Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
KASIH TAK LEKANG OLEH WAKTU

KASIH TAK LEKANG OLEH WAKTU

NARUMI AKEDA

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Mentari mulai meredup, menorehkan warna jingga dan ungu di cakrawala. Ombak berdesir lembut di bibir pantai, menyapa kaki-kaki telanjang Laras yang menapaki pasir lembut. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut asin yang familiar, membangkitkan kenangan masa kecil yang terlupakan. Laras memejamkan mata, menghirup dalam-dalam udara segar yang terasa begitu menenangkan.

Bab 1 Pertemuan di Ujung Senja

Mentari mulai meredup, menorehkan warna jingga dan ungu di cakrawala. Ombak berdesir lembut di bibir pantai, menyapa kaki-kaki telanjang Laras yang menapaki pasir lembut. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut asin yang familiar, membangkitkan kenangan masa kecil yang terlupakan. Laras memejamkan mata, menghirup dalam-dalam udara segar yang terasa begitu menenangkan.

Ia kembali ke kota kecil ini, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan, setelah bertahun-tahun merantau di kota besar. Sejak kepergiannya, kota ini tak banyak berubah. Rumah-rumah tua dengan cat pudar masih berdiri kokoh, deretan pohon kelapa yang menjulang tinggi masih setia menyapa setiap pengunjung, dan suara jangkrik yang bernyanyi di malam hari masih tetap merdu. Hanya Laras yang berubah, lebih dewasa, lebih bijaksana, dan lebih banyak menyimpan cerita di balik senyumnya.

Laras berjalan menyusuri pantai, menikmati suasana senja yang tenang. Matanya tertuju pada sebuah batu karang besar yang menjorok ke laut. Di atas batu karang itu, seorang pria duduk termenung, punggungnya menghadap ke arah laut. Sosoknya tinggi dan tegap, rambutnya berwarna hitam legam yang dibiarkan terurai, dan matanya yang tertutup seolah menyimpan sejuta misteri.

Sebuah rasa aneh tiba-tiba menyergap Laras. Ia merasa pernah melihat pria ini sebelumnya, meskipun ia yakin baru pertama kali menginjakkan kaki di pantai ini setelah sekian lama. Rasa deja vu yang kuat membuatnya terpaku di tempat, tak berani mendekat.

"Maaf, bolehkah aku duduk di sini?"

Suara pria itu, yang terdengar begitu lembut dan menenangkan, membuyarkan lamunan Laras. Ia tersentak, dan baru menyadari bahwa ia telah berdiri terpaku di dekat pria itu cukup lama.

"Oh, ya, tentu saja," jawab Laras gugup, lalu duduk di sebelah pria itu.

"Namaku Rama," kata pria itu, sambil tersenyum tipis. Senyum yang membuat jantung Laras berdebar kencang.

"Laras," jawabnya, tanpa sadar menunduk.

Keduanya terdiam sejenak, hanya suara deburan ombak yang memecah kesunyian. Laras merasakan tatapan Rama yang intens, seolah menembus ke dalam jiwanya. Ia merasa ada ikatan kuat yang tak terjelaskan antara dirinya dan Rama, meskipun baru beberapa menit mereka saling mengenal.

"Kau berasal dari sini?" tanya Rama, memecah keheningan.

"Ya, aku lahir dan besar di sini," jawab Laras. "Tapi aku sudah lama merantau di kota besar."

"Aku juga," jawab Rama. "Tapi aku baru kembali ke sini beberapa minggu yang lalu."

"Kenapa kau kembali ke sini?" tanya Laras, penasaran.

Rama tersenyum misterius. "Aku mencari sesuatu," jawabnya singkat.

Laras mengerutkan kening, tak mengerti maksudnya. Namun, ia tak ingin menanyakan lebih lanjut. Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata Rama, sesuatu yang tak ingin ia ketahui.

Matahari telah tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja yang semakin gelap. Laras merasakan hawa dingin mulai menyelimuti tubuhnya.

"Sudah larut, aku harus pulang," kata Laras, berdiri.

"Aku antar," tawar Rama.

Laras ragu sejenak, lalu mengangguk. Ia merasa tak ingin berpisah dengan Rama, meskipun baru beberapa saat mereka bersama.

Saat mereka berjalan bersama di sepanjang pantai, Laras merasakan sebuah kehangatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa telah menemukan sesuatu yang istimewa, sesuatu yang telah lama ia cari. Namun, ia tak tahu apa itu, dan ia tak berani berharap terlalu banyak.

"Terima kasih," kata Laras, saat mereka sampai di depan rumahnya.

"Sama-sama," jawab Rama, sambil tersenyum. "Sampai jumpa lagi, Laras."

Laras hanya mengangguk, tak berani menatap mata Rama terlalu lama. Ia merasa ada sesuatu yang akan berubah dalam hidupnya, sesuatu yang tak terduga dan tak terlupakan.

Laras masuk ke dalam rumah, meninggalkan Rama yang masih berdiri di depan pintu. Ia merasakan debaran jantungnya tak kunjung mereda. Ia tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun ia yakin bahwa pertemuannya dengan Rama bukanlah sebuah kebetulan.

Senja di pantai itu telah meninggalkan jejak di hatinya, sebuah jejak yang tak akan pernah terlupakan.

Hari-hari berikutnya terasa berbeda bagi Laras. Setiap sudut kota kecil ini mengingatkannya pada pertemuannya dengan Rama. Ia kerap menemukan dirinya terhanyut dalam lamunan, membayangkan senyum Rama yang misterius, dan kata-katanya yang penuh teka-teki.

Laras mencoba melupakan Rama, fokus pada pekerjaannya di galeri seni milik keluarganya. Namun, setiap kali ia melihat lukisan-lukisan tua yang dipajang, ia tak bisa menahan rasa penasaran tentang masa lalu Rama.

Suatu sore, saat Laras sedang menata koleksi baru, sebuah buku tua menarik perhatiannya. Buku itu terbungkus kain beludru berwarna merah tua, dan terdapat sebuah label kecil bertuliskan "Album Keluarga". Ia penasaran, perlahan membuka buku itu.

Di dalamnya, terdapat foto-foto keluarga yang usang. Salah satu foto menampilkan seorang pria muda, dengan senyum yang sangat mirip dengan Rama. Pria itu mengenakan baju tradisional yang sama dengan yang pernah dikenakan Rama saat mereka bertemu di pantai.

Laras tercengang. Ia membalik halaman berikutnya, dan menemukan foto yang lebih mengejutkan. Foto itu menampilkan seorang wanita muda, dengan wajah yang sangat mirip dengan dirinya. Wanita itu mengenakan baju tradisional yang sama dengan yang pernah dikenakan Laras saat ia masih kecil.

Laras semakin penasaran. Ia mencari informasi lebih lanjut tentang buku itu, namun tak menemukan petunjuk apapun. Ia hanya menemukan catatan kecil di bagian belakang buku, bertuliskan "Rama, 1987".

Laras mencoba menghubungkan semua petunjuk yang ia temukan. Ia yakin bahwa Rama bukanlah orang asing baginya, dan ada hubungan yang kuat antara mereka, meskipun ia tak tahu apa itu.

Ia memutuskan untuk mencari Rama. Ia bertanya kepada penduduk sekitar, namun tak ada yang mengenal pria bernama Rama. Ia bahkan mencoba mencari di media sosial, namun tak menemukan akun dengan nama Rama.

Laras merasa putus asa. Ia merasa semakin terjebak dalam misteri yang semakin membingungkan. Ia tak tahu harus berbuat apa, dan ia mulai merasa takut.

Suatu malam, saat Laras sedang duduk di balkon rumahnya, ia melihat sebuah cahaya menyala di ujung pantai. Cahaya itu mendekat, dan akhirnya berhenti di depan rumahnya.

Laras tercengang. Ia melihat Rama berdiri di depan pintu, dengan senyum yang sama misterius seperti saat pertama kali mereka bertemu.

"Laras, bolehkah aku masuk?" tanya Rama.

Laras hanya bisa mengangguk, tak mampu berkata-kata.

Laras terdiam, menatap Rama yang berdiri di ambang pintu. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang, sebuah campuran antara kegembiraan dan ketakutan. Ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia merasa tak bisa menolak ajakan Rama untuk masuk.

"Silakan masuk, Rama," ucap Laras, suaranya sedikit gemetar.

Rama tersenyum, matanya berbinar-binar. Ia melangkah masuk, dan Laras menuntunnya ke ruang tamu.

"Laras, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," kata Rama, sambil mengeluarkan sebuah kotak kayu tua dari balik jasnya.

Laras mengerutkan kening, penasaran. Ia mengambil kotak itu dari tangan Rama, dan membukanya perlahan. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah kalung perak yang indah, dengan liontin berbentuk bulan sabit.

"Ini milikmu, Laras," kata Rama, suaranya lembut. "Aku menemukannya di sebuah peti tua di rumah nenekku. Aku tahu kalung ini milikmu."

Laras tercengang. Ia mengenali kalung itu. Itu adalah kalung pemberian ibunya, yang hilang saat ia masih kecil. Ia selalu menyimpan kenangan tentang kalung itu, meskipun ia tak pernah tahu apa yang terjadi padanya.

"Bagaimana kau bisa menemukannya?" tanya Laras, suaranya bergetar.

Rama tersenyum misterius. "Aku tak bisa menjelaskannya sekarang, Laras. Tapi aku tahu, kalung ini adalah kunci untuk mengungkap masa lalu kita."

Laras terdiam, tak tahu harus berkata apa. Ia merasa semakin terjebak dalam misteri yang semakin membingungkan. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua ini.

"Laras, aku ingin kau tahu bahwa aku tak akan menyakitimu," kata Rama, mendekati Laras. "Aku hanya ingin membantu kau menemukan kebenaran tentang masa lalu kita."

Laras menatap mata Rama, mencoba membaca isi hatinya. Ia merasakan sebuah kehangatan yang tak terjelaskan, namun ia tak bisa menghilangkan rasa takut yang menghantuinya.

"Aku percaya padamu, Rama," kata Laras, meskipun ia tak yakin dengan kata-katanya sendiri.

"Terima kasih, Laras," jawab Rama, sambil tersenyum. "Sekarang, aku ingin kau melihat sesuatu."

Rama mengeluarkan sebuah foto dari sakunya. Foto itu menampilkan seorang wanita muda, dengan wajah yang sangat mirip dengan Laras. Wanita itu mengenakan baju tradisional yang sama dengan yang pernah dikenakan Laras saat ia masih kecil.

"Ini ibumu, Laras," kata Rama. "Aku menemukan foto ini di rumah nenekku. Aku tahu, ibumu dan nenekku adalah sahabat karib."

Laras terdiam, matanya tertuju pada foto itu. Ia merasa ada sesuatu yang familiar, namun ia tak bisa mengingatnya.

"Laras, ibumu meninggal saat kau masih kecil," kata Rama, suaranya berbisik. "Ia meninggalkanmu di sebuah panti asuhan, dan tak pernah memberitahumu siapa ayahmu."

Laras merasakan air mata mengalir di pipinya. Ia tak pernah tahu cerita tentang ibunya. Ia selalu bertanya-tanya mengapa ibunya meninggalkannya, dan mengapa ia tak pernah tahu siapa ayahnya.

"Rama, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Laras, suaranya bergetar.

Rama tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Aku akan memberitahumu semuanya, Laras. Tapi kau harus siap mendengar kebenaran, meskipun kebenaran itu mungkin menyakitkan."

Laras mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Ia merasa tak bisa lagi menghindar dari kenyataan. Ia harus tahu kebenaran tentang masa lalunya, meskipun kebenaran itu mungkin mengubah hidupnya selamanya.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh NARUMI AKEDA

Selebihnya

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku