Rentang Waktu Di Antara Kita

Rentang Waktu Di Antara Kita

Delza

5.0
Komentar
185
Penayangan
22
Bab

"Rentang Waktu di Antara Kita" adalah kisah yang menyentuh hati tentang cinta yang tak kenal usia, ketegangan emosi, dan harapan yang tak pernah padam di tengah batas-batas yang diciptakan oleh waktu.

Bab 1 Awal Pertemuan

Langit malam Jakarta dipenuhi kelap-kelip lampu kota yang tak pernah tidur. Kian duduk di sudut sebuah kafe di kawasan Senopati, laptopnya terbuka, namun fokusnya terpecah. Ia menggeser layar ponselnya, membuka sebuah aplikasi pertemanan yang belakangan menjadi hiburannya di tengah kesepian.

Di layar muncul profil seorang wanita muda bernama Selina. Foto profilnya sederhana, menampilkan senyuman lembut dengan latar taman kampus. Deskripsinya singkat:

'Suka kopi dan buku, cari teman diskusi yang asik, ada nggak ya?'

Kian menghela napas sambil berpikir, "Kenapa gue buka aplikasi ini sih?" Namun, entah kenapa profil itu membuatnya tertarik.

"Apa salahnya nyapa?" gumamnya. Dia mengetik pesan pertama.

'Hai, Selina. Kamu beneran suka kopi atau cuma buat gaya-gayaan?'

Balasan datang cepat.

'Hai juga. Haha, suka beneran kok. Kamu suka kopi juga?'

Kian tersenyum kecil. Obrolan pun dimulai. Awalnya hanya tentang kopi, tapi perlahan pembahasan melebar ke buku, film, dan hal-hal ringan lainnya. Kian terkejut dengan cara Selina menjawab. Meskipun usianya baru 22 tahun, ia berbicara dengan cukup dewasa, membuat Kian merasa nyaman.

'Kamu sendiri kerja apa, Kian?"

'Dokter, di salah satu rumah sakit di Jakarta. Kalau kamu?'

'Wah dokter! Pasti sibuk banget ya. Aku baru lulus kuliah, lagi cari kerjaan sih. Aku ambil keperawatan.'

'Wah cocok dong kalau gitu. Bisa jadi partner kerja nanti, haha.'

'Haha, bisa aja. Tapi aku belom tau mau kerja di mana. Jakarta serem ya katanya?'

'Serem? Ah enggak kok. Aku udah 10 tahun di sini, biasa aja.'

Percakapan berlangsung hingga malam semakin larut. Kian merasa aneh, karena biasanya ia bosan dengan obrolan di aplikasi semacam ini. Namun, dengan Selina, waktu terasa berlalu begitu cepat.

°°°

Seminggu kemudian, setelah beberapa kali saling bertukar pesan, Kian memberanikan diri mengajak Selina bertemu.

'Sel, kamu kapan ke Jakarta? Mungkin kita bisa ketemu, ngopi-ngopi sambil ngobrol.'

'Gue rencana minggu depan sih. Tapi, ketemu beneran? Kamu serius?'

'Ya kenapa nggak? 'Kan kamu butuh temen diskusi yang asik, hahaha.'

'Oke deh. Tapi aku nggak mau ketemu dokter yang sok jaim ya.'

'Tenang aja, aku dokter yang santai kok."

°°°

Hari itu tiba. Kian memilih sebuah kafe di kawasan Kemang untuk pertemuan pertama mereka. Tempatnya tidak terlalu ramai, dengan suasana nyaman dan musik akustik mengalun pelan.

Kian duduk di salah satu sudut, mengenakan kemeja biru muda yang digulung hingga siku. Dia melirik jam tangan, merasa sedikit gugup. "Apa gue terlalu tua buat begini?" pikirnya.

Pintu kafe terbuka, dan seorang wanita masuk, melongok mencari seseorang. Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Wajahnya tampak cerah meskipun sederhana. Itu Selina.

"Selina?" Kian melambai.

Selina tersenyum dan berjalan mendekat. "Hai, Kian, ya? Maaf telat, tadi nyasar sedikit."

"Enggak kok, aku juga baru datang," jawab Kian, berdiri untuk menyambutnya.

Mereka duduk berhadapan, dan suasana sempat canggung selama beberapa detik. Namun, Selina langsung memecah keheningan.

"Jadi ini dokter yang katanya santai?" tanyanya sambil tersenyum jahil.

Kian terkekeh. "Iya dong. Kamu gimana tadi, perjalanan ke sini, oke?"

"Ya lumayan oke. Jakarta macetnya nggak kira-kira ya."

"Haha, itu baru macet kecil. Kamu belum ngerasain Jakarta yang bener-bener stuck."

Obrolan pun mengalir dengan lancar. Selina ternyata lebih ceria dan penuh energi dibandingkan saat mereka berbicara di aplikasi. Kian merasa ada sesuatu yang menenangkan dari caranya berbicara.

"Apa nggak berat jadi dokter, Ki?" tanya Selina sambil menyeruput kopinya.

"Kadang sih berat, apalagi kalau pasien kritis. Tapi aku suka, soalnya kerjaan ini bikin aku merasa hidup aku berarti."

"Dalem juga ya. Aku jadi makin yakin pengen kerja di rumah sakit," jawab Selina sambil tersenyum.

"Serius? Kalau gitu nanti coba lamar di tempat aku aja. Gue kenal HR-nya."

"Wah serius? Tapi jangan karena kita kenal ya, aku pengen diterima karena kemampuan aku sendiri."

"Aku cuma bantu buka pintu, sisanya tergantung kamu."

Selina tertawa kecil. "Deal. Tapi aku inget omongan kamu, ya."

Pertemuan itu berlangsung lebih dari dua jam. Kian merasa nyaman, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang lain. Selina pun merasa senang, karena Kian ternyata tidak jaim seperti yang ia khawatirkan.

Saat mereka berpisah di depan kafe, Selina berbisik pelan, "Makasih ya, Ki. Aku nggak nyangka kamu seru banget diajak ngobrol."

"Selama kamu nggak bosen ngobrol sama aku, kapan aja aku siap."

Selina tersenyum dan melambaikan tangan. "Sampai ketemu lagi, dokter santai."

°°°

Malam itu, saat Kian berbaring di tempat tidur, pikirannya terus memutar ulang momen pertemuannya dengan Selina. Ada sesuatu tentang gadis itu yang terasa berbeda.

Di sisi lain, Selina duduk di kamar kosnya, memandangi layar ponsel. Dia menatap profil Kian di aplikasi pertemanan mereka, sambil tersenyum kecil.

"Dokter yang santai, tapi dalam banget," batinnya.

Tanpa mereka sadari, malam itu menjadi awal dari cerita yang akan mengubah hidup mereka berdua

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku