Fransisca atau yang akrab dipanggil Caca ini kebingungan mencari calon suami setelah dirinya telah mengemborkan rencana pernikahannya dengan seorang pembisnis berdarah barat namun ternyata malah kandas. Suatu ketika di sebuah pesta para rekan Caca mendesaknya untuk menunjukkan calon suaminya membuat gadis itu kebingungan. Malu jika dirinya mengatakan hal yang sejujurnya. Ide gila terbesit di otaknya. Secara acak wanita itu menunjuk seorang pemuda dan mengatakan itu calon suaminya.
Jalanan kota terlihat begitu macet dipadati berbagai jenis kendaraan. Mulai dari yang harga dibawah rata-rata hingga mampu meratakan dompet sampai tak berbekas telah berjajar rapi. Gedung-gedung yang menjulang menantang langit tak pernah lelah untuk bekerja. Manik mata wanita berbalut setelan kerja yang elegan tampak panik menatap jamnya karena waktu terus bergulir, sementara dirinya harus sudah sampai di pagelaran busana.
Rasa penantian menunggu celah jalan untuk sampai ke tempat tujuan, akhirnya telah berada diambang batas. Gadis bermata hazel yang tajam itu memutuskan meninggalkan taksi yang ia tumpangi. Pandangannya merajalela ke mana-mana mencari suatu kendaraan yang bisa membawanya pergi secepat mungkin. Namun, hasilnya tetap nihil. Ditekannya keyword ponselnya untuk menulis pesan kepada asistennya bahwa dirinya tak bisa datang.
Kaki jenjang itu memutuskan berjalan ke arah sebuah restoran khas Italia yang lumayan jauh dari tempat ia berdiri. Di bawah terik sang raja siang gadis itu melangkah sambil mengibas-ibaskan kipas lipat yang selalu dibawa ke mana-mana. Tak lupa kacamata hitam ia kenakan sebagai milineris.
Meski menggunakan hak tinggi perempuan itu tetap bisa berjalan dengan cepat. Namun, tetap anggun. Dibukanya pintu restoran sambil menyelipkan anak rambutnya yang menjuntai terbawa angin. Setiap pandangan mata tertuju padanya. Tidak hanya pria, tetapi juga para wanita. Jika pria memandang gadis itu dengan tatapan memuja sementara para wanita akan iri dengan kecantikannya. Wajah tirus dengan mata sipit dan hidung mancung serta bibir alami merah menggoda membuat siapa pun langsung terkesima, kecuali seorang pria yang sedang asyik menikmati pizza-nya.
Gadis bermata hazel itu kebingungan tatkala melihat kursi-kursi telah penuh. Akhirnya, netranya menangkap sebuah meja yang masih menyisakan bangku kosong. Ia langkahkan kakinya ke tempat itu dengan senyum mengembang.
"Permisi," ujarnya halus pada pria yang menempati salah satu kursi di meja itu.
"Ya."
"Maaf, bolehkah saya duduk di sini? Meja lain bangkunya sudah terisi semua," pintanya dengan diakhiri senyuman manis.
Pria itu hanya mengangguk. Setelah diperkenankan duduk gadis bermata hazel itu langsung memesan chicken parmigiana. Sementara untuk minuman dirinya memesan segelas jus jeruk.
"Ngomong-ngomong perkenalkan nama saya Fransisca." Gadis bermata hazel itu mengulurkan tangannya, tetapi pria di depannya tak ujung menjabat tangannya. Fransisca dengan senyum dipaksakan menarik tangannya perlahan. Dirinya kesal sebelumnya tak ada pria yang sanggup menolak pesonanya, tetapi hari ini kehormatannya merasa direndahkan.
"Aku sudah tahu." Akhirnya, lelaki itu membuka suaranya yang masih sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Pasti Anda pernah melihat saya di televisi atau majalah," ujar Fransisca dengan nada yang rendah dan sopan meski batinnya kesal.
"Apakah kau seterkenal itu?" Terdengar jelas nada mengejek di sana. Benar-benar kesabaran Fransisca sedang diuji. Untungnya itu tempat umum dan berkelas sehingga tak mungkin gadis berhazel itu meluapkan amarahnya di sana.
"Lalu, Anda tahu dari mana?" tanya Fransisca dengan nada seramah mungkin dan tatapan lembut.
"Aku mengenalmu, makanya tahu," jelasnya dengan nada sinis.
Fransisca mengernyitkan dahinya. Mencoba mengingat-ingat siapa lelaki tampan nan menyebalkan di depannya. Namun, hasilnya nihil.
"Benarkah? Anda siapa, ya?" Ditatapnya lelaki itu lekat.
