Jasmine Bintang terlahir dengan keterbatasan fisik yang membuatnya sulit untuk menerima dunia di sekitarnya. Tumbuh dalam keluarga yang penuh tekanan dan kerap disisihkan, Jasmine sering merasa sepi. Ibu kandungnya, Lestari, yang selalu memandangnya dengan mata penuh kecewa, menyulut rasa tidak berharga dalam dirinya. Meskipun demikian, Jasmine mencoba membangun hidup di luar bayangan kegelapan itu dengan menikahi Ardan Mahendra, seorang pria tampan dan sukses, yang memiliki karisma memikat dan senyum yang bisa menenangkan jiwa siapa pun. Namun, tak ada yang tahu bahwa Ardan, di balik senyum dan kepura-puraannya, menyimpan cinta yang jauh dari tulus. Keluarga Ardan, yang berasal dari golongan elit, memperlakukan Jasmine seperti perhiasan yang rusak, menghina dan mengabaikannya setiap kali kesempatan muncul. Meskipun Jasmine berusaha keras untuk membuktikan diri, rasa sakit itu tetap menusuk dan membuatnya ingin menyerah. Suatu hari, Anindya, wanita yang pernah menjadi cinta pertama Ardan, muncul kembali, seakan angin yang membawa badai. Dengan sikap angkuh, Anindya berdiri di depan Jasmine, mengumumkan dengan suara yang penuh keyakinan dan tawa sarkastik, "Kamu tidak pernah merasakan cinta yang sejati, bukan? Apa Ardan pernah berkata bahwa dia mencintaimu? Haha, ketika aku bersamanya dulu, setiap hari dia berkata bahwa dia tak bisa hidup tanpaku." Kata-kata itu bagaikan pisau yang menghujam jantung Jasmine. Selama ini, dia hidup dalam kebohongan, memaksa dirinya untuk percaya bahwa cinta itu nyata, meskipun semua tanda menunjukkan sebaliknya. Dalam diam, Jasmine menyadari bahwa dia telah mengorbankan kebahagiaan sejatinya demi seseorang yang tak pernah memandangnya dengan cinta tulus. Jasmine memutuskan untuk melepaskan Ardan, memberi kebebasan padanya untuk mengejar kebahagiaan yang sebenarnya. Namun, Ardan menolak untuk melepaskan Jasmine begitu saja. Dia menatap Jasmine dengan mata yang penuh amarah dan sesal, lantas mengucapkan dengan suara berat, "Mau bercerai? Tidak ada satu pun langkah yang bisa kau ambil tanpa melewati mayatku, Jasmine." Namun, dengan air mata yang menetes di pipi, Jasmine menyuarakan keinginannya dengan nada yang tidak pernah dia miliki sebelumnya. "Kita harus berpisah, Ardan. Maaf telah membuang waktu kita berdua selama ini."
Di ruang tamu yang luas dan dihiasi dengan perabotan mewah, Jasmine Bintang duduk di sofa besar berwarna krem, matanya terarah ke luar jendela besar yang menghadap ke taman. Pepohonan yang rimbun bergoyang diterpa angin, seakan berbisik tentang hidupnya yang penuh sepi. Sejak kecil, Jasmine tahu bahwa dunia tidak pernah benar-benar ramah padanya. Ada sesuatu dalam dirinya-sesuatu yang membuat orang-orang menatapnya dengan kasihan, atau lebih buruk, dengan jijik.
Keterbatasan fisik yang membuatnya sulit untuk bergerak bebas menjadi alasan utama, tetapi ada hal lain yang jauh lebih dalam dari itu: rasa tidak dihargai, rasa tidak dicintai.
Ibu kandungnya, Lestari, selalu memandangnya dengan mata penuh kecewa. "Kau tidak seperti saudara-saudaramu," kata Lestari dengan suara yang datar, seolah-olah kalimat itu sudah menjadi mantra yang diulang ribuan kali di rumah mereka. Jasmine mengingat bagaimana dia pernah mencoba belajar menari, berharap bisa menarik perhatian ibunya, hanya untuk dihina dan dimarahi karena jatuh di tengah gerakan. Sejak itu, dia memutuskan untuk menjadi diam, bersembunyi dalam kesunyian, mencari kenyamanan dalam kebisingan hati sendiri.
Namun, hidupnya berubah ketika dia bertemu Ardan Mahendra. Pria itu tampak seperti jawaban atas doa-doa sunyi yang diucapkannya dalam hati. Ardan, dengan senyumnya yang cerah dan suara yang menenangkan, membuat Jasmine merasa seperti dia bukan sekadar cacat, bukan sekadar beban. "Kau cantik," katanya di malam pertama mereka bertemu, tatapan matanya menembus jauh ke dalam jiwa Jasmine. Kalimat itu, sederhana dan penuh kejujuran, membuat Jasmine merasa seperti sedang terbang di atas awan.
Mereka menikah dalam sebuah upacara besar yang dihadiri oleh keluarga Ardan, yang semuanya berpakaian serba hitam, seperti menghadiri sebuah upacara pemakaman. Jasmine, dalam gaun putih yang indah, merasa seperti seorang putri yang dipaksa bermain di dunia yang tak pernah dia pilih. Suaminya, Ardan, berdiri di sampingnya dengan senyum penuh kebanggaan, meski matanya tetap terbuka, penuh rahasia yang tak terungkap.
Tahun-tahun awal pernikahan mereka penuh dengan upaya Jasmine untuk membangun rumah tangga yang bahagia, tetapi kenyataan tidak seperti yang diimpikannya. Keluarga Ardan tak pernah menganggapnya lebih dari sekadar pajangan; mereka memandangnya dengan senyum kecut dan komentar yang mengiris hati. Seperti ketika bibi Ardan, yang tak pernah jauh dari bisik-bisik, berbisik di hadapan orang lain, "Apakah dia benar-benar layak menjadi istri Ardan? Bukankah lebih baik kalau dia duduk di rumah, diam saja?"
Setiap kalimat itu menancap di jantung Jasmine, mengikis semangatnya sedikit demi sedikit. Ardan hanya akan tersenyum sinis dan mengalihkan pembicaraan, seakan dia tidak pernah mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang di sekitarnya. Jasmine belajar untuk menelan rasa sakit itu, menahan air mata, dan melanjutkan hidupnya.
Namun, hari itu, ketika pintu rumah mereka diketuk keras dan suara seseorang yang dikenalnya memecah kesunyian, Jasmine tahu bahwa semuanya akan berubah. Anindya, wanita yang pernah menjadi cinta pertama Ardan, berdiri di ambang pintu dengan riasan wajah yang sempurna dan senyum yang penuh kemenangan. Di tangannya, ia membawa seikat bunga mawar merah, simbol dari cinta yang pernah dia bagi dengan Ardan.
"Maaf mengganggu, tapi aku rasa kita perlu bicara," kata Anindya, suaranya ringan, tetapi setiap kata seakan menggetarkan dinding-dinding rumah. Jasmine berdiri, tubuhnya membeku di tempat, sementara Ardan keluar dari ruang tamu, wajahnya berubah tegang begitu melihat siapa yang datang.
Anindya menatap Jasmine, seakan sedang mengukur siapa perempuan itu. "Kau tahu, Jasmine," katanya, matanya berbinar dengan ketidakpedulian, "Kau tidak pernah merasa dicintai sejati, bukan? Apakah Ardan pernah mengatakan bahwa dia mencintaimu? Haha, ketika aku bersamanya dulu, setiap hari dia berkata dia tak bisa hidup tanpaku."
Jasmine terpaku, rasa sesak di dadanya seperti hendak meledak. Kata-kata itu menghujam seperti kilat, mengingatkannya pada semua kebohongan dan pengorbanan yang telah dia buat selama ini. Dia ingin menjawab, ingin berteriak, tapi suaranya terhenti di tenggorokan. Ardan hanya berdiri di sana, wajahnya kacau, tidak tahu harus berkata apa.
Lambat laun, Jasmine menatap Ardan, dan dalam sekejap, dia menyadari semua yang selama ini disembunyikan. Dia tidak pernah dicintai, dan dia tidak pernah akan pernah dicintai oleh pria itu.
"Aku tak ingin hidup dalam kebohongan lagi," gumam Jasmine dalam hati, suara hatinya menggema di seluruh tubuhnya, mendorongnya untuk melepaskan diri. Dia tahu, saat itu, semuanya harus berubah.
Buku lain oleh Purwanto
Selebihnya