Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Sebuah undangan berwarna silver membuat hati Kiren begitu sakit. Bulir-bulir air matanya terjatuh di pipinya meninggalkan rasa sesak di dalam hatinya. Matanya menatap nanar saat tertulis nama Tian dan Vina terukir indah di sana.
"Apa kamu mau datang, Ren?" tanya Aurel sambil memberikan tisu untuk Kiren.
Kiren menoleh ke arah Aurel. Ia memaksakan bibirnya untuk tersenyum.
"Jangan memaksa untuk tersenyum kalau hatinya sedang tak baik-baik saja Ren," ucap Aurel yang mengerti perasaan Kiren yang sedang patah hati.
"Aku tersenyum agar kamu ga terlalu khawatir Rel. Aku baik-baik saja dan ga akan ada masalah apapun," ujar Kiren mencoba terlihat tegar di depan sahabat baiknya.
Aurel menatap Kiren. Mencari sebuah kejujuran di manik-manik yang memerah. Jika ada orang lain melihat wajah Kiren pasti mengetahui kalau gadis cantik tersebut baru saja menangis. Terlihat jelas dari wajahnya yang sembab.
"Sebaiknya kamu ga usah datang, Ren," ucap Rio yang masuk ke ruang kerja Kiren bersama dengan Fabian.
Kiren melihat Aurel, Rio, dan Fabian secara bergantian. Ia tak percaya teman sekaligus rekan kerjanya datang ke ruangannya.
"Kalian kenapa semua berkumpul di sini? Udah sana kembali ke ruangan kalian masing-masing." Kiren mengusir mereka.
"Kami khawatir keadaanmu, Ren. Apalagi datang undangan itu." Fabian melirik sampul berwarna silver yang dipegang Kiren.
Kiren menggigit bibirnya. Ia sudah tak dapat lagi menyembunyikan rasa sakit dan air matanya yang sebentar lagi akan keluar dari netranya. Tanpa sempat ia meluapkan rasa sakitnya, Aurel langsung memeluk Kiren dengan erat. Sangat erat sampai membuat tubuhnya tersentak ke belakang.
"Menangislah Ren. Jangan kamu tahan lagi," ucap Aurel sambil membelai punggung Kiren.
Akhirnya, Kiren tak lagi mampu membendung air matanya. Ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan sahabat baiknya. Fabian dan Rio hanya menatap mereka dengan raut wajah sedih. Mereka tahu rasa sakit yang dirasakan Kiren. Kehilangan pria yang begitu dicintainya membuat hati gadis yang putih pucat itu sangat menderita.
***
Langkah kaki Kiren terasa begitu rapuh. Ia seakan tak memiliki tenaga untuk menghadapi apa yang terjadi dalam hidupnya. Baru enam bulan yang lalu Tian mengakhiri pertunangan mereka dan sekarang ia dihadapi dengan surat undangan yang membuat hatinya porak poranda. Ia memilih untuk pulang ke apartemennya meninggal tatapan teman-temannya yang melihatnya iba.
Memang ia tak suka dengan tatapan mereka, tapi mau bagaimana lagi kisah asmaranya yang membuat mereka menatapnya iba. Seandainya dulu pertunangannya dengan Tian tak berakhir tentu namanya lah yang terukir di sana. Walau perih inilah kenyataan yang harus dihadapinya.
Begitu tiba di apartemennya, ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Sudah tak terhitung berapa liter air matanya keluar dari indra penglihatannya. Tanpa terasa ia tertidur dalam kesedihan yang tak terkira. Saat ia tertidur sebuah lengan memeluknya dengan erat.
Kiren tersenyum. "Kapan kamu datang?" tanyanya dengan suara parau.
"Badanmu panas dan wajahmu merah," ucap Fabian.
"Ah, mungkin karena badanku yang agak demam jadinya wajahku merah."
"Jangan membuat alasan yang ga masuk akal Ren."
"Bi... hatiku sakit."