Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Jangan Main-Main Dengan Dia
Dikejar Oleh Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
POV SAM
Aku masih ingat benar, setahun setelah Ibuku meninggal, Papa menikah lagi dengan seorang janda muda beranak dua. Jadi keadaannya seimbang, karena saat itu Papa pun punya anak dua, aku dan adiku, Fardan. Gilanya lagi, Papa membawa dua anak cowok, sementara Ibu tiriku membawa dua anak cewek.
Waktu Papa menikah itu, usianya baru 43 tahun. Sementara ibu tiriku berusia 32 tahun. Tapi anehnya, saudara-saudara tiriku itu usianya lebih tua dariku. Pada saat Papa menikah lagi, usiaku baru 10 tahun, sedangkan Fardan baru berusia 9 tahun.
Tapi saudara-saudara tiriku lebih tua, dua dan tiga tahun dariku. Mbak Ayu berusia 12 tahun dan Mbak Ita berusia 11 tahun. Karena itu aku dan Fardan memanggil mereka Mbak.
Belakangan aku tahu bahwa Papa menikah dengan almarhumah ibuku waktu usianya sudah 32 tahun. Kemudian aku lahir pada saat usia Papa sudah 33 tahun. Setahun kemudian Fardan pun lahir.
Sedangkan ibu tiriku yang biasa kusebut Mama itu menikah waktu usianya baru 19 tahun. Lalu waktu Mama berusia 20 tahun lahirlah Mbak Ayu. Setahun kemudian lahir pula Mbak Ita.
Suasana di rumah kami jadi hangat setelah aku punya ibu tiri yang ternyata sangat baik. Beliau memperlakukan aku dan Fardan seperti anak kandungnya sendiri. Begitu pun Papa, memperlakukan Mbak Ayu dan Mbak Ita seperti anak kandungnya sendiri.
Sehingga orang yang belum tahu seluk beluk keluarga kami, pastilah menganggap aku dan Fardan itu anak kandung Mama. Mereka juga pasti mengira Mbak Ayu dan Mbak Ita itu anak kandung Papa.
Mungkin di antara Papa dengan Mama dahulu sudah sepakat, bahwa mereka akan saling menitipkan anak-anak yang akan diperlakukan secara adil dan penuh kasih sayang.
Hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun berganti tahun berjalan terus dengan cepatnya. Kami semua hidup dalam suasana damai. Tak pernah ada keributan yang berarti, karena aku, Fardan dan kedua kakak tiri ku suka saling mengalah.
Tanpa terasa waktu berlalu, kami berempat sudah jadi mahasiswa-mahasiswi. Mbak Ayu sudah semester akhir, tinggal menunggu skripsi. Mbak Ita sudah semester lima, Fardan baru semester pertama, sementara aku sudah semester tiga.
Rumah kami pun sudah diperbesar. Kamarnya jadi ada 4. Anak-anak Papa dan Mama mendapat kamar masing-masing.
Sementara itu, Papa membangun pavilyun yang terpisah dari rumah utama. Di pavilyun itulah tempat Papa dan Mama.
Mungkin Papa dan Mama sengaja ingin menempati pavilyun itu agar tidak terasa berisik oleh suara kami berempat, yang terkadang memang mengeluarkan suara keras. Selain daripada itu, mungkin juga Papa ingin melatih kemandirian kami berempat dengan memberikan kebebasan menempati rumah utama.
Di rumah utama, kamar paling depan dipakai oleh Fardan, agar rumah kami ada perisai di setiap bagian krusial. Jadi Fardan ditempatkan di kamar paling depan, hitung-hitung ada penjaga keamanan di rumah kami. Di samping kamar Fardan adalah kamar Mbak Ita.
Aku dan Mbak Ayu ditempatkan di lantai dua. Kamarku yang paling depan, sementara kamar Mbak Ayu di bagian dalam, terhalang oleh ruang belajar. Di ruang belajar itu aku dan Mbak Ayu sering belajar bareng. Tapi tentu saja kami menekuni jenis ilmu yang berbeda, karena kami berlainan fakultas.
Yang menyenangkan belajar dengan Mbak Ayu itu, adalah seringnya dia membuatkan minuman dan makanan ringan untukku. Minumannya terkadang teh manis atau kopi susu, terkadang black coffee saja. Makanan ringannya, terkadang bawan, pisang goreng atau french fries.
Setelah selesai belajar, kami suka ngobrol ke barat ke timur. Bahkan sering juga Mbak Ayu nonton bokep koleksiku yang selalu tersimpan di flashdisk, lalu diputar di laptopnya. Namun aku hanya berani menyimpan 1-2 film bokep di flasdisk itu, lalu didelete kalau sudah bosan menontonnya.
Tapi yang satu itu tentunya secara rahasia. Bahkan sering Mbak Ayu meminjam flashdisk berisi bokep itu, untuk ditonton di dalam kamarnya. Dengan suara yang didengarnya lewat earphone.
Bukan cuma menontonnya, Mbak Ayu juga sering mengajak aku berdiskusi tentang segala yang pernah ditontonnya itu.
Bahkan pada suatu malam, setelah menonton bokep di ruang belajar, Mbak Ayu berkata,
“Kata teman yang udah pengalaman sih dioral sama cowok itu nikmat sekali.“
Aku tersenyum dan menyahut,”Iya Mbak. Terutama kalau yang oralnya fokus ke cltoris. Kan cltoris itu paling peka di tubuh cewek.“
“Wow… kamu udah banyak tahu ya. Emangnya udah punya pengalaman sama cewek?” tanya Mbak Ayu sambil menepuk bahu ku.
“Pengalaman sih belum ada Mbak. Cuma sering dengar ceritanya saja dari teman yang udah punya pengalaman. Juga sering baca buku pengetahuannya. Mbak sendiri udah punya pengalaman?”
“Hiiiih Pengalaman dari mana? Pacaran aja baru satu kali waktu masih di SMA dahulu. Sampai sekqarang belum pacaran lagi.”
“Terus… sama pacarnya diapain aja?”
“Ciuman bibir aja belum pernah. Paling cuma cipika-cipiki.”
Aku mengangguk-angguk dan percaya pada pengakuan kakak tiri ku itu.