Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kecewa, terluka, patah, semua melebur menjadi satu.
Aku melihat sendiri siluet tubuh itu. Aku tidak mungkin salah mendengar juga bagaimana ia menceritakan niatnya untuk menikah lagi kepada wanita yang ada di depannya. Aku berusaha meredam isak tangisku, aku tidak ingin kepergok mengikutinya, namun aku menajamkan pendengaran.
Batinku semakin hancur di saat mendengar percakapannya mereka.
"Apa istri kamu setuju, Pak?" kata wanita itu.
"Setuju gak setuju, dia tetap harus setuju," ucap Bagas suamiku seraya menggenggam erat tangan kekasihnya. Aku duduk tepat dibelakang kursi yang mereka duduki. Aku mendengar dengan jelas perkataan mereka, mungkin juga jika wanita itu mengenalku atau jika aku tidak menggunakan pakaian tertutup, aku akan ketahuan mereka. Beberapa kali aku mengelap tangan dengan tisu yang ku bawa, sampai tisu itu terguling dan berakhir menumpuk di tasku, karena aku beberapa kali menggantinya karena tanganku terus berkeringat. Gugup, gelisah, takut jika Bagas mengetahui keberadaanku di sini.
Aku telah lancang mengikuti Bagas yang keluar rumah dengan baju rapi. Aku curiga dengan kepergian Bagas karena ini bukan kali pertama Bagas pergi di siang hari setelah zhuhur di hari weekend, tanpa sepengetahuannya aku mengikuti Bagas.
"Ta-tapi .…" Bagas meletakan jari telunjuknya di bibir wanita itu. Hal yang membuatku semakin muak, aku memalingkan muka, dan membetulkan kacamata hitam yang kukenakan.
"Aku cinta sama kamu, Sa. Aku gak mau kehilangan kamu, aku cuma mau menikah denganmu dan hidup bahagia denganmu." Aku berusaha menguatkan diri agar tidak melabrak mereka, terlalu memalukan rasanya jika aku bertengkar di depan umum hanya karena melabrak pelakor, masih untung kalo suamiku memilihku, mungkin aku tidak akan terlalu malu, tetapi jika suamiku memilih pelakor itu? Entah apa yang akan terjadi dengan perasaan ku.
"Tanpa memikirkan hati yang lain?" Bagas terdiam mendengar penuturan kekasihnya. Aku tersenyum kecut mendengar wanita itu berbicara seperti itu.
Aku yakin wanita itu justru dalam hatinya sedang bahagia mendengar Bagas akan menikahinya, hanya saja wanita itu pura-pura bertanya seperti itu agar wanita terlihat simpati padaku di mata Bagas.
Bagas mempererat genggaman tangannya pada wanita itu, dan aku yakin matanya menatap dalam Charissa-kekasih sekaligus sekretaris baru Bagas.
"Kamu mau 'kan, aku mohon. Aku gak bisa hidup tanpa kamu, jangan pikirkan yang lain, yang penting itu kita, aku dan kamu," rayu Bagas.
'Lantas Kenapa ia bisa hidup bahkan sampai titik ini jika dia tidak bisa hidup tanpa wanita itu. Lalu apakah aku tidak penting lagi bagi Bagas. Dasar laki-laki buaya,' sanandikku dalam hati.
Wanita itu berpikir lama, sebelum kemudian ia mengatakan. "Iya, aku mau."
Dasar pelakor, sudah tahu Bagas sudah punya istri, masih saja di embat. Benarkan apa yang ku katakan tadi, keraguan wanita itu hanya kepura-puraan, karena pada nyatanya ia menerima juga.
Tidak ingin berlama-lama menjadi kambing conge diantara dua sejoli yang sedang di mabuk cinta itu. Aku segera pergi meninggalkan tempat mewah yang membuatku tidak nyaman. Entah suasana hatiku yang sedang kacau atau bagaimana? Aku benar-benar tidak menyukai tempat ini.
Di bawah guyuran hujan aku pulang sendiri, meninggalkan pasangan yang sedang memadu kasih di restoran ternama di kota Jakarta. Bahkan aku lupa kemana aku melangkah, pandangan ku kosong, perasaan sesak melingkupi hatiku, menumpul 'kan semua indra-indraku, bahkan aku tidak sanggup berdiri lagi dengan kedua kakiku. Kepalaku semakin pening bersamaan dengan perut seperti dipelintir. Aku terjatuh di pinggir jalan dekat pedagang kaki lima. Aku mendengar suara seseorang berteriak bersamaan juga kesadaranku mulai menghilang.
*****
Aku membuka mataku dengan pelan, bias cahaya lampu membuatku menyipitkan mata sayu.
Aku melihat langit-langit kamar yang nampak berbeda dengan kamarku, warna putih lebih dominan di ruangan ini, terbangun dengan keadaan pusing, langit-langit kamar tampak berputar di mataku, bau sesuatu membuatku mual, mulut ku pahit bagaikan baru makan pare mentah tanpa sambal. Aku menyesali 1 hal, sedari pagi aku belum mengisi perutku, aku lupa.
Aku buru-buru bangun dari tidurku, aku ingin ke kamar mandi untuk membuang isi perut yang sudah ada di mulutku minta di keluarkan. Namun, tiba-tiba saja seseorang menahanku dengan menggenggam pergelangan tanganku.
"Diajeng, kamu udah sadar, Sayang?" Aku melihat suamiku sedang duduk di samping ranjang sambil menggenggam tangan ku. "Kamu mau kemana, sini aku bantu?" Bagas berdiri hendak membantuku. Namun, aku segera menepis tangannya. Dia terlihat terkejut dengan apa yang aku lakukan, tapi aku tak peduli. Aku segera turun dari ranjang, yang baru aku sadari ternyata aku berbaring di ranjang rumah sakit.
Aku kebingungan di mana letak kamar mandi setelah turun dari ranjang. Kepalaku pusing membuat jalanku sedikit oleng.