Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
After Marriage
5.0
Komentar
137
Penayangan
13
Bab

Denisa kira bisa menikah dengan orang yang ia kagumi sejak SMA adalah sebuah keberuntungan baginya. Ternyata kehidupan pernikahan yang ia impikan tak seindah kisah dongeng. Bayang-bayang masa lalu terus menghantui rumah tangga mereka. Akankah Denisa mampu menjaganya atau malah menyerah begitu saja?

Bab 1 TAK TERDUGA

Aku tidak tahu apa salah hingga masih belum mendapat jodoh di usiaku yang lebih dari seperempat abad. Randi bukanlah cowok pertama yang mengisi hatiku. Ada Beni saat SMA, Ramon saat awal kuliah dan terakhir Randi. Mereka semua memutuskan sepihak hubungan kami tanpa alasan yang jelas.

"Kamu sih, Sa! Cowok mana yang tahan pacaran lama tapi nggak dapet apa-apa," cecar Dina, sahabatku sejak SMA.

Aku mengalihkan pandangan dari novel ke wajah cuek Dina. Masih mencoba mencerna kata-katanya, akhirnya aku bertanya, "Maksud kamu?"

"Masa nggak ngerti, sih! Kamu inget-inget, deh. Beni, Ramon, dan Randi punya alasan yang sama waktu mereka mutusin kamu. Nggak cocok! Padahal karena kamu menghindari kontak fisik dalam bentuk apa pun. Boro-boro cium, gandengan tangan aja kamu nolak." Aku tercengang mendengar kata-kata Dina yang tak masuk akal. Meski dalam hati, aku mengiyakan asumsinya itu.

"Apa pacaran itu harus begitu? Pacaran buatku tujuannya cuma satu, menikah. Toh nanti saat sudah sah, mau ngapain aja bebas, 'kan?"

"Hadeeeh ... susah deh, kalau ngomong sama cewek satu ini! Jones!" Dina menoyor kepalaku yang mendapat sambutan bogem mentah.

Kami asyik berbalas pukulan bantal di kasur rumahku sambil tertawa. Begitulah Dina, sahabat yang selalu bisa mengembalikan keceriaanku. Setiap kali putus, Dina tak pernah membiarkanku larut dalam kesedihan. Motto hidupnya adalah 'Always be happy'. Aneh, menurutku.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar kamar. Pemuda berusia sekitar dua puluhan akhir melonggokkan kepalanya setelah mendapat izin.

"Dek, disuruh turun sama Ibu! Makan dulu, biar kuat ntar buat nangis lagi," ejek Raihan disertai tawa yang mempertontonkan sederet gigi putih dan rapi. Dua lesung pipi manis menghiasi wajahnya yang bulat.

"Apaan sih, Kakak! Demen banget lihat adeknya nangis," rajukku sambil melempar sebuah bantal ke arah pintu. Secepat kilat Raihan menutup pintu, menghindar dari amukanku.

"Kalian lucu, ya!" kata Dina yang sedari tadi memperhatikan keakraban kami.

"Apanya yang lucu? Kesel, iya! Udah jarang pulang ke rumah eh sekalinya pulang demen banget bikin onar."

Aku tak menangkap perubahan sikap Dina tadi, sebelum dia bertanya, "Kakakmu udah ada calon belum, Sa?"

"Kamu naksir, ya?" tanyaku penuh selidik.

Seketika wajahnya memerah. Aku merasa ada yang aneh di hatiku saat melihat anggukan kepala Dina.

"Kamu mau nggak comblangin aku sama Kak Raihan?"

"Aku ...." Jawabanku menggantung, terputus oleh teriakan Ibu dari ruang makan. Kami bergegas keluar menuju sumber suara sebelum teriakannya semakin kencang.

***

"Menurut Kakak, Dina cantik nggak?" tanyaku ragu.

Kami sedang duduk di teras belakang rumah, memandangi puluhan ikan Koi peninggalan Ayah. Semasa hidupnya, beliau sangat menyukai ikan-ikan cantik itu. Setelah kepergiannya setengah tahun yang lalu, Kak Raihan dan Ibu yang rajin mengurusnya.

"Cantik," kata Raihan kemudian memandang ke arahku, "tapi Kakak sudah punya calon istri. Jadi, jangan coba-coba comblangin Kakak ke Dina. Oke!"

"Siapa? Kok aku nggak tahu?"

"Kamu kan emang nggak pernah perhatian sama kakakmu ini. Salah sendiri deh kalau kamu sekarang bakal nggak bisa tidur saking penasarannya."

Raihan pergi dengan rahasianya. Aku hanya mendengus kesal melihat tingkah pria aneh di rumah ini.

***

Pagi ini aku hanya mengaduk-aduk sarapan, rasanya malas berangkat kerja. Di sana pasti ada Dina yang sudah harap-harap cemas menanti hasil comblanganku semalam. Rasanya tak tega kalau harus mengatakan Kak Raihan sudah ada yang punya.

Handphone yang sejak semalam aku ganti ke mode silent, terus berkedip menandakan adanya telepon atau pesan yang masuk. Tanpa membukanya aku tahu siapa si penelepon. Dina! Karena tak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku meninggalkan benda pintar yang terus berkedip itu di meja makan.

Aku kembali ke kamar, mencoba menenggelamkan diri dalam bius novel cinta untuk melupakan penat yang entah sejak kapan mulai hadir. Rasanya berbeda dari rasa sakit saat diputuskan oleh para mantan. Karena apa? Aku tak tahu!

***

"Sa ... Nissa ... bangun, Nak!"

Terasa tepukan lembut pada punggungku. Aku mengejapkan mata, berusaha terbangun. Kulihat Ibu tampak cantik dengan balutan gamis hijau dan kerudung yang senada.

"Wah ... Ibu cantik sekali! Ada acara apa memangnya? Kok, Nissa nggak inget, ya?"

"Cepat kamu mandi dan berpakaian rapi. Ibu tunggu di ruang tamu, ya!" perintah Ibu tanpa menjawab pertanyaanku.

Walau masih diliputi kebingungan, tapi aku tetap bersiap. Setelah kurasa cukup cantik, aku melenggang ke ruang tamu. Penasaran dengan acara yang tidak kuingat sebelumnya.

Di ruang tamu, duduk seorang pria paruh baya yang kuperkirakan lebih tua dari Ibu. Ada Kak Raihan dengan setelan kemeja biru. Tampak keren. Membuatku sedikit terpana saat ia tiba-tiba menoleh sambil tersenyum.

"Setelah menimbang dengan masak, saya memberanikan diri untuk datang melamar," jelas pria tadi.

Degh!

Jadi, pria itu berniat melamar Ibu? Aku belum siap. Kenapa Ibu tidak bertanya dulu padaku? Ah, aku tak tahu harus merespons bagaimana. Aku menunduk untuk menutupi perasaan yang sudah bercampur-aduk.

"Saya berniat untuk melamar Nak Nissa untuk Raihan, keponakan saya," lanjut pria yang baru kuketahui bernama Pak Bambang.

Aku mendongak, terkejut. What?! Aku menatap Ibu dan Kak Raihan bergantian, meminta penjelasan.

"Kamu dan Raihan memang tumbuh bersama. Kamu juga tahu kan kalau kalian bukan saudara kandung. Raihan adalah salah satu anak asuh di panti yang ayahmu bina. Beliau sudah meminta Raihan untuk menjagamu di saat ia sudah tak ada," jelas Ibu menatapku penuh kasih.

Aku tahu itu, sangat tahu. Maka dari itu, sebenarnya rasa sayangku padanya bukanlah sebagai adik. Berharap ia pun merasakan hal yang sama, tapi aku tak menyangka malah mendapatkan yang lebih besar dari itu.

"Tapi, Dina ...," ucapku ragu.

"Aku sudah memberitahu semuanya pada Dina," jawab Raihan memotong.

"Kapan?"

"Tadi pagi. Waktu kamu ke kamar tapi handphone tertinggal di ruang makan. Ada telepon dari Dina, jadi kujawab saja."

Pantas, tak ada lagi telepon yang masuk dari Dina. Kupikir, dia sudah capek tapi ternyata ....

"Lalu, apa jawaban Nak Nissa?" tanya Pak Bambang membuyarkan lamunanku.

Kalau boleh, aku ingin meminta waktu untuk berpikir. Namun, melihat antusiasme orang-orang di hadapanku ini rasanya hal itu tak mungkin bisa. Toh, aku memang menyukai Kak Raihan sejak lama. Apa lagi yang harus kupertimbangkan? Ibarat kata, aku mendapat hasil tampa perlu susah payah berusaha.

Aku yang bingung akhirnya hanya mengangguk tanda setuju. Semua mengucap syukur dan tersenyum puas.

Aku hanya termangu menatap wajah bahagia semua orang. Entah apa yang sedang terjadi saat ini. Aku sendiri masih belum bisa mencerna dengan baik. Otakku memang sejak awal selalu telat berpikir.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku