Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Random Wife
5.0
Komentar
3.4K
Penayangan
24
Bab

Fabian Gabrilio seorang bos yang terkenal pelit sudah bosan melajang, ia terus memaksa sang sekretaris untuk mencarikan istri untuknya kalau tidak dirinya akan menikahi perempuan itu.

Bab 1 Telat Kerja

-Kepelitan adalah sumber kekayaan yang hakiki untuk bos super duper perhitungan-

"Bang, gimana nih, motornya kok enggak hidup-hidup?" tanya Indira dengan raut wajah lesu, ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7.48. Dirinya takut terlambat dan mendapat omelan Fabian.

"Aduh, Mbak ... sepertinya ini butuh waktu lama. Mbak cari taksi atau pesan gojek lain aja," kata Abang gojek itu dengan ragu, takut Indira marah-marah.

"Ya udahlah," Indira langsung berjalan dengan raut wajah kesal, ia terus menggerutu.

Di dekat taman, Indira melepas hak tingginya, buru-buru ia ganti dengan sepatu kets yang dibawanya dalam tote bag yang ia jinjing. Perempuan ini memang suka membawa sepatu kesayangannya karena tidak nyaman menggunakan hak tinggi. Lalu, ia berlari--tidak peduli kalau ada yang memperhatikannya.

Suara lagu "Cinta Suci" mengalun dari ponsel jadulnya. Ia langsung berhenti untuk membuka tasnya yang ternyata ada panggilan dari bosnya. Belum sempat ia menjawab, sambungan telepon itu terputus. Dan, pesan singkat menyusul.

Bos Pelit 😣

Saya tadi WA kamu tapi kok √, saya telepon kok enggak diangkat. Kamu niat kerja enggak, sih?

Dihubungin kok sulit. Kakek saya yang dokter aja enggak sesibuk kamu. Ayah saya yang direktur utama aja selalu bisa saya hubungi.

Kalau kamu enggak niat kerja, resign aja, biar saya enggak perlu ngasih pesangon.

Indira memelototkan matanya, ia sangat kesal dengan Fabian yang tidak ada basa-basi, langsung mengatakan kalau dirinya lebih baik resign. Bukannya sok sibuk, tapi ponsel androidnya tertinggal di kontrakannya tadi. Dirinya hanya membawa ponsel biasa yang tidak ada aplikasi internet--hanya menelpon dan sms.

"Kok ada ya bos sebawel dan sepelit ini. Kirain mau kasih tahu hal penting cuma ngomel kenapa enggak bisa dihubungi," Indira berkacak pinggang.

"Ya saya mau nghubungin kamu, pastinya ada urusan penting," Fabian menatap Indira dingin.

Indira meneguk salivanya, begitu mendengar suara yang familier. Jantungnya berdegup dengan kencang seketika. Untungnya, ia tidak menyumpah serapahi Fabian kalau tidak habislah sudah riwayatnya.

Indira langsung memasang senyum, begitu membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok Fabian yang tengah memasukkan kedua tangannya dalam saku.

"Eh, Bapak," Indira mengulurkan tangan kanannya yang membuat Fabian mengernyit.

"Mau ngapain?"

"Salaman, Pak."

Fabian mengerti maksud Indira, tapi ia bingung kenapa Indira mau melakukan hal itu. Meski ragu Fabian tetap mengulurkan tangan kanannya.

Indira langsung menjabat tangan Fabian, "Mohon maaf ya, Pak. Maaf sering nyusahin."

"Emang kamu ngelakuin kesalahan apa lagi?"

"Lah menurut Bapak kan setiap hari saya nyusahin Bapak mulu. Padahal minggu saya enggak ketemu Bapak, tapi Bapak bilang saya nyusahin Bapak."

"Itu mah fakta. Ya udah lupain aja. Ayo berangkat, keburu macet jalannya," ajak Fabian seraya mengandeng Indira menuju mobilnya. Indira hanya mengikuti intruksi atasannya seraya memasang raut wajah berseri-seri, padahal dalan hati ia sibuk mengumpat.

Fabian langsung membuka pintu di samping setir yang membuat Indira terheran-heran. Bukan seperti film di televisi yang biasanya si pria membukakan pintu untuk wanitanya, ini tidak. Fabian membuka pintu untuk dirinya sendiri yang membuat Indira mematung. Pasalnya kalau Fabian di kursi sebelah kemudi, berarti dia yang harus menyetir.

"Pak, ini saya yang nyetir?" tanya Indira seraya mencondongkan kepalanya menghadap ke arah Fabian yang sudah duduk di kursi.

Fabian tersenyum, "Iya, makanya tadi saya wa sama nelpon kamu berulang-ulang buat nganterin saya ke kantor. Sopir saya kan cuti, jadi kamu yang harus nyetiran mobil saya ke kantor."

Indira meringis, "Bapak bisa aja, tapi gaji saya naik, kan?"

"Enak aja, kamu aja telat mulu. Masih untung enggak saya potong gaji."

"Dasar perhitungan, pelit," cibir Indira dengan suara lembut seraya menutup pintu yang masih didengar Fabian.

"Kalau saya enggak pelit, saya enggak kaya dong."

Tbc...

Uji coba dulu

-Kepelitan adalah sumber kekayaan yang hakiki untuk bos super duper perhitungan-

"Bang, gimana nih, motornya kok enggak hidup-hidup?" tanya Indira dengan raut wajah lesu, ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7.48. Dirinya takut terlambat dan mendapat omelan Fabian.

"Aduh, Mbak ... sepertinya ini butuh waktu lama. Mbak cari taksi atau pesan gojek lain aja," kata Abang gojek itu dengan ragu, takut Indira marah-marah.

"Ya udahlah," Indira langsung berjalan dengan raut wajah kesal, ia terus menggerutu.

Di dekat taman, Indira melepas hak tingginya, buru-buru ia ganti dengan sepatu kets yang dibawanya dalam tote bag yang ia jinjing. Perempuan ini memang suka membawa sepatu kesayangannya karena tidak nyaman menggunakan hak tinggi. Lalu, ia berlari--tidak peduli kalau ada yang memperhatikannya.

Suara lagu "Cinta Suci" mengalun dari ponsel jadulnya. Ia langsung berhenti untuk membuka tasnya yang ternyata ada panggilan dari bosnya. Belum sempat ia menjawab, sambungan telepon itu terputus. Dan, pesan singkat menyusul.

Bos Pelit 😣

Saya tadi WA kamu tapi kok √, saya telepon kok enggak diangkat. Kamu niat kerja enggak, sih?

Dihubungin kok sulit. Kakek saya yang dokter aja enggak sesibuk kamu. Ayah saya yang direktur utama aja selalu bisa saya hubungi.

Kalau kamu enggak niat kerja, resign aja, biar saya enggak perlu ngasih pesangon.

Indira memelototkan matanya, ia sangat kesal dengan Fabian yang tidak ada basa-basi, langsung mengatakan kalau dirinya lebih baik resign. Bukannya sok sibuk, tapi ponsel androidnya tertinggal di kontrakannya tadi. Dirinya hanya membawa ponsel biasa yang tidak ada aplikasi internet--hanya menelpon dan sms.

"Kok ada ya bos sebawel dan sepelit ini. Kirain mau kasih tahu hal penting cuma ngomel kenapa enggak bisa dihubungi," Indira berkacak pinggang.

"Ya saya mau nghubungin kamu, pastinya ada urusan penting," Fabian menatap Indira dingin.

Indira meneguk salivanya, begitu mendengar suara yang familier. Jantungnya berdegup dengan kencang seketika. Untungnya, ia tidak menyumpah serapahi Fabian kalau tidak habislah sudah riwayatnya.

Indira langsung memasang senyum, begitu membalikkan tubuhnya dan mendapati sosok Fabian yang tengah memasukkan kedua tangannya dalam saku.

"Eh, Bapak," Indira mengulurkan tangan kanannya yang membuat Fabian mengernyit.

"Mau ngapain?"

"Salaman, Pak."

Fabian mengerti maksud Indira, tapi ia bingung kenapa Indira mau melakukan hal itu. Meski ragu Fabian tetap mengulurkan tangan kanannya.

Indira langsung menjabat tangan Fabian, "Mohon maaf ya, Pak. Maaf sering nyusahin."

"Emang kamu ngelakuin kesalahan apa lagi?"

"Lah menurut Bapak kan setiap hari saya nyusahin Bapak mulu. Padahal minggu saya enggak ketemu Bapak, tapi Bapak bilang saya nyusahin Bapak."

"Itu mah fakta. Ya udah lupain aja. Ayo berangkat, keburu macet jalannya," ajak Fabian seraya mengandeng Indira menuju mobilnya. Indira hanya mengikuti intruksi atasannya seraya memasang raut wajah berseri-seri, padahal dalan hati ia sibuk mengumpat.

Fabian langsung membuka pintu di samping setir yang membuat Indira terheran-heran. Bukan seperti film di televisi yang biasanya si pria membukakan pintu untuk wanitanya, ini tidak. Fabian membuka pintu untuk dirinya sendiri yang membuat Indira mematung. Pasalnya kalau Fabian di kursi sebelah kemudi, berarti dia yang harus menyetir.

"Pak, ini saya yang nyetir?" tanya Indira seraya mencondongkan kepalanya menghadap ke arah Fabian yang sudah duduk di kursi.

Fabian tersenyum, "Iya, makanya tadi saya wa sama nelpon kamu berulang-ulang buat nganterin saya ke kantor. Sopir saya kan cuti, jadi kamu yang harus nyetiran mobil saya ke kantor."

Indira meringis, "Bapak bisa aja, tapi gaji saya naik, kan?"

"Enak aja, kamu aja telat mulu. Masih untung enggak saya potong gaji."

"Dasar perhitungan, pelit," cibir Indira dengan suara lembut seraya menutup pintu yang masih didengar Fabian.

"Kalau saya enggak pelit, saya enggak kaya dong."

Tbc...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Lanavay

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku