Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Bangkitnya Istri yang Terbuang

Bangkitnya Istri yang Terbuang

Yulistriani

5.0
Komentar
2.4K
Penayangan
17
Bab

Pergi! Ayo cepat pergi!" Radit melempar tas ransel berisi pakaian ke arah Dian dengan wajah memerah. Wanita yang baru saja datang itu heran dengan perlakuan suaminya yang seketika berubah. Di ambang pintu telah berdiri seorang wanita dengan pakaian kurang bahannya, ia menatap sinis dengan bibir menyeringai. "Mas, kamu tega usir aku yang lagi hamil anak kamu?" Dian mengiba, berharap masih ada secercah rasa kasihan di hati suaminya, setidaknya untuk calon anak mereka yang saat ini berusia delapan bulan di kandungan.

Bab 1 Titik Nadir

"Pergi! Ayo cepat pergi!"

Radit melempar tas ransel berisi pakaian ke arah Dian dengan wajah memerah. Wanita yang baru saja datang itu heran dengan perlakuan suaminya yang seketika berubah.

Di ambang pintu telah berdiri seorang wanita dengan pakaian kurang bahannya, ia menatap sinis dengan bibir menyeringai.

"Mas, kamu tega usir aku yang lagi hamil anak kamu?"

Dian mengiba, berharap masih ada secercah rasa kasihan di hati suaminya, setidaknya untuk calon anak mereka yang saat ini berusia delapan bulan di kandungan.

"Aku gak peduli, dia bukan anakku, dia anak hasil perselingkuhan kamu sama laki-laki itu, cih! Tak sudi memungut anak haram itu."

Radit murka lalu masuk ke dalam rumah membuat mata Dian membulat seketika lantaran ketidakpedulian suaminya.

Radit nampak marah besar, urat-urat di lehernya menonjol, bahkan sebelum pergi ia tega meludahi Dian. Sementara Raya dan ibunya menatap sinis ke arah Dian, mereka tersenyum menyeringai melihat penderitaan wanita hamil itu.

Dada Dian terasa sesak diperlakukan hina oleh suaminya sendiri, suami yang dulu berjanji akan selalu melindungi dan mencintai sepenuh jiwa.

"Silakan pergi, jangan ganggu suamiku lagi!"

Kali ini Raya bicara sembari menyilangkan kedua tangan di dada.

"Dian, anak haram kayak kamu itu cuma bisa jadi ibu dari anak haram juga."

Indira ikut menimpali, Ibu kandung Raya itu tersenyum sinis.

"Kalian dengar, saya bukan anak haram. Satu lagi, anak yang saya kandung ini anak biologis Mas Radit," sergah Dian membela diri, "justru anak di dalam kandungan Raya yang entah siapa ayahnya," balas Dian sinis.

"kamu!"

Raya mengangkat tangannya hendak melayangkan tamparan ke arah pipi Dian.

"Apa? Mau tampar, tampar silakan!"

Dian mengancam, ia sama sekali tak gentar oleh layangan tangan sepupu pengkhianat itu, justru Dian mendekatkan pipinya ke arah Raya untuk menantang emosinya. Wanita itu sudah muak dengan semua keangkuhan mereka.

Dian melangkah pergi meninggalkan rumah dan suami yang selama ini menemani, wanita itu berjanji akan mengambil semua hak-haknya, tak mau lagi diinjak-injak oleh mereka, Dian tak boleh terus mengalah, ini saatnya Dian harus bahagia, catatan kelam kehidupan harus berganti dengan catatan kebahagiaan.

Raya adalah sepupu Dian dan Indira adalah adik kandung dari ibunya, tetapi dari dulu mereka tak pernah menyayangi Dian laksana keluarga.

Bahkan saat Nenek Dian masih ada pun wanita malang itu selalu dibedakan oleh mereka. Sementara ibunya lebih memilih menjadi istri kedua laki-laki lain dan meninggalkan Dian, sedangkan ayahnya entah siapa. Ibu kandung Dian melahirkan tanpa ikatan pernikahan dengan lelaki manapun. Membuat hidup Dian terhina dan tak punya harga diri.

Dian berjuang menempuh pendidikan tinggi lalu dipersunting oleh Radit, pemilik perusahaan material bangunan yang memiliki beberapa cabang di negeri ini. Hidup keduanya rukun dan bahagia, tetapi semua berubah saat Raya dan Indira kembali hadir dalam kehidupan Dian.

Nasi sudah menjadi bubur, kebaikan Dian pada Raya dan Indira tak pernah berarti di matanya, mereka bak singa peliharaan yang memangsa tuannya. Kini Dian tak lagi mau dibodohi mereka, pengusiran ini sudah cukup menjadi penghinaan perih yang menghunus jiwanya.

Dengan berat hati Dian melanjutkan perjalanan sambil mengelus perut yang semakin membuncit, berjalan tak memiliki tujuan, seketika bayangan kelam masa kecil berkelebat di benaknya bagaikan slide film yang tengah dipertontonkan.

"Nek, tadi Dian dikasih sate sama Om Damar," ucapnya dengan mata berbinar.

Dian bahagia karena bisa menikmati makanan mewah bersama-sama dengan orang yang ia sayang.

"Wah, wanginya enak banget," ucap Raya yang tengah asyik menonton TV, ia segera berlari ke arah Dian lalu mengambil satu tusuk sate dan memakannya dengan lahap.

"Raya, aku juga belum makan, kita barengan ih," kata Dian pada Raya saat ia mengambil lagi satu tusuk padahal di tangannya sudah habis satu tusuk.

"Pelit amat sih kamu Dian, timbang makanan begini doang, Ayah sama Bunda aku juga bisa beliin banyak kalau mereka pulang nanti," balas Raya kecil dengan sombongnya.

"Iya kamu ini Dian, begitu saja pelit, barengan lah makan itu."

Nenek menimpali tanpa melihat wajah Dian. Bukannya membela, wanita tua itu pun malah ikut menyalahkannya.

Nenek Dian berjalan mendekati mereka yang tengah rebutan sate, lalu Nenek memberikan dua tusuk sate pada Dian, sisanya sang Nenek berikan pada Raya.

"Sudah, kamu dua saja, sisanya buat Raya."

Nenek memberikan sisa sate yang Dian hitung masih delapan tusuk itu pada Raya.

Hati Dian kecil sangat sedih, padahal Om Damar memberikan sate itu untuknya, tapi saat dibawa pulang Dian hanya boleh makan dua tusuk saja.

Dian tak berani melawan meski ia ingin melawan, gadis kecil itu membawa dua tusuk sate dan piring nasi ke dapur, hatinya kian sakit