Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terbuang Oleh Fitnah Saudara Tiri

Terbuang Oleh Fitnah Saudara Tiri

Mrs. Ais

5.0
Komentar
2
Penayangan
5
Bab

Fathur mengalami kemunduran setelah difitnah oleh saudara tirinya, Aray, sebagai dalang penggelapan uang perusahaan ayahnya dan diusir oleh Meilseoir. Fathur harus menghadapi kehidupan jalanan. Sementara itu, Aray senang melihat kehancuran Fathur dan bersiap mengambil alih kekayaan keluarga. Ia tak terima dengan perlakuan Aray yang selalu menjadi duri dalam hidupnya. Fathur merencanakan balas dendam yang cerdik dengan merekrut mantan sekretarisnya Olivia untuk berperan sebagai pakar bisnis guna mengungkap skandal korupsi Fathur. Akankah Fathur berhasil mengambil alih kekayaan keluarganya?

Bab 1 Fitnah

Ruang keluarga yang elegan namun tegang. Aray berdiri dengan sikap menuduh sementara Fathur duduk di sofa, terlihat gelisah. Papa mereka, Tuan Meilseoir, duduk di kursi utama, mengamati keduanya dengan wajah serius.

"Fathur, aku sudah cukup dengan semua kepura-puraan ini. Bagaimana bisa kau mengkhianati kepercayaan keluarga dengan melakukan korupsi di perusahaan Ayah?" ujar Aray dengan tatapan Sinis.

"Apa yang kamu bicarakan? Aku tidak pernah melakukan korupsi!" ucap Fathur terkejut dengan pernyataan Aray.

"Fathur, Aray telah menunjukkan bukti kepadaku. Ada laporan keuangan yang mencurigakan dan tanda tanganmu ada di situ. Jelaskan ini." pekik Ayah Meilsoir.

"Fathur sama sekali tidak tahu soal ini," kata Fathur.

"Buktikan jika ucapanmu itu benar!" Meilseoir dan Aray pergi meninggalkan Fathur dengan sebuah tanda tanya.

"Bagaimana bisa Aray melakukan ini padaku?" Fathur bertanya pada dirinya sendiri

mencari jawaban dalam kerumunan pikirannya yang berkecamuk. Di balik

pandangan matanya yang terpaku pada langit ada pertarungan internal yang tak

terlihat. Keraguan merajalela dan kepercayaan pada dirinya sendiri mulai memudar.

"Apakah mungkin ada benih kebenaran dalam tuduhan ini?" desisnya lagi

menghadapi kebingungan yang tidak terduga.

Di tengah kekecewaan dan konflik batin yang meradang Fathur mencoba merangkul

ketidakpastian. Dalam keheningan yang melingkupi dirinya merajut rencana untuk

membuktikan kebenaran. Senja menjadi saksi bisu dari perjuangan batin Fathur dan

langit yang semakin gelap seolah mencerminkan tantangan yang semakin berat.

Namun di dalam dirinya cahaya tekad dan keinginan untuk mengembalikan

kehormatannya bersinar menciptakan harapan yang bertahan di tengah badai fitnah

tidak kunjung reda. Fathur berjalan menuju dapur untuk mengambil minum karena

tenggorokannyamulai terasa kering. Di saat Fathur melewati ruang tamu yang terang

benderang.

Aray menyindir dengan sinis. "Siapa sangka Fathur pewaris keluarga Meilseoir bisa

terlibat dalam skandal seburuk ini?" Meski Fathur mencoba menjelaskan dengan

kata-kata penuh emosi rasa marah dan kesedihannya sulit diungkapkan secara

sepenuhnya.

"Ini semua fitnah Aray! Aku tidak terlibat dalam apa pun yang kau tuduhkan,"

ucapnya dengan nada tegas, mencoba menembus tembok ketidakpercayaan yang

tumbuh di antara mereka. Tatapan dingin Aray seperti es yang tidak kenal belas

kasihan menyatakan ketidakpercayaan mendalam.

"Kau bisa bicara sepanjang hari Fathur tapi bukti sudah ada di sana," ujar Aray

dengan sinis menguatkan posisinya tanpa sedikitpun menunjukkan keraguan.

