"Seperti janji yang terukir di batu, aku tak akan pernah mengizinkanmu pergi, Rania. Bahkan jika kau berteriak, menangis, dan memohon seolah dunia akan berakhir, aku tetap tak akan melepaskanmu." Selama tiga tahun pernikahan, Rania Alvi selalu merasa seperti bayangan di dalam rumahnya sendiri, terjebak dalam kesendirian yang semakin pekat. Suaminya, Rizky Wira, seorang pengusaha muda yang sukses dan dikenal dengan ketegasan serta sikapnya yang dingin, selalu membuat Rania merasa terasing. Terlebih lagi, Rizky adalah duda dengan seorang putra berusia tujuh tahun, dan pernikahan mereka menjadi lebih rumit dengan hadirnya Inez, mantan istri Rizky yang tidak pernah benar-benar pergi dari hidupnya. Hari-hari Rania dipenuhi dengan kesunyian yang seolah menekan napasnya. Setiap kali Inez datang mengunjungi putra mereka, Rania merasakan hatinya terhimpit. Pemandangan Rizky yang tampak lebih hangat kepada Inez daripada dirinya membuatnya hampir menyerah. Keadaan semakin memburuk ketika Rania mulai jatuh sakit; rasa sakit di tubuhnya tak bisa disangkal, tapi ia tetap mengabaikannya. Sampai pada akhirnya, dokter mengatakan bahwa Rania mengidap kanker stadium dua. Tertekan oleh beban fisik dan emosional yang semakin berat, Rania akhirnya memberanikan diri untuk menyerahkan dokumen perceraian kepada Rizky. Ia menatap suaminya yang terdiam di depan meja, tatapan kosongnya mencerminkan kekuatan yang berusaha ia pertahankan. "Rizky... aku tak bisa lagi. Aku... aku ingin kita berakhir," ucap Rania dengan suara yang bergetar, matanya basah, mencoba menunjukkan keteguhan di tengah kehancuran. Rizky menatap dokumen itu sejenak, lalu menatap Rania. Wajahnya yang tajam seketika melunak, mata gelapnya menyimpan seribu pertanyaan. Tapi tidak ada kekhawatiran. Tidak ada rasa takut. Hanya ada kekesalan yang membara di balik setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Rania, dengarkan aku. Tidak ada perceraian di antara kita, bahkan jika itu berarti aku harus memaksa dirimu untuk tetap bersamaku," Rizky berkata, suaranya tegas dengan aura yang sulit ditangkal. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Tidak sekarang, tidak pernah." Rania terdiam, napasnya serasa terhenti. Setiap kata Rizky seperti menyayat hati, mengingatkan pada kenyataan pahit yang selama ini ia coba lupakan. Di mata Rizky, ia bukan hanya sekadar istri, tetapi sebuah kewajiban yang harus dipenuhi, bahkan jika itu berarti ia harus mengikat Rania dalam kesakitan yang lebih dalam. "Rizky, aku... aku sudah tidak sanggup. Aku tidak bisa terus seperti ini, dengan hatiku yang hancur dan tubuh yang semakin rapuh. Beri aku kebebasan, izinkan aku untuk... untuk pergi," ujar Rania, suara di ujung tangis. Namun Rizky hanya memandangnya dengan tatapan yang menyakitkan, di antara keheningan yang seakan berbicara lebih keras daripada kata-kata apa pun. Ia mungkin tak akan pernah mengerti, tapi dalam keheningan itu, Rania tahu satu hal: perjuangan mereka belum selesai. Dan mungkin, hanya waktu yang akan mengungkap siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam pertempuran hati yang memilukan ini.
Pagi itu, Rania Alvi duduk di tepi tempat tiduran, memandangi bayangan dirinya yang terpantul di cermin besar. Jari-jarinya bermain dengan kain gorden berwarna krem yang bergelombang lembut di jendela. Angin pagi yang masuk melalui celah-celah gorden membawa aroma segar dari taman kecil di halaman belakang. Tapi tidak ada kesejukan yang mampu menghapus panas yang mengalir di sekujur tubuhnya. Panas yang datang bukan dari sinar mentari, melainkan dari luka yang terus membara di hatinya.
Suami Rania, Rizky Wira, masih terlelap di tempat tidur mereka. Wajahnya yang terbalut tidur tampak lelah, namun tak kehilangan ketampakan angkuhnya. Rizky adalah pria yang selalu diidam-idamkan oleh banyak wanita; tampan, karismatik, dan cerdas. Namun, bagi Rania, pria itu seperti musim dingin yang membekukan. Ketegangan di antara mereka sudah tak terhitung. Setiap percakapan mereka hanya menyisakan keheningan yang membosankan, hanya suara jam dinding yang berdetak kian lama kian menekan.
Rania menarik napas dalam-dalam dan menoleh ke arah pintu. Terdengar suara langkah kaki kecil yang mengetuk lantai kayu dengan ritme riang. Seperti biasa, itu adalah Raka, putra Rizky dari pernikahan sebelumnya. Rania tahu bahwa hari itu, seperti hari-hari lainnya, akan penuh dengan rutinitas yang membosankan dan menyakitkan. Di dalam kebisuan rumah ini, ia adalah satu-satunya yang selalu merasa asing.
"Selamat pagi, Bu," sapa Raka, suaranya melompat riang saat dia masuk ke kamar. Ia membawa sebuah buku cerita dengan gambar-gambar berwarna cerah.
"Selamat pagi, Nak," jawab Rania, berusaha menghadirkan senyum yang tulus di wajahnya. Namun, senyum itu terasa seperti senjata yang tajam, menyakitkan saat ditarik paksa.
Raka meloncat ke tempat tidur, mengendap-endap di samping Rania. Dia mendongakkan kepala ke arah Rizky, yang masih terlelap. "Ayah masih tidur, ya, Bu?" tanyanya, matanya bersinar penasaran.
Rania menatap Rizky, yang kini berbalik arah, memperlihatkan rahangnya yang tegang. "Ya, Nak. Ayah sangat lelah akhir-akhir ini," jawab Rania sambil menahan rasa sakit di dadanya. Penuh kebohongan, tetapi hanya itu yang bisa ia katakan.
"Bukankah ayah selalu lelah, Bu?" Raka bertanya dengan nada polos, membuat Rania terdiam sejenak. Kali ini, pertanyaan itu menyakitkan, lebih dalam daripada biasanya. Sejak awal pernikahannya, Rania sudah tahu bahwa Rizky hanya menyisakan ruang kosong dalam hatinya untuknya. Tapi, melihat Raka yang berbicara dengan kepolosan seorang anak kecil membuat hatinya semakin sakit, seperti dirajam ribuan pecahan kaca.
"Sudah, jangan ganggu ayah, Nak. Ayo kita sarapan dulu," kata Rania dengan lembut, mengalihkan perhatian Raka.
Mereka turun ke ruang makan, tempat di mana mereka biasa berbagi momen pagi yang sunyi. Setiap pagi seperti ini, suasana terasa semu dan hampa, meskipun di luar jendela matahari sedang tersenyum cerah. Rania menghidangkan roti bakar dan selai strawberry, menu yang hampir tak pernah berubah sejak pernikahan mereka. Ia tahu Rizky hanya akan mengambil secangkir kopi dan berlalu ke kantornya tanpa banyak bicara. Itu sudah cukup bagi Rania, setidaknya dia bisa melihat anaknya senang di pagi hari.
Raka duduk dengan penuh semangat, mengunyah roti sambil bercerita tentang sekolahnya. "Hari ini, Bu, aku akan bermain bola di lapangan!" katanya dengan mata yang berbinar. Rania mengangguk, membalas senyuman Raka, meskipun hatinya terasa sakit mendengar riuh tawa anak kecil itu, yang tak bisa ia bagi dengan suaminya.
Seperti dugaan Rania, Rizky datang ke meja makan dalam balutan jas hitamnya. Wajahnya segar, matanya tajam, dan ekspresinya tetap seperti biasa, dingin dan tak terbaca. Ia duduk di kursi di ujung meja, mengangkat cangkir kopi, dan hanya memberikan sekilas pandangan pada Rania.
"Selamat pagi, Rizky," ucap Rania dengan suara yang begitu lembut, hampir tak terdengar. Rizky hanya mengangguk, lalu kembali menatap ponselnya, mencari tahu email atau pesan yang menunggu di layar. Di sisi lain meja, Raka menatap ayahnya, berharap akan mendapatkan perhatian lebih dari pria yang hanya hadir dalam hidupnya seperti bayangan.
Rania merasa seolah dirinya berada di tengah badai yang tak terlihat. Setiap kata yang keluar dari mulut Rizky adalah pisau yang merobek, dan setiap diam yang ia pilih adalah luka yang semakin dalam. Pagi itu pun berlalu dalam keheningan, hanya diisi dengan suara piring, sendok, dan gelas yang berdenting.
Setelah Raka pergi ke sekolah, Rania duduk di ruang tamu, menatap dinding kosong yang penuh dengan foto-foto keluarga mereka. Foto-foto yang diambil ketika semuanya tampak sempurna. Tawa mereka terlihat tulus, mata mereka terlihat hidup. Namun, sekarang, semua itu hanyalah kenangan yang membebani, seperti gumpalan awan gelap yang menghalangi sinar matahari.
Rizky sudah pergi, meninggalkan rumah dengan langkah cepat, seperti selalu. Rania merasakan kekosongan di sekelilingnya, yang lebih dalam daripada ruang di antara dinding-dinding rumah. Ia tahu bahwa di dalam rumah ini, kebahagiaan hanya tinggal sebuah kenangan, sebuah ilusi yang tak pernah bisa ia genggam.
Telepon di meja sampingnya berbunyi. Rania menatap layar ponsel, yang menampilkan nama Dr. Amelia. Jantungnya berdegup kencang, seolah mengetahui apa yang akan dikatakan oleh dokter itu. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan beratnya kenyataan yang telah menunggu sejak beberapa minggu terakhir. Lalu, ia menekan tombol untuk menjawab.
"Selamat pagi, Ibu Rania. Maaf mengganggu pagi Anda," suara Dr. Amelia terdengar melalui ponsel, hangat dan penuh empati.
"Selamat pagi, Dokter," jawab Rania, suaranya gemetar.
"Rania, hasil tes terakhir sudah keluar. Kami ingin mendiskusikan hasilnya dengan Anda."
Mata Rania mulai berair, suara Dr. Amelia seperti ribuan ombak yang menghantam pantai. "Apakah... apakah ada kabar buruk?" tanyanya, suara itu hampir hilang di antara isak tangis yang sudah tak bisa ia tahan.
"Ya, Ibu Rania. Kami menemukan bahwa kanker Anda sudah mencapai stadium dua. Kami harus segera memulai pengobatan untuk menghentikan perkembangan penyakit ini."
Rania mendapati dirinya terdiam, seolah kata-kata itu melayang di udara dan membekukan seluruh tubuhnya. Di luar, suara mobil yang lewat terdengar begitu jauh, seperti deru angin yang tak ada artinya. Di dalam dirinya, dunia seperti berhenti sejenak, mengalir lambat dan berat, menunggu realitas baru yang akan segera datang.
Ia tahu, saat itu, bahwa tidak ada lagi kesempatan untuk melarikan diri. Tidak ada ruang untuk menolak kenyataan. Hatinya bergetar, bukan hanya karena rasa sakit yang akan datang, tetapi juga karena ketidakberdayaan yang menggerogoti. Ia mendongak ke arah langit-langit rumah, mengingat kembali janji-janji yang telah diucapkan saat pernikahan, yang kini hanya menjadi angin lalu yang menyinggahi.
"Rizky," bisik Rania dalam hati, berharap pria itu mendengar. Namun, di mana pun Rizky berada, ia hanya sebuah bayangan di antara kegelapan yang membungkus malam mereka.
Buku lain oleh Purwanto
Selebihnya