Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Love Between Generations

Love Between Generations

Claire Park

5.0
Komentar
68
Penayangan
6
Bab

Menceritakan empat sekawan bergelar jomblo abadi, tiada henti mendambakan cinta sejati yang tak kunjung terpenuhi, padahal sudah lama menanti. Meisya, si gadis pecicilan yang menanti percikan cinta dari para senior, tetapi tak kunjung mendapat hilal. Ia memiliki paras yang lumayan cantik, tetapi sikapnya yang bar-bar membuat para lelaki menjauh sebelum memulai penjajahan cinta. Rara, gadis keturunan Jawa-Bugis, memiliki kulit hitam manis dan wajah yang mungil. Ia kerap didekati lelaki karena parasnya yang unik dan berbeda dari gadis Jakarta lainnya. Namun, tak jauh berbeda dengan Meisya. Otak Rara juga tidak genap. Dewi, adalah gadis yang sedikit normal di antara kedua gadis yang lainnya. Namun, sikapnya yang terlalu percaya diri membuatnya kerap mendeklarasikan laki-laki yang mendekat sebagai jodoh masa depan. Wawan si lelaki feminin yang lemah lembut, ingin membuat orang-orang di sekitarnya bahagia. Kepribadian yang melenceng membuat sahabatnya berusaha agar ia beralih ke jalan yang benar.

Bab 1 LBG 1

'Mencari pangeran berkeledai saja sulit, apalagi yang berkuda' ~Cungprit bosan jomblo.

Aku kembali pada rutinitasku, memasang jepit rambut mutiara-mutiara yang kubeli di online shop yang katanya diimpor langsung dari Korea. Entah ini asli atau palsu, tetapi kurasa ini barang KW, mana ada jepitan impor hanya belasan ribu? Ya, namanya juga budget pas-pasan, jiwa sosialita. Ingin bergaya, tetapi duit ala anak kuliahan. Mencari barang murah, tetapi ngetrend adalah jalan ninjaku.

"Wi, kemarin ketemu cowok kan, lo? Hayo ngaku aja, dah!" Rara bersungut terlihat antusias dengan fakta ini.

"Dih, kok tahu? Padahal, gue udah jalan di bioskop yang jauh dari jangkauan kalian?"

Aku membulatkan mata, sepertinya Dewi udah start duluan. "Idih, beneran, Wi?" Kutatap Rara yang juga memasang ekspresi yang sama denganku, "lo kalah start, Ra," lanjutku sambil tertawa hambar. Bukan hanya Rara, aku pun kalah dengan Dewi. Oke kami bertiga adalah gadis-gadis yang haus akan cinta. Rara dan aku belum pernah menjalin hubungan dengan seorang pria, dari orok hingga sekarang saat usia kami sudah beranjak dua puluh satu tahun. Bahkan aku kalah dengan sepupuku yang masih duduk di bangku SMP dan sudah memiliki empat mantan.

Berbeda dengan Dewi, ia pernah menjalin kisah asmara meski hanya bertahan selama seminggu. Entah apa yang salah dari kami, tetapi aku yakin, bahwa tampang bukanlah masalahnya. Kami bertiga tidak jelek-jelek amat, tinggi rata-rata khas orang Indonesia, Dewi 160 centimeter, Rara, 162 sentimeter, sedangkan aku hanya bertahan di angka 158 sentimeter. Ya, aku paling mungil di antara ketiganya. Mungil, tetapi gesit.

Oh iya, aku melupakan bintang utama di geng kami. Siapa lagi kalau bukan Wawan setiawan, si lelaki feminin yang lemah lembut. Gayanya yang kemayu dan suka melambai membuat kami sering terhibur akan sikap absurnya. Tenang, Wawan masih menyukai perempuan, tetapi ia sangat mengagumi laki-laki tampan. Entahlah, sampai sekarang ia juga masih jomblo. Akan tetapi, ia tak jomblo dari orok.

Wawan pernah berkencan dengan seseorang saat masih SD. Hebat sekali dia, di saat aku masih sibuk bermain petak umpet, gobak sodor, gasing dan kelereng, ia sudah tahu apa pacar-pacaran itu. Sepertinya hormon endorfinnya lebih cepat berkembang, ketimbang hormon lainnya. Saat kutanya mengapa ia putus, jawabannya sungguh membuatku ingin tertawa sambil guling-guling. Ia putus hanya karena Wawan tak membeli balon yang di incar sang kekasih. What the hell? Balon? Waw, keputusan yang kekanakan sekali. Ya, memang mereka masih anak-anak, jadi sah-sah saja, jika alasan putusnya juga tak masuk akal.

"Jangan lupakan perjanjian kita ya, Say," sahut Dewi terlihat bahagia, seakan ia sudah mendeklarasikan kemenangan.

"Heh, jangan seneng dulu, kalian masih berstatus sebagai gebetan, kan? Belum tentu bakal jadi pacar, ingat gue juga kemarin kayak gitu. Udah diajak jalan, udah ditraktir sana sini, eh dianya malah pergi ke gadis lain. Malah satu kampus kita lagi. Berengsek tuh cowok. Malah gampang banget lagi bilang maaf. Dia kira maafnya bisa menyembuhkan luka hati yang ia sayat ini." Aku ngedumel saat kembali mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu, saat aku mendekati laki-laki yang kukira setia, ternyata berniat menjadikanku yang kedua.

Kami memiliki taruhan, siapa yang paling cepat mendapat kekasih akan mendapat hadiah uang lima juta rupiah. Ya, bagi kami, uang itu sudah termasuk besar. Meski terlahir di keluarga yang memadai, tak ada dari kami yang memanfaatkan hal itu, aku dan yang lainnya, justru membuat usaha sendiri, dan usaha kami adalah kafe yang sedang kami jadikan tempat nongkrong sehabis pulang kuliah. Ya, kafe yang berada tepat di seberang jalan kampus kami. Tempat yang sangat strategis, bukan?

"Kalau inget itu, gue ngakak lagi dong, Sya. Lo tuh ngenes banget. Udah pake nangis bombay lagi." Wawan tertawa sambil melambaikan tangan, khas bencong banget.

"Idih, Gue nangis bukan karena si Dion, ya. Gue nangis karena kasihan sama diri gue sendiri yang dengan bodohnya mau aja diajak jalan-jalan. Mana bayarnya patungan lagi. Dion pelitnya setengah mati. Untung aja gue nggak jadi sama dia. Bisa tekor duit jajan gue."

"Akan tetapi, lo memang cinta kan sama dia? Ngaku aja deh, Sya." Rara mulai memprovokasi keadaan.

Aku terdiam sejenak dan bertanya pada diri sendiri. Apa dulu aku mencintainya? Apa dulu aku terlalu ngebet untuk mendapatkan pacar, sehingga tak menyortir lelaki yang dekat denganku. Terlalu lama menjomblo sepertinya membuat otak dan hatiku tak beroperasi dengan baik dan sempurna.

"Gue bukan suka, sih. Cuma mau tau aja gitu, pacaran tuh rasanya seperti apa? Kayak es krim cokelat, vanila, atau strawberry," jawabku polos dan asal.

"Bodoh banget sih lo, Sya. Cuma karena penasaran lo sampe menyia nyiakan waktu bareng sahabat dan memilih untuk jalan sama tu cowok brengsek. Pacaran tuh, nggak enak. Gue serius, sudahlah ngekang, nggak boleh ke sana, nggak boleh ke sini. Setiap keluar rumah harus laporan, kayak ajudan laporan ke kapten. Mana kalau dekat sama laki-laki lain, dia auto ngamok, langsung musuhan kayak anak TK." Dewi menceritakan pengalaman singkatnya selama berpacaran dulu.

"Noh, dengerin pengalaman dari orang yang pacarannya kayak usia jentik jentik nyamuk." Wawan membuatku tertawa. Jujur saja, di antara ketiga sahabatku, Wawan-lah yang selalu membuatku tertawa. Mulutnya lemes, suka nyablak, ceplas ceplos, dan dialah laki-laki satu-satunya yang mampu membuatku nyaman. Nyaman bukan berarti suka, ya? Big no! Aku menganggap Wawan seperti saudara sendiri.

"Apa sih, Wan. Daripada lo, putus karena si pacar nggak dibeliin balon. Nggak sekalian karena dianya kalah main kelereng, jadi si doi marah." Dewi tak mau kalah, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, karena tingkah mereka. Sungguh kisah dua orang ini, selalu menjadi bahan tertawaan yang sangat premium.

"Guys, tapi gue heran aja, sih. Di antara kita berempat ini, kok nggak ada gitu yang dapat pacar, ini udah semester lima lho, dan kita masih saja stay tune di gelar kejombloan ini. Apa ini semacam takdir dari yang maha kuasa?" Aku mendongak, menghayati ucapan sendiri.

"Kalian, sih. Pacar kok dijadiin taruhan."

"Eh ini nggak seperti yang lo pikirin ya, Wan. Kita bertiga cuma mau mendapat reward atas gelar jomblowati yang sudah lama melekat." Aku bersedekap sambil mengerutkan kening. "Lo juga mau kan, kalau dapet duit?"

"Ya, maulah."

"Kalau gitu jangan banyak bacot."

"Tapi kan, ini tuh kayak salah banget, Sya. Kalian tuh harus cari yang bener-bener klop, bukan hanya sekadar asal comot demi memenangi sebuah taruhan untuk menghapus gelar jomblo abadi ini.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Claire Park

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku