Hagia Anindita, seorang karyawan biasa, berwajah biasa, dengan kehidupan yang biasa pula, harus menerima kenyataan, bahwa hidupnya yang biasa-biasa saja diterjang ombak permasalahan yang meluluh-lantahkan segalanya. Di hari pernikahan yang dikira akan berjalan sempurna, harus dihentikan setelah seorang wanita asing mengaku bahwa ia telah mengandung anak dari pria yang baru beberapa menit menjadi suaminya. Apa yang harus ia lakukan? Mengikhlaskan berarti ia rela untuk menjanda. Namun, jika menolak dan bersikeras untuk mempertahankan hubungan, ia akan dicap sebagai wanita yang jahat karena membiarkan satu nyawa yang tak bersalah lahir tanpa seorang ayah.
Dari banyaknya tumbuhan yang ada di muka bumi ini, malangnya aku terlahir seperti putri malu. Tidak memesona seperti bunga mawar, tak seindah bunga sakura, tak semanis bunga kembang sepatu, tak secerah bunga matahari, dan tak semewah bunga peony. Kehadiranku tak pernah disenangi oleh orang lain. Aku dianggap menyakiti mereka dengan duri yang sebenarnya tak pernah kuinginkan. Mereka datang hanya untuk bermain, lalu pergi di saat sudah jenuh.
~~~
Kabar itu meluluh lantahkan jiwaku, bulir bening jatuh menghiasi pipi yang masih berbalut make up tipis. Aku terisak, tak sanggup berkata-kata lagi. Lidahku kelu, aliran darahku seakan terhenti untuk berfungsi secara normal. Otakku terus memikirkan beribu pertanyaan yang sampai kini tak kutahu jawabannya.
Meski aku berusaha untuk mengelak, tetapi fakta itu menamparku dengan keras. Laki-laki yang telah kucintai selama tiga tahun terakhir ini, mengkhianati cinta suci yang hanya tertuju untuknya.
Bagaimana mungkin ini terjadi? Mengapa baru sekarang fakta itu terkuak? Seharusnya wanita itu datang sebelum akad dimulai, sehingga aku pun bisa dengan mudah menolak dan membatalkan pernikahan ini tanpa rasa malu yang menggunung.
"Aku akan menceraikanmu, Hagia. Anak itu memang darah dagingku. Aku mencintai Serly dengan sepenuh hati," katanya saat kami masih berada di atas pelaminan.
Apa ini? Mengapa dia dengan mudah mengatakan kalimat yang begitu menyakitkan? Menceraikanku di hadapan tamu undangan? Apa tidak ada hal yang lebih memalukan lagi? Seharusnya ia mengambil pengeras suara dan berteriak, agar semua orang di penjuru ruangan bisa mendengar dengan jelas perkataannya barusan.
Aku kelabakan dan bingung, tak tahu harus melakukan apa? Kepalaku pusing, semuanya seakan berputar, seolah aku berada di dalam suatu ruangan yang bergerak, membolak-balikkan tubuh mungilku. Aku ingin berteriak, aku ingin menangis, dan aku ingin ... MATI.
Mengapa baru sekarang dia mengakui perasaannya yang sebenarnya? Mengapa baru sekarang ia mengatakan bahwa ia menyukai wanita lain selain diriku? Dia mencintai wanita lain dengan sepenuh hati? Jadi selama tiga tahun ini, apa yang dia rasakan padaku? Apa tujuannya bertahan di hubungan ini?
Aku benar-benar tak bisa berkata-kata lagi. Dani memberikan luka yang teramat dalam. Memilih wanita lain dibanding istri sahnya adalah sesuatu yang sangat konyol dan biadab. Dia benar-benar tak memikirkan perasaanku, keluargaku, dan keluarganya. Aku tahu bahwa dia egois, tetapi menceraikanku di depan banyak orang adalah hal yang sangat bodoh.
Mengapa tak ada yang menenangkanku? Ke mana orang tua dan sahabatku? Orang-orang sibuk berbisik tentang kejadian nahas yang telah terjadi. Pengantin wanita diceraikan di atas pelaminan yang masih berbau kembang tujuh rupa. Pengantin wanita ditalak oleh mempelai pria setelah tahu bahwa selingkuhannya telah hamil. Mempelai pria lebih memilih wanita yang menjadi selingkuhannya dibanding wanita yang baru beberapa menit ini menjadi istri sah di mata hukum dan agama. Semua itu akan terngiang dan menjadi kejadian yang tak mungkin terlupakan.
Dani Abrisam, pria itu jelas akan membuat hidupku berantakan. Tidak menutup kemungkinan bahwa aku akan larut dalam kesedihan yang mendalam. Namun, apa yang bisa kulakukan? Aku tak bisa memutar waktu. Aku tak bisa menarik ijab qabul yang telah terikrar beberapa menit yang lalu. Aku hanya bisa terdiam sambil menunduk, tak berani menatap tamu yang sudah bisa kutebak, tatapan mereka seakan mengatakan bahwa aku adalah gadis yang paling menyedihkan di muka bumi ini.
"Dani, apa kau serius dengan ucapanmu? Kau memilihnya dibanding diriku?" Aku masih berusaha menyadarkannya. Aku jelas tak ingin menjanda di hari pernikahanku.
Tak ada jawaban, hanya tatapannya-lah yang membuatku paham bahwa dia benar-benar telah meninggalkanku. Aku duduk terkulai di kursi pelaminan. Tulangku tak bisa menopang berat tubuh yang ringkih ini. Air mataku kembali menganak sungai kala Dani sudah duduk di samping Sherly sambil menggenggam jemarinya. Aku ingin menjerit, mengatakan bahwa ia tak berhak bahagia atas apa yang dilakukannya padaku. Seharusnya ia menguatkanku, bukan malah bermesraan dengan wanita lain.
Ibu datang menyeret tubuhku, meminta agar aku kembali ke kamar. Tangisanku semakin menjadi-jadi saat Ibu mulai menenangkanku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Apa yang akan baik-baik saja? Rasa malu yang kuterima bukanlah hal yang bisa disebut sepele. Masalah yang Dani berikan padaku jelas membuat masa depanku akan hancur.
"Bu, aku masih bersedia merawat anak itu. Katakan pada Dani bahwa aku bersedia merawat anaknya, dengan satu syarat bahwa ia meninggalkan wanita itu," ucapku di sela-sela tangisan yang masih terdengar pilu.
"Jangan bodoh, Gia! Kau sudah ditalak di depan banyak orang. Ia ingin segera menceraikanmu. Dani memilih wanita lain, Sayang," suara Ibu juga terdengar serak. Dia juga pasti sedih melihatku seperti ini. Ibu mana yang tak ikut sedih jika anak semata wayangnya harus menerima perlakuan yang sangat buruk dari seorang pria, pria yang baru beberapa tahun mengenal anaknya, lalu dengan tak tahu malu membuat sang anak menderita.
Aku menjatuhkan tubuh di kasur, sambil menatap hiasan dan dekorasi kamar yang kuatur sendiri. Kutata dengan sepenuh hati agar terlihat cantik dan estetik saat kami tidur bersama untuk pertama kalinya. Namun, sayang sekali, adegan malam pertama yang selalu menjadi dambaan setiap pasangan baru harus pupus begitu saja. Aku segera berdiri, berjalan tertatih karena kesulitan dengan gaun panjangku yang cukup berat. Dengan sekuat tenaga kutarik bunga-bunga yang menjadi hiasan kamarku dengan brutal. Aku melemparnya ke sembarang arah dan melampiaskan amarahku pada benda mati yang tak bisa melawanku.
Ibu dengan sigap menarikku untuk kembali duduk di kasur. "Jangan bersikap seperti ini, Gia. Meskipun kau berteriak, histeris, dan merusak semua properti, tak akan ada yang berubah. Jangan membuat semuanya bertambah kacau."
Perkataan Ibu membuatku terdiam. Aku seketika tertawa masam. Padahal, banyak gelombang yang harus kulewati agar hubungan kami direstui. Ayah tak pernah menyetujui hubunganku dengan Dani. Hanya Ibu yang menenangkan Ayah. Hubungan yang awalnya kuharap baik-baik saja, malah menjadi bumerang saat hari pernikahan itu tiba.
Keluarga besarku, terlebih Ayah akan menyalahkanku atas insiden ini. Semua orang hanya akan menertawakan keputusanku yang memaksa untuk dinikahkan dengan Dani. Kukira menikah dengan pria yang kusukai adalah jalan yang baik untukku, tetapi aku salah, justru pernikahan yang sangat singkat ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan jelas bekasnya tak akan bisa hilang.
Aku adalah seorang gadis yang dibuang di hari pernikahanku sendiri. Seorang gadis yang tiba-tiba menjanda tepat di hari yang kuharapkan menjadi hari terbahagia. Harapan yang telah lama kunanti, akhirnya pupus seketika.
Suara pintu yang dibuka secara paksa membuat perhatianku teralihkan. Aku menatap Ayah yang juga menatapku dengan tatapan murka. Ia mendekat dan menaikkan tangan, tetapi Ibu segera menghentikannya.
"Jangan seperti ini. Masih banyak orang di luar sana, Mas. Kau tidak mungkin memukuli anakmu sekarang."
Ibu menghentikan aksi Ayah yang akan memukuliku lagi. Inilah alasan kenapa aku ingin keluar dari rumah ini. Rumah dan isinya yang membuatku merasa muak. Aku jenuh, aku frustrasi, dan aku ingin mengakhiri segalanya.
"Apa kubilang, dia bukanlah pria yang tepat. Inikah yang kau inginkan? Menjanda di hari pernikahanmu sendiri. Aku sangat malu, Gia. Kau membuat malu keluarga ini. Pria yang kau puja malah memilih wanita lain yang sedang mengandung anaknya. Sudah kukatakan bukan, bahwa aku tidak suka dengan pria itu, tetapi kamu malah membela dan terus merengek agar bisa menikah dengannya."
Suara Ayah meninggi. Wajahnya sudah merah padam dan rahangnya mengeras. Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Duniaku pun ikut runtuh. Otakku tak bisa berpikir dengan rasional. Aku ingin menghilang saja dari dunia ini. Aku ingin menghilang agar tidak mendengar segala gunjingan yang akan keluar dari mulut para tamu undangan yang datang.
Tepat saat itu, muncullah gadis berhijab yang wajahnya seketika menenangkanku. Nina di sana, berdiri dengan raut wajah sendu. Aku tahu dia pasti syok dengan aksi Dani. Ia segera memelukku, tanpa sepatah kata pun. Bersahabat sejak duduk di bangku SD, membuatku dan Nina seperti saudara. Ayah dan ibuku juga sudah terbiasa dengan kehadiran gadis itu. Menjadi anak tunggal membuatku cukup kesepian, dan setelah Nina hadir, semuanya terasa berbeda.
Gadis itu mengeratkan pelukannya. Menguatkanku dengan segala kata-kata yang kutahu hanyalah sebuah penghiburan semata. Aku tahu Tuhan akan membalas perbuatan tersebut, tetapi kapan? Aku tahu bahwa sabarku akan membuahkan hasil, tetapi aku bukanlah manusia yang tak memiliki amarah. Dani sudah kelewatan, sehingga stok sabarku seketika menguap dan hilang entah ke mana.
Apa karena selama ini aku tetap diam dan patuh padanya sehingga ia merasa hubungan kami sangat flat? Ataukah ia sudah tak bisa menahan hasratnya? Aku mengingat beberapa hari yang lalu, seminggu sebelum pernikahan, ia meminta agar aku datang ke hotel, menginap bersama. Namun, aku menolak dan itu membuatnya geram. Katanya aku sok suci, padahal seminggu lagi kita akan menikah.
Aku tahu saat itu hasratnya sudah tinggi, dan aku jelas tak bisa meladeninya. Kami belum menikah, di mana tak ada kata halal di antara aku dan dirinya. Apa jangan-jangan karena selalu menolak untuk berdua saja, sehingga Dani memilih wanita lain? Wanita yang sudah jelas gampang dan murah. Wanita yang akan memberikan kepuasan sekaligus kenikmatan.
Buku lain oleh Claire Park
Selebihnya