Fathur mengalami kemunduran setelah difitnah oleh saudara tirinya, Aray, sebagai dalang penggelapan uang perusahaan ayahnya dan diusir oleh Meilseoir. Fathur harus menghadapi kehidupan jalanan. Sementara itu, Aray senang melihat kehancuran Fathur dan bersiap mengambil alih kekayaan keluarga. Ia tak terima dengan perlakuan Aray yang selalu menjadi duri dalam hidupnya. Fathur merencanakan balas dendam yang cerdik dengan merekrut mantan sekretarisnya Olivia untuk berperan sebagai pakar bisnis guna mengungkap skandal korupsi Fathur. Akankah Fathur berhasil mengambil alih kekayaan keluarganya?
Ruang keluarga yang elegan namun tegang. Aray berdiri dengan sikap menuduh sementara Fathur duduk di sofa, terlihat gelisah. Papa mereka, Tuan Meilseoir, duduk di kursi utama, mengamati keduanya dengan wajah serius.
"Fathur, aku sudah cukup dengan semua kepura-puraan ini. Bagaimana bisa kau mengkhianati kepercayaan keluarga dengan melakukan korupsi di perusahaan Ayah?" ujar Aray dengan tatapan Sinis.
"Apa yang kamu bicarakan? Aku tidak pernah melakukan korupsi!" ucap Fathur terkejut dengan pernyataan Aray.
"Fathur, Aray telah menunjukkan bukti kepadaku. Ada laporan keuangan yang mencurigakan dan tanda tanganmu ada di situ. Jelaskan ini." pekik Ayah Meilsoir.
"Fathur sama sekali tidak tahu soal ini," kata Fathur.
"Buktikan jika ucapanmu itu benar!" Meilseoir dan Aray pergi meninggalkan Fathur dengan sebuah tanda tanya.
"Bagaimana bisa Aray melakukan ini padaku?" Fathur bertanya pada dirinya sendiri
mencari jawaban dalam kerumunan pikirannya yang berkecamuk. Di balik
pandangan matanya yang terpaku pada langit ada pertarungan internal yang tak
terlihat. Keraguan merajalela dan kepercayaan pada dirinya sendiri mulai memudar.
"Apakah mungkin ada benih kebenaran dalam tuduhan ini?" desisnya lagi
menghadapi kebingungan yang tidak terduga.
Di tengah kekecewaan dan konflik batin yang meradang Fathur mencoba merangkul
ketidakpastian. Dalam keheningan yang melingkupi dirinya merajut rencana untuk
membuktikan kebenaran. Senja menjadi saksi bisu dari perjuangan batin Fathur dan
langit yang semakin gelap seolah mencerminkan tantangan yang semakin berat.
Namun di dalam dirinya cahaya tekad dan keinginan untuk mengembalikan
kehormatannya bersinar menciptakan harapan yang bertahan di tengah badai fitnah
tidak kunjung reda. Fathur berjalan menuju dapur untuk mengambil minum karena
tenggorokannyamulai terasa kering. Di saat Fathur melewati ruang tamu yang terang
benderang.
Aray menyindir dengan sinis. "Siapa sangka Fathur pewaris keluarga Meilseoir bisa
terlibat dalam skandal seburuk ini?" Meski Fathur mencoba menjelaskan dengan
kata-kata penuh emosi rasa marah dan kesedihannya sulit diungkapkan secara
sepenuhnya.
"Ini semua fitnah Aray! Aku tidak terlibat dalam apa pun yang kau tuduhkan,"
ucapnya dengan nada tegas, mencoba menembus tembok ketidakpercayaan yang
tumbuh di antara mereka. Tatapan dingin Aray seperti es yang tidak kenal belas
kasihan menyatakan ketidakpercayaan mendalam.
"Kau bisa bicara sepanjang hari Fathur tapi bukti sudah ada di sana," ujar Aray
dengan sinis menguatkan posisinya tanpa sedikitpun menunjukkan keraguan.
Konfrontasi verbal ini menciptakan jurang yang semakin lebar di antara kedua
saudara itu Fathur berusaha mengendalikan gejolak emosinya tetapi keputusasaan
melilitnya.
"Aku tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi," tambahnya dengan suara serak,
mencerminkan kebingungan dan ketidakpercayaan pada situasi yang tidak dipahami
sepenuhnya sementara itu Aray tertawa dingin menciptakan atmosfer tegang di
ruangan itu.
"Mungkin sudah waktunya seseorang yang lebih mampu mengambil alih keluarga
Ini," ucapnya merendahkan Fathur lebih jauh.
Dalam atmosfer yang tegang Fathur mencoba meresapi setiap kata yang
dilemparkan Aray meskipun usahanya untuk membela diri dengan kata-kata penuh
emosi, rasa marah dan kesedihannya masih terpendam dalam relung hatinya yang
dalam.
"Tapi Aray kau harus percaya padaku kalau semua permainan yang direncanakan."
Fathur berusaha menjelaskan tetapi ketidakpercayaan saudara tirinya semakin
menjadi tembok yang sulit ditembus. Tatapan dingin Aray seperti pisau yang
menusuk langsung ke hati Fathur meruntuhkan setiap serpihan harapan yang
tersisa. Di sudut ruangan yang gelap keputusasaan Fathur semakin meluap.
"Aku hanya ingin keadilan," desahnya dengan suara lembut,
mencerminkankebingungan dan kehilangan yang terasa begitu berat. Konflik
batinnya semakin memuncak memaksa Fathur untuk berhadapan dengan
ketidakpastian yang menghantuinya namun Aray tidak menyurutkan sikapnya.
"Keadilan Fathur? Kau hanya mengubur dirimu lebih dalam dengan setiap kata yang
kau ucapkan!" sindir Aray dengan dingin mengukir luka lebih dalam pada hati Fathur
yang sudah terluka.
Dalam sudut gelap ruangan Fathur merenung mencoba menemukan kekuatan di
tengah keputusasaan yang melanda. Meskipun Aray terus menghujani dengan
sindiran tajam Fathur tidak bisa menyingkirkan rasa keadilan yang membakar di
dalam dirinya.
"Kau bisa meremehkan aku sepuasnya Aray tapi kebenaran akan terungkap," ucap
Fathur dengan tekad yang masih tersisa. Meski terdengar lemah suaranya penuh
dengan keyakinan bahwa kebenaran akan menjadi pelindung terakhirnya. Tatapan
dingin Aray tidak berubah seakan-akan menolak untuk memberikan ruang untuk
pertimbangan.
"Kau masih saja berusaha Fathur mungkin ini saatnya untuk mengakui
Kegagalanmu," sindirnya mencoba meruntuhkan semangat Fathur namun Fathu
tidak mundur.
"Aku tidak akan menyerah kau mungkin memenangkan pertempuran ini tapi bukan
akhir dari perjuanganku," kata Fathur dengan penuh keberanian. Konflik batinnya
mungkin menciptakan kegelapan tetapi dalam kegelapan itu terpendam tekad yang
belum padam. Suasana pagi di ruang makan dipenuhi dengan ketegangan yang
nyaris terabaikan. Fathur duduk di ujung meja menyibak surat kabar tetapi
pikirannya melayang ke setiap langkah yang telah diambilnya untuk membersihkan
namanya. Aray di sisi lain menyipitkan mata dengan kepuasan menikmati dampak
setiap intrik yang telah direncanakannya.
"Fathur, apakah kau benar-benar yakin bahwa ini langkah yang benar?" ucap Aray
dengan senyum sinis. Fathur menoleh pandangannya bertemu dengan sorot mata
dingin Aray.
"Aku hanya mencari kebenaran Aray. Itu yang seharusnya dilakukan oleh setiap
anggota keluarga,'' sahut Fathur dengan tegas. Aray justru tertawa kecil seolah
mengejek tekad Fathur.
"Kau selalu menjadi pahlawan bukan? Tapi mungkin hanya keluarga yang
membutuhkan pemimpin yang lebih tegas." Fathur menahan diri untuk tidak
terpancing emosi.
"Pemimpin sejati tidak membutuhkan fitnah atau intrik untuk membuktikan
kekuatannya." Aray bangkit dari kursinya meninggalkan meja sarapan
denganlangkahnya yang mantap meninggalkan Fathur dalam keheningan yang
sarat akan pertentangan dan intrik kelam yang terus merajalela dalam keluarga
Meilseoir.
"Ayah ini pasti ada kesalahpahaman aku tidak pernah berniat mengkhianati
keluarga,'' ucap Fathur tetapi suasana semakin tegang ketika Meilseoir tidak
mengindahkan kata-kata Fathur. Sementara itu suara perang pisau masih terdengar
di udara menggiring ketegangan ke tingkat lebih tinggi Fathur berusaha meredakan
situasi,
"Ayah, kita bisa bicarakan ini dengan tenang aku ingin membuktikan bahwa aku
tidak bersalah." Meilseoir menunjukkan ekspresi wajah yang tidak tergoyahkan.
"Bukti sudah cukup Fathur. Aku tidak ingin punya anak yang tidak bisa dipercaya.
Pergilah!" usir Meilseoir.
"Tapi ayah!" Fathur berteriak dengan suara penuh keputusasaan mencoba
memohon agar Meilseoir mendengarkan penjelasannya.
"Pelayanan! Tolong seret anak ini keluar dari rumah saya!" perintah Meilseoir tegas
kepada pelayanannya tanpa memberi kesempatan pada Fathur untuk menjelaskan.
"Maaf Tuan Fathur saya harus menuruti perintah Tuan Meilseoir silahkan ikuti saya."
Di balik pintu kamarnya Aray tersenyum senang menyambut kemenangan
merasakan kepuasan atas kegagalan Fathur.
"Selamat tinggal parasit!" gumamnya dengan nada merendahkan. Fathur terpaksa
mengikuti pelayan yang menuntunnya keluar dari rumah yang pernah ia panggil
sebagai rumah sendiri sementara itu Aray masih menyaksikan dengan senyum
penuh kemenangan.
"Ayah harap dengarkan aku," ucap Fathur sekali lagi sebelum pintu tertutup di
Depannya.
"Cukup Fathur. Tidak ada kata-kata yang bisa mengubah keputusan ini aku kecewa
padamu." Fathur keluar dari rumah, meninggalkan kenangan dan harapan yang
hancur. Suara pisau di udara menjadi simbol kehancuran hubungan mereka. Aray
hanya tertawa puas di balik pintu menikmati pemandangan kekalahan saudara
tirinya.
Berjalan keluar dari gerbang rumah Fathur merasakan hembusan angin yang seolah
menyiratkan akhir dari segala harapan. Hatinya hancur namun tekadnya masih terus
berkobar untuk membuktikan ketidakbersalahannya. Di dalam rumah Meilseoir
duduk sendiri merenungkan keputusannya. Sedikit keraguan mulai menyelinap di
benaknya tetapi ia tetap teguh dengan keputusannya.
"Bagus sekali ayah akhirnya dia keluar dari hidup kita." Meilseoir menatap Aray
dengan perasaan campur aduk.
"Ini bukan saat yang mudah Aray, apakah keputusan ini benar?" tanya ayah
Meilseoir.
"Tentu saja ayah kita tidak boleh punya orang yang tidak bisa dipercaya di sini,'' ujar
Aray.
"Ayah belum yakin jika Fathur adalah pelakunya, Ar," ucap Meilseoir dengan suara
ragu. Namun dibalik keteguhan Meilseoir ada keraguan yang masih bergelayut di
hatinya.
"Itu karena ayah terlalu sayang dan percaya dengan Fathur. Fathur itu licik dan bukti
pun sudah jelas."
Meilseoir mengangguk perlahan mencoba memproses kata-kata Aray dan
menyusun kembali pemikirannya.
"Kamu benar, Aray tapi hatiku masih ragu.''
"Ayah, aku hanya ingin melindungi keluarga kita dari orang-orang yang tidak bisa
dipercaya kita harus tetap kuat," ucap Aray.
"Kamu benar Aray kita harus melanjutkan hidup ini tanpa Fathur." Aray tersenyum
penuh kemenangan ayah Meilseoir akhirnya mengikuti perkataannya.