Kejadian pahit masa lalu mengubah seluruh kehidupan Arista Lucy. Pengalaman pahit itu menyisakan luka yang teramat dalam dihatinya. Arista yang berhati lembut berubah menjadi pribadi yang keras, kasar, dan berhati dingin bagai es. Dendam yang menuntut untuk dibalaskan memaksanya menjadi seorang pembunuh bayaran yang tak punya hati. Bertahun – tahun Ia menjadi manusia berhati batu, tiba-tiba lelaki itu hadir, membawa sejuta teka-teki sekaligus memberinya ketenangan, Kehadiran Evan memberi warna tersendiri pada kehidupan Arista.
Malam telah larut, dari arah kamar mandi sebuah rumah mewah terlihat Zero, sedang mencuci tangan dan wajahnya yang berlumuran darah di washtafel.
Perlahan kedua tangan serta wajahnya mulai bersih, dan darah-darah tadi mengalir keujung washtafel hingga hilang sama sekali.
Entah kemana darah dari korbannya tadi mengalir selanjutnya.
"Mau sampai kapan? Mau sampai kapan lo kayak gini?!!!" Ucapnya sembari berkaca dan melihat wajahnya disana.
"Arghhhh!!! " Serunya lagi sambil
memukul cermin hingga retak dan membuat darah mengalir deras dari tangannya.
Tiba – tiba terdengar sirine mobil polisi, gadis berambut panjang ini dengan sigap memakai topeng dan sarung tangannya kembali. Ia melangkah cepat bahkan setengah berlari menuju pintu belakang dan meninggalkan seorang pengusaha kaya yang
sudah tak bernyawa. Serta dua sandera digudang yaitu anak dan istri korban.
Kini Zero sudah jauh meninggalkan rumah tersebut. Dan kini lagi, lagi, dan lagi, Ia lolos dari kejaran polisi.
* * *
Matahari bersinar cukup terik siang ini, tapi itu tak membuat gadis manis berambut panjang dengan kulit putih pucatnya itu duduk di kursi taman sambil menyesap sepuntung rokok.
Pohon mangga yang cukup besar yang berada di area taman kampus ini, sudah lebih dari cukup menyelamatkannya dari sengatan matahari siang ini.
Tapi, tentu saja itu tak menyelamatkannya dari setiap pasang mata yang kini sedang melihat aneh kearahnya sambil mencibir.
Awalnya Ia santai saja dengan keadaan ini, karena ini bukan kali pertama itu terjadi. Tapi lama kelamaan ia mulai risih dengan semuanya. Perempuan bermata tajam yang terkenal kasar dimata anak-anak kampus ini mulai ambil sikap.
"Eh ... Lo ngomongin gue??" Tanyanya menghampiri salah satu mahasiswa yang juga berada ditaman, yang memang sedari tadi mencibir kearahnya.
Cowok berkacamata yang sedang bersama dua temannya yang lain ini mulai gugup, karena mengingat dia tak akan segan-segan pada siapapun yang mengganggu ketenangannya.
Dia juga tak pernah terlihat ramah pada siapapun. Bahkan Ia juga tak pernah berbicara santun pada dosen-dosennya. Dia adalah Arista Lucy. She's real a badgirl.
"Ng-Nggak, gue nggak ngomongin lo kok," jawabnya gugup.
"Jangan bohong lo!!" Bentak Arista sembari menarik kerah baju cowok tersebut.
"Serius Ta, kita nggak ngomongin lo, " ucap cowok berkacamata ini semakin terlihat cemas.
"Ahh ... basi lo !!!" Bentaknya kian keras, dengan tatapan tajam dan penuh amarah.
Arista tengah bersiap mendaratkan bogem mentah kearah wajah cowok berkacamata yang ia anggap sudah mengganggu ketenangannya itu.
"Arista !!! Berhenti !!!" Teriak Kania sahabat karibnya dari kejauhan dan kini berjalan mendekat kearahnya. Teriakan itu sukses membuat Arista mengurungkan niatnya.
"Inget !! sekali lagi lo ganggu ketenangan gue, gue pasti'in lo bakal nyesel seumur hidup. PAHAM LO !!" Bisik Arista dengan kata-kata kasarnya pada cowok berkacamata tadi.
"Ta ... lo apa – apa 'an sih? Lepasin nggak?" Pinta Kania dan Arista mau tak mau menurut.
"Gue mau ngomong sama lo," ucap Kania sembari menarik lengan Arista. Lalu menyeretnya pergi begitu saja.
***
"Ngapain kita kesini???? " Tanya Arista dengan wajah heran, karena Kania menyeretnya penuh paksaan tadi hanya untuk ke toilet. Tempat ini jelas bukan tempat ternyaman untuk ngobrol.
Kania bukannya menjawab, Ia lebih memilih mencipratkan air ke wajah Arista, dengan air keran yang baru saja Ia ambil.
"Nia ... !" Arista tampak kaget bercampur kesal.
"Itu tujuan kita kesini?"
"Apa?" Arista masih tak mengerti dengan maksud dan arah pembicaraan sahabatnya itu.
"Ta, lo sadar nggak sih apa yang udah lo lakuin?"
Arista hanya memasang tampang tak peduli sembari mengeringkan wajahnya dengan tissue. Ini pasti masih soal sikap Arista saat di taman tadi. Huft ... Kania kadang terlalu cerewet.
"Lo tahu, lo bisa aja beneran di drop out dari kampus karena sikap kasar loe."
"Maksud Lo?"
"Tadi gue nggak sengaja ngedengarin pembicaraan dosen-dosen tentang lo. Lo kemungkinan bakal di DO kalau sikap kasar lo masih belum bisa berubah sampai bulan depan," terang Kania dengan raut wajah serius. Sangat serius.