"Sepuluh tahun tak berjumpa ternyata penyakit pikunmu sudah bertambah parah. Dasar, Permen!" Suara lelaki ini begitu terdengar tak bersahabat.
Fransisca mengingat betul hanya satu makhluk yang memanggilnya dengan sebutan 'Permen' karena nama panggilannya adalah Caca, tetapi pria itu memplesetkan menjadi Permen Chacha. Dialah Arvano, salah satu pemuda idaman di sekolahnya sewaktu SMA.
"Oh, kau Vano." Tunjuk Caca kepada pemuda di depannya. Pria itu hanya tersenyum masam.
"Aku tak menyangka bisa bertemu lagi dengan pangeran sekolah yang paling menyebalkan. Kau bekerja di mana, Van?" tanya Fransisca sambil mengamati apa saja yang dikenakan pria itu. Ditatapnya jam rolex yang melingkar di pergelangan Vano yang harganya pasti sangat mahal. Dapat disimpulkan lelaki di hadapannya memiliki penghasilan yang luar biasa.
"Kenapa aku harus memberi tahumu? Emang itu penting?"
"Emh, tidak. Kau terlihat sangat mapan sekarang. Pastinya kau bukan pegawai biasa, tetapi aku tidak melihat cincin pernikahan di jemarimu. Bukankah akan mudah mendapatkan istri jika kau tampan dan mapan?" ujar Fransisca tanpa basa-basi. Dirinya memang suka berbicara pada intinya.
"Itu bukan urusanmu. Seperti kau sudah menikah saja." Vano menatap Fransisca dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ya, aku memang belum menikah karena aku tak percaya cinta. Kalau kau kan beda."
Vano terkekeh.
"Wanita sepertimu memang tidak akan pernah menikah. Kau hanya suka harta dan takhta. Mana mungkin kau mau mengurus suami dan anak-anak,"
ujar Vano dengan tatapan mencemooh.
Fransisca menggeleng sambil mengiris dagingnya, lalu melumurinya dengan saus.
"Tidak-tidak. Itu tak benar. Tentu saja aku ingin menikah meski ada atau tanpa cinta. Ya, kau benar aku sangat menyukai uang makanya aku ingin menikah dengan lelaki tampan dan mapan tapi setiap pria yang kukenal yang telah memenuhi kriteriaku itu brengsek."
Fransisca memang tak pernah sungkan untuk mengatakan keburukannya yang sangat mencintai takhta dan harta. Dirinya memang besar di lingkungan para konglomerat yang saling jatuh-menjatuhkan hanya untuk setiap posisi. Siapa yang kuat dia yang bertahan, itulah yang menjadi acuan hidupnya.
"Jelas saja kau mencari calon suami di diskotik. Mana ada yang tak berengsek."
"Jangan sok tahu, Van. Aku mencari calon suami ya di tempat-tempat orang kaya raya berada. Seperti ladang bisnis."
"Mungkin kau harus merubah penampilanmu itu kalau kau seperti itu hanya pria mata keranjang yang tertarik dengan wanita yang memakai pakaian kekecilan," ejek Vano tanpa melihat wajah Fransisca yang telah ia pastikan sangat kesal.
"Terserahlah, memang bentuk tubuhku yang bagus bukan kekecilan. Kadang aku senang ada yang memuji bentuk tubuhku yang indah dan kadang aku juga sebal dengan orang-orang sepertimu yang merendahkanku. Apa aku harus pakai pakaian mumi saja baru orang-orang bisa diam tak menghujatku lagi?" tanya Fransisca sebal.
Notes:
Hazel: Mata cokelat khas Asia
Milineris: Pelengkap Busana
Tbc ...
Bab 1 1. The Beginning
14/01/2024
Bab 2 2. Unpredictable
14/01/2024
Bab 3 The Fact
14/01/2024
Bab 4 Annoying
14/01/2024
Bab 5 If I am Falling In Love
14/01/2024
Bab 6 When I Saw You with Him
14/01/2024
Bab 7 Love is Sick
14/01/2024
Bab 8 About Us
14/01/2024
Bab 9 You See
14/01/2024
Bab 10 I know
14/01/2024
Bab 11 Why
23/01/2024
Bab 12 Unpredictable Answer
23/01/2024
Bab 13 Founder
23/01/2024
Bab 14 Do You Agree
23/01/2024
Bab 15 Believe Me
23/01/2024
Bab 16 Planning
23/01/2024
Bab 17 Meet You Again
23/01/2024
Bab 18 Wedding Card
23/01/2024
Bab 19 I am not crazy
23/01/2024
Bab 20 Planning for Love
23/01/2024
Bab 21 Unpredictable
28/01/2024
Buku lain oleh Lanavay
Selebihnya