Suka hujan, tapi tak suka kebasahan. Suka sepi, tapi tak suka kesepian. Suka rindu, tapi tak suka perdebatan. Suka bersama, tapi tak suka disamakan. Suka berdua, tapi tak suka di duakan. Namaku Hanum Raharja, Aku bukan gambaran wanita sempurna. Aku hanya mewakili ribuan wanita di luar sana yang tak mampu berkisah tentang perihnya sebuah luka. Dibanding untuk meratapi sebuah penghianatan, aku lebih memilih mementahkan semua tuduhannya terhadapku. Aku memang tak Sempurna, namun jika hina di anggapnya sebagai mahkota. Maka akan ku tunjukkan siapa Ratu yang sesungguhnya. "Bukankah itu yang selalu kamu tuduhkan padaku? Aku hanya berusaha mementahkan tuduhanmu, agar tak menjadi fitnah." Hanum. Aku tak peduli, meski bersamanya aku hanya akan memeluk luka.
Di luar hujan.
Minggu pertama di bulan April.
Aku menyesap caramel macciato yang ku pesan beberapa waktu lalu. Minuman yang selalu menjadi favoritku kala penat mulai menyelimuti.
Rasa kopi yang nikmat dipadukan dengan aroma wangi dari caramel membuat perpaudan yang begitu pas memanjakan lidah dan hidungku.
Aku menatap ke luar jendela kafe yang langsung menghadap ke jalan raya. Lalu lalang kendaraan, serta beberapa orang yang tengah berlarian untuk menghindari hujan.
"Sudah siap?" Aku menatap seseorang yang baru saja datang dan sedikit basah.
"Sorry, tadi sedikit kejebak macet." Ucapnya meminta maaf karena sudah membuatku menunggunya.
Aku hanya memberi respon dengan sebuah anggukan kecil.
Aku melihat dia tengah mengeluarkan laptop, tape record dan satubuah notebook lengkap dengan alat tulisnya.
Dia Nadira Aiswara. Seorang penulis.
"Jadi kita mulai dari mana Mbak?" Tanyanya saat sudah bersiap membuka laptopnya.
"Aku tidak tahu harus memulai semua dari mana, apakah Kamu bisa memberiku saran?" Tanyaku kembali.
"Mbak bisa mulai dari awal, atau mungkin Mbak mau bercerita dulu. Bagaimana rasa sakit yang Mbak rasakan?"
Aku menggeleng dengan senyum kecut, "bahkan aku sendiri sudah tak lagi bisa merasakannya, rasanya kebas. Sesak saja sudah hilang dari dadaku."
Sudah sejak lama aku memang tak lagi mampu merasakan apa itu kesakitan, sebab yang ku rasakan sekarang bukan lagi tentang sakit hati. Tapi lebih dalam dari itu. Lukaku tak lagi mampu ku jabarkan dengan kata - kata. Jadi aku tidak tahu jika di tanya bagaimana rasa hatiku, yang jelas hancur saja tidak cukup untuk melukiskan bagaimana keadaanku saat ini.
"Kalau begitu saya ganti pertanyaannya." Nadi menutup laptopnya, kemudian melipat tangan diatas meja. "Bagaimana mbak bisa berjuang sampai di titik ini."
Aku menatapnya, ini yang aku suka dari seorang Nadira. Dia sangat pintar untuk memancing beragam emosi yang ada dalam diriku, apa yang ia tanyakan tadi? Bagaimana aku bisa bertahan hingga detik ini? Bertahan untuk tetap tegar, sabar, atau tetap waras?
"Mungkin aku melakukan beberapa kegilaan?" Kataku.
Nadi tersenyum, "itulah yang perlu Mbak Hanum lakukan sekarang, berlakulah sedikit gila. Agar Mbak bisa melepaskan segala lara."
"Aku sudah lama menggila, agar tetap waras."
Lalu kami terkekeh bersama, Nadi menyesap kopi hitam yang ku pesankan. Ini adalah pertemuan ke empat kami, pertama kami bertemu di sebuah seminar . Ke dua kami bertemu tak sengaja di sebuah galery seni sampai akhirnya Aku tertarik untuk memberinya sebuah kisah semu yang pernah ku rindu. Dan pertemuan ke tiga kami berakhir dengan aku yang menceritakan secara garis besar bagaimana kisah hidupku.
Disini aku tidak akan mengisahkan sebuah kerumitan drama penghianatan yang pasanganku lakukan. Karena disini aku ingin sekali mengisahkan sebuah kisah yang aku gariskan sendiri sebagai takdir tanpa mau mengikut campurkan tangan Tuhan.
Mungkin aku terlalu congkak jika aku menggariskan kisahku sebagai takdir, tapi aku memang enggan sekali membawa nama Tuhan dalam bobrok yang aku lakukan.
Aku mencintainya, aku menginginkannya sebagai bagian dari kisah bahagiaku.
Aku memang menggila, dan aku akan benar - benar menjadi gila ketika dia juga memberiku kisah kasih yang sama besarnya.
Dia adalah gambaran nestapa terindah yang Tuhan ciptakam untukku, satu - satunya luka terhebat yang tak pernah ku sesali dalam hidupku.
Dia adalah gambaran dari sebuah penghancur dan juga harapan.
"Jadi siapakah gerangan, laki - laki beruntung yang sudah membuat seorang Hanum Raharja menggila."
Aku terkekeh, namun bibirku juga mengucap sebuah nama yang selalu ku semogakan disetiap untaian doa.
"Fabian Dirgantara."
"Wow!" Aku menatap Nadi terpekik, "aku manggilnya mas Bian boleh mbak?" Tanyanya padaku.
"Terserah kamu Nad." Kataku berusaha untuk tenang.
Tidak tahu kenapa, hanya sekedar menyebut namanya saja hatiku rasanya membuncah. Ada debar hebat yang tak mampu aku redam.
"Apa mbak Hanum benar - benar ingin menceritakannya padaku?" Tanyanya memastikan.
Tanpa ku jelaskan panjang dan lebar, aku tahu Nadi tak sepenuhnya mempercayaiku.
Sebagai seorang penulis, dia pasti menyadari rasa tak nyaman dariku yang tak lagi bisa ku tutupi.
Nyatanya memang seperti itu, Fabian adalah sosok yang tak mudah aku hapuskan kisahnya dalam hidupku.
Kisah rumit tapi begitu indah.
"Jika benar yang kamu maksud adalah kisah ini nyata atau tidak. Ya? Mungkin kamu perlu sedikit memberinya bumbu - bumbu romansa. Atau kalau perlu kamu bisa memberikan gambaran derai air mata atas luka yang berbalut luka dan bertumpuk derita."
Aku melihat Nadi terkekeh, "aku jadi ragu jika mbak Hanum ini seorang barista. Karena dibanding meracik kopi menjadi sebuah minuman yang nikmat untuk di sesap. Mbak Hanum bahkan lebih jago mengolah kata menjadi sajak yang penuh makna bagi penikmat."
"Kamu tidak usah khawatir Nad? Aku terlalu cinta pada kedai tua milikku. Aku tidak begitu tertarik untuk menulis. Tapi jika nanti ada kesempatan. Mungkin aku akan menggeser posisimu di Lintang Pustaka." Candaku menyebutkan sebuah penerbit ternama yang ditempatinya bekerja sebagai editor.
"Kalau hari itu terjadi, aku akan menggantikanmu untuk meracik kopi mbak." Balasnya kemudian yang membuatku terkekeh.
"Jadi kamu masih berminat mendengar kisahku, atau memgambil posisi pekerjaanku?" Tanyaku kemudian.
"Kisahmu mbak. Lagipula, aku ini hanya penikmat kopi bukan pecinta."
"Aku dan dia memiliki banyak kesamaan, entah dari hobi dan pandangan tentang hidup. Bahkan beberapa hal kecil tentang makanan saja kita satu selera." Aku mengulas senyum ketika membayangkan bagaimana semua kebetulan itu benar ada, "meski kita sering beradu argumen, tapi hal itu tak lantas membuat kita berantem. Tidak ada satupun perdebatan kita yang berakhir cek cok, karena dia adalah gambaran dari sebuah tawa yang tak bisa reda."
Aku kemudian menatap wajah Nadi, ia tampak serius mendengarkanku sambil menggoyang - goyangkan tape record yang sudah ia nyalakan.
Aku menggembungkan pipiku, memejamkan mataku sehenak kemudian aku menatap lurus ke arah luar dinding kaca yang mengelilingi Kafe.
"Semua masalah, akan menjadi lelucon untuknya. Hidupku memang sudah lama gila. Tapi bersamanya aku semakin menggila dan yang terpenting adalah aku bahagia."
Aku diam. Aku menjeda, agar Nada bisa mencerna dan menyusun sebuah pertanyaan.
"Mbak Hamun mencintainya?" Tanyanya kemudian.
Aku mengangguk.
Aku tak berbohong. Perasaan itu sudah lama ada, namun aku baru merabanya. Sebelum benar - benar terasa, aku lebih dulu memilih untuk menyimpannya.
"Aku mencintainya. Perasaanku tidak pernah berkurang dan justru bertambah setiap harinya. Aku bingung menamainya apa. Tapi aku tau perasaan itu nyata. Dan aku selalu menyebutnya sebagai cinta." Aku menghela napas, dadaku tiba - tiba sesak.
"Bian. Dia adalah luka yang kupeluk dengan sengaja."
Bab 1 Hanum Raharja
14/07/2022