu baru mau menikah?" Mama terdengar semakin mendesakku.

"Iya, Mama kamu benar. Lagipula nggak baik, terlalu banyak membuang waktu dengan pacaran begitu," Papa seolah tak mau ketinggalan menimpali.

"Aku mau aja Ma, Pa, nikah secepatnya. Tapi aku sama Langit...," kata-kataku tertahan di ujung lidah.

Jika aku jujur Papa akan sangat marah. Pasalnya Langit pernah berjanji akan menikahiku saat hubungan ini berjalan 3 tahun. Tapi pada kenyataannya hubungan itu malah kandas di tengah jalan.

Aku tahu betul, Papa tak pernah bisa mentolerir itu. Beliau benci sekali dengan orang yang ingkar janji. Papa pasti akan sangat marah, bukan hanya pada Langit tapi juga padaku.

Sungguh ... kalau boleh, ingin ku maki saja laki-laki itu sekarang.

"Kamu sama Langit kenapa? Belum siap?" Papa terlihat sangat penasaran. "Atau...kalian lagi berantem?"

Aku diam. Mulutku sudah gatal ingin membeberkan kalau Langit mengkhianatiku.

Setelah sepersekian detik, aku kembali bersuara. "Aku sama Langit, udah selesai Ma, Pa."

Papa tak berkomentar, Ia hanya diam sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Diamnya Papa, adalah tanda kalau dia benar-benar sedang kecewa sekarang. Kecewanya tentu bukan pada Langit saja tapi juga aku.

Aku adalah orang yang keukeuh meyakinkannya kalau Langit adalah yang terbaik, hingga pada akhirnya penilaianku sendiri itu salah.

Sementara itu, Mama hanya bisa menghela nafas panjang. Dari awal hubunganku dengan Langit, Mamalah yang menaruh harapan paling besar pada Langit untuk segera menikahiku.

Tapi pada akhirnya aku terpaksa membuat kedua orang tuaku menelan pil pahit kekecewaan malam ini. Maafin Yura Ma, Pa.

***

Keesokan harinya di kantor, entah kenapa sejak pagi aku tidak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaanku. Sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan, tentu saja aku akan selalu di tegur setiap kali aku melakukan kesalahan. Dan ya, sejak pagi entah sudah berapa kali aku di semprot dengan omelan dari atasanku.

Pembicaraan antara aku, Papa dan Mama kemarin malam sungguh mengganggu pikiranku.

"Ra, Kamu kenapa? Tumben banget nggak fokus gitu," tanya Indy, rekan kerja sekaligus sahabatku, yang memang sejak tadi menjadi saksi saat aku terus menerus di omeli.

Aku menghela nafas panjang,"Mama sama Papa udah tahu soal aku dan Langit."

"Bagus donk. Itu artinya kamu nggak perlu pusing mikirin cara nutupin kenyataan kalau kamu sama Langit itu udah selesai. Udah bubar." Indy tampak bersemangat sekali menanggapi ucapanku.

Tampaknya dia juga sama leganya seperti aku kemarin malam, Tapi...bukan itu masalahnya.

"Masalahnya itu, mereka bakal ngejodohin aku sama anak temennya. Katanya, mereka nggak mau aku salah pilih lagi," ucapku mulai memaparkan isi pembicaraan kami tadi malam.

"Ya bagus donk. Itu artinya mereka sayang sama kamu, Ra. Yakin deh, pilihan orang tua kamu nggak akan salah."

"Tapi aku nggak mau di jodohin. Ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi Indy."

"Iya ... iya aku ngerti. Tapi nggak ada salahnya kan kamu coba buat jalanin. Siapa tahu salah satu anak dari temen Papa kamu itu memang jodohnya kamu. Bisa aja kan?"

Indy benar. Tak ada salahnya untuk dicoba menjalaninya. Tapi ... dijodohin? Hal seperti itu bahkan tak pernah terlintas dalam pikiranku sama sekali. Bahkan dalam mimpipun tidak.

"Oh iya, kamu udah denger berita penting belum?" Indy langsung mengalihkan topik begitu saja.

"Soal apa?" tanyaku yang tetap penasaran juga walau pikiran sedang kacau-kacaunya.

"Anaknya Pak Anton, lagi nyari sekretaris pribadi."

"Terus bagian pentingnya yang mana? Bukannya hal kayak gitu emang udah biasa."

"Dia berencana mau ngerekrut salah satu karyawan di sini."

"Bagus donk. Itu artinya dia punya penilaian bagus sama kinerja kita. Udah berapa banyak yang daftar?"

"Yang daftar?"

Aku mengangguk cepat mengiyakan,

"Nggak ada."

"Kok bisa? Bukannya, semua staf di sini pada kepengen jadi sekretaris pribadi anaknya Pak Anton? Kenapa malah belum ada yang daftar?"

"Itu anak pak Anton yang sulung. Kalo ini si bungsu. Yang kelakuannya 11-12 sama Firaun itu."

"Maksud kamu ... Cowok Americano itu?" tanyaku mencoba memastikan.

Indy mengangguk cepat mengiyakan.

"Tapi kalau nggak ada yang daftar begitu, otomatis dia batal ngerekrut donk."

"No. Kalau nggak ada yang daftar, dia tetap akan nunjuk siapapun buat jadi sekretarisnya. Mengingat kelakuannya, kayaknya bakal ngerangkap jadi babu juga sih sekalian."

Ahhh ... membayangkannya saja aku ngeri. Pasalnya, aku pernah berurusan dengan cowok tak punya perasaan itu, dan itu sangat melelahkan dan menyebalkan, tentu saja.

"Kabar buruknya, dia bakal datang hari ini," ucap Indy lagi membuatku terperangah.

"What???"

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh drizzle

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Misi 27 Hari Yura
1

Bab 1 Break Up

03/05/2024