"Gue nggak peduli. Lagian gue berani jamin palingan itu cuma gertak sambel doank," tutur Arista dengan sangat tenang sembari mengambil satu puntung rokok dan mulai ingin membakarnya.
"Ta, Ayolah. Dengerin gue sekali ini aja!!!" Kania mengambil paksa rokok tadi dari Arista, hingga membuat sahabatnya mengkerutkan dahi.
"Mereka nggak bakal bersikap lembut lagi sama lo. Dan ini, sampai kapan lo kayak gini. Lo nggak merhatiin kesehatan lo?" sambung Kania lagi sambil menunjukkan rokok yang tadi dia rebut tepat di depan muka Arista.
"Come on Ta, lo harus berubah dari sekarang. Nggak usah kasar lagi, dan berhenti ngerokok. Lo bisa kan lembutan dikit. Lo itu cewek, feminin dikit kek." Kania masih saja mengoceh.
"Oh ... jadi maksud lo, gue harus pake rok, highheels trus pake bando kayak lo ini, iya???" Terka Arista karena Kania memang sosok cewek feminin, berbanding terbalik dengan Arista yang tomboy dan urakan.
"Ya ... bisa dibilang gitu sih. Tapi kalau lo nggak mau feminim dikit, paling nggak lo tu bisa lembut dan ramah dikitlah sama orang"
"Gitu ya??? " Tanya Arista dengan nada mengejek.
Iya!" Jawab Kania ketus karena sikap tak peduli Arista.
Namun Kania beruntung karena Arista tak pernah bersikap dingin apalagi kasar padanya. Sikapnya yang dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang lain, tak pernah terlihat saat dia bersama sahabatnya.
" Udah Ah, gue nggak betah lama – lama di toilet, gue cabut dulu." Arista mulai melangkah keluar. Agak malas melanjutkan topik obrolan yang saban hari hampir sama itu.
"Tunggu dulu"
"Apa lagi sih Nia???"
"Mana rokok lo?"
"Lo mau ngapain minta rokok gue?" tanya Arista dengan muka kecut
"Sini'in nggak rokok lo"
"Iya ... iya ... nih." Arista memberikan satu kotak rokok miliknya pada Kania.
"Yang lainnya mana?" Tanya Kania lagi.
"Udah nggak ada."
"Lo jangan bohong, Ta. I know who you are Arista Lucy."
"Iya ... nih. Ini yang terakhir. Puas lo!" Ale memberikan 2 puntung rokok yang ada di dalam saku kemejanya.
"Bagus. Ya udah yuk kita keluar."
Arista menghela nafas sejenak dengan tujuan agar emosinya cepat memudar. Dia memang jauh lebih sabar menghadapi sikap Kania dibanding menghadapi orang lain yang membuatnya selalu temperamen tinggi.
Itu karena Arista sudah menganggap Kania sebagai saudaranya sendiri. Setelah kepergian Ibunya dan menghilangnya sang Ayah serta Alfi saudaranya 7 tahun lalu, Arista tak punya siapa – siapa lagi selain Kania sahabat karibnya yang selalu menemani.
Drrttt ... drttt ...
Ponsel Arista yang bersemayam di dalam saku jeans belelnya, bergetar. Arista merogoh saku, lalu mendapati satu panggilan masuk dari nomor pribadi terpampang di layar datar ponsel miliknya.
"Private number? Lagi?" tanya Kania yang ternyata ikutan melirik ponsel Arista. "Perasaan, lo sering banget dapat telepon dari private number, Ta. Lo beneran nggak tahu itu siapa?"
"Iya lah. Nggak penting juga." Sahut Arista santai. Teramat santai untuk seseorang yang gampang emosian dengan hal sepele.
"Tapi ... bukannya, lo orang yang gampang risih ya? Emang lo nggak sebel di teleponin orang iseng kek begitu? Mana pake private number pulak."
"Biarinlah. Toh nggak pernah gue angkat juga."
"Saran gue sih ya, mending lo ganti nomor deh." Kania masih saja nyerocos. Yup ... as always.
"Hm ... gue pikirin nantilah," sahut Arista. Bukan berarti dia setuju, dia hanya tak ingin mendengar ocehan Kania yang tak berkesudahan itu.
Bukan apa-apa, sejak Kania tahu, kalau ponsel Arista sering mendapat panggilan telepon dari nomor tak di kenal seperti ini, Kania adalah orang yang paling cerewet dan paling berpikiran aneh-aneh.
Bahkan, dia pernah bilang kalau orang yang terus menelepon dengan private number itu, mungkin saja pengagum rahasia Arista yang sangat obsessed tapi juga pengecut.
Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Arista mungkin tak mengenal siapa yang meneleponnya, tapi dia cukup tahu apa yang harus dia lakukan saat telepon dengan private number itu masuk ke ponselnya.
Itu artinya, ada pekerjaan untuknya.
* * *
Bab 1 She
12/06/2024
Bab 2 Mawar Hitam
12/06/2024
Bab 3 Menjauh
12/06/2024
Bab 4 Find Zero Or Die
12/06/2024
Bab 5 Arista Udah Mati
12/06/2024
Bab 6 Masa Lalu
14/06/2024
Bab 7 Zero dan Evan
19/06/2024
Bab 8 Permulaan
24/06/2024
Bab 9 Blood Night
27/06/2024
Bab 10 Senyuman Langka
27/06/2024
Bab 11 Sesal
28/06/2024
Bab 12 Harapan
05/07/2024
Bab 13 Insting
05/07/2024
Bab 14 Terbongkar
05/07/2024
Bab 15 Escape
05/07/2024
Bab 16 Gudang Tua
06/07/2024
Buku lain oleh drizzle
Selebihnya