Konfrontasi verbal ini menciptakan jurang yang semakin lebar di antara kedua

saudara itu Fathur berusaha mengendalikan gejolak emosinya tetapi keputusasaan

melilitnya.

"Aku tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi," tambahnya dengan suara serak,

mencerminkan kebingungan dan ketidakpercayaan pada situasi yang tidak dipahami

sepenuhnya sementara itu Aray tertawa dingin menciptakan atmosfer tegang di

ruangan itu.

"Mungkin sudah waktunya seseorang yang lebih mampu mengambil alih keluarga

Ini," ucapnya merendahkan Fathur lebih jauh.

Dalam atmosfer yang tegang Fathur mencoba meresapi setiap kata yang

dilemparkan Aray meskipun usahanya untuk membela diri dengan kata-kata penuh

emosi, rasa marah dan kesedihannya masih terpendam dalam relung hatinya yang

dalam.

"Tapi Aray kau harus percaya padaku kalau semua permainan yang direncanakan."

Fathur berusaha menjelaskan tetapi ketidakpercayaan saudara tirinya semakin

menjadi tembok yang sulit ditembus. Tatapan dingin Aray seperti pisau yang

menusuk langsung ke hati Fathur meruntuhkan setiap serpihan harapan yang

tersisa. Di sudut ruangan yang gelap keputusasaan Fathur semakin meluap.

"Aku hanya ingin keadilan," desahnya dengan suara lembut,

mencerminkankebingungan dan kehilangan yang terasa begitu berat. Konflik

batinnya semakin memuncak memaksa Fathur untuk berhadapan dengan

ketidakpastian yang menghantuinya namun Aray tidak menyurutkan sikapnya.

"Keadilan Fathur? Kau hanya mengubur dirimu lebih dalam dengan setiap kata yang

kau ucapkan!" sindir Aray dengan dingin mengukir luka lebih dalam pada hati Fathur

yang sudah terluka.

Dalam sudut gelap ruangan Fathur merenung mencoba menemukan kekuatan di

tengah keputusasaan yang melanda. Meskipun Aray terus menghujani dengan

sindiran tajam Fathur tidak bisa menyingkirkan rasa keadilan yang membakar di

dalam dirinya.

"Kau bisa meremehkan aku sepuasnya Aray tapi kebenaran akan terungkap," ucap

Fathur dengan tekad yang masih tersisa. Meski terdengar lemah suaranya penuh

dengan keyakinan bahwa kebenaran akan menjadi pelindung terakhirnya. Tatapan

dingin Aray tidak berubah seakan-akan menolak untuk memberikan ruang untuk

pertimbangan.

"Kau masih saja berusaha Fathur mungkin ini saatnya untuk mengakui

Kegagalanmu," sindirnya mencoba meruntuhkan semangat Fathur namun Fathu

tidak mundur.

"Aku tidak akan menyerah kau mungkin memenangkan pertempuran ini tapi bukan

akhir dari perjuanganku," kata Fathur dengan penuh keberanian. Konflik batinnya

mungkin menciptakan kegelapan tetapi dalam kegelapan itu terpendam tekad yang

belum padam. Suasana pagi di ruang makan dipenuhi dengan ketegangan yang

nyaris terabaikan. Fathur duduk di ujung meja menyibak surat kabar tetapi

pikirannya melayang ke setiap langkah yang telah diambilnya untuk membersihkan

namanya. Aray di sisi lain menyipitkan mata dengan kepuasan menikmati dampak

setiap intrik yang telah direncanakannya.

"Fathur, apakah kau benar-benar yakin bahwa ini langkah yang benar?" ucap Aray

dengan senyum sinis. Fathur menoleh pandangannya bertemu dengan sorot mata

dingin Aray.

"Aku hanya mencari kebenaran Aray. Itu yang seharusnya dilakukan oleh setiap

anggota keluarga,'' sahut Fathur dengan tegas. Aray justru tertawa kecil seolah

mengejek tekad Fathur.

"Kau selalu menjadi pahlawan bukan? Tapi mungkin hanya keluarga yang

membutuhkan pemimpin yang lebih tegas." Fathur menahan diri untuk tidak

terpancing emosi.

"Pemimpin sejati tidak membutuhkan fitnah atau intrik untuk membuktikan

kekuatannya." Aray bangkit dari kursinya meninggalkan meja sarapan

denganlangkahnya yang mantap meninggalkan Fathur dalam keheningan yang

sarat akan pertentangan dan intrik kelam yang terus merajalela dalam keluarga

Meilseoir.

"Ayah ini pasti ada kesalahpahaman aku tidak pernah berniat mengkhianati

keluarga,'' ucap Fathur tetapi suasana semakin tegang ketika Meilseoir tidak

mengindahkan kata-kata Fathur. Sementara itu suara perang pisau masih terdengar

di udara menggiring ketegangan ke tingkat lebih tinggi Fathur berusaha meredakan

situasi,

"Ayah, kita bisa bicarakan ini dengan tenang aku ingin membuktikan bahwa aku

tidak bersalah." Meilseoir menunjukkan ekspresi wajah yang tidak tergoyahkan.

"Bukti sudah cukup Fathur. Aku tidak ingin punya anak yang tidak bisa dipercaya.

Pergilah!" usir Meilseoir.

"Tapi ayah!" Fathur berteriak dengan suara penuh keputusasaan mencoba

memohon agar Meilseoir mendengarkan penjelasannya.

"Pelayanan! Tolong seret anak ini keluar dari rumah saya!" perintah Meilseoir tegas

kepada pelayanannya tanpa memberi kesempatan pada Fathur untuk menjelaskan.

"Maaf Tuan Fathur saya harus menuruti perintah Tuan Meilseoir silahkan ikuti saya."

Di balik pintu kamarnya Aray tersenyum senang menyambut kemenangan

merasakan kepuasan atas kegagalan Fathur.

"Selamat tinggal parasit!" gumamnya dengan nada merendahkan. Fathur terpaksa

mengikuti pelayan yang menuntunnya keluar dari rumah yang pernah ia panggil

sebagai rumah sendiri sementara itu Aray masih menyaksikan dengan senyum

penuh kemenangan.

"Ayah harap dengarkan aku," ucap Fathur sekali lagi sebelum pintu tertutup di

Depannya.

"Cukup Fathur. Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah keputusan ini aku kecewa

padamu." Fathur keluar dari rumah, meninggalkan kenangan dan harapan yang

hancur. Suara pisau di udara menjadi simbol kehancuran hubungan mereka. Aray

hanya tertawa puas di balik pintu menikmati pemandangan kekalahan saudara

tirinya.

Berjalan keluar dari gerbang rumah Fathur merasakan hembusan angin yang seolah

menyiratkan akhir dari segala harapan. Hatinya hancur namun tekadnya masih terus

berkobar untuk membuktikan ketidakbersalahannya. Di dalam rumah Meilseoir

duduk sendiri merenungkan keputusannya. Sedikit keraguan mulai menyelinap di

benaknya tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya.

"Bagus sekali ayah akhirnya dia keluar dari hidup kita." Meilseoir menatap Aray

dengan perasaan campur aduk.

"Ini bukan saat yang mudah Aray, apakah keputusan ini benar?" tanya ayah

Meilseoir.

"Tentu saja ayah kita tidak boleh punya orang yang tidak bisa dipercaya di sini,'' ujar

Aray.

"Ayah belum yakin jika Fathur adalah pelakunya, Ar," ucap Meilseoir dengan suara

ragu. Namun dibalik keteguhan Meilseoir ada keraguan yang masih bergelayut di

hatinya.

"Itu karena ayah terlalu sayang dan percaya dengan Fathur. Fathur itu licik dan bukti

pun sudah jelas."

Meilseoir mengangguk perlahan mencoba memproses kata-kata Aray dan

menyusun kembali pemikirannya.

"Kamu benar, Aray tapi hatiku masih ragu.''

"Ayah, aku hanya ingin melindungi keluarga kita dari orang-orang yang tidak bisa

dipercaya kita harus tetap kuat," ucap Aray.

"Kamu benar Aray kita harus melanjutkan hidup ini tanpa Fathur." Aray tersenyum

penuh kemenangan ayah Meilseoir akhirnya mengikuti perkataannya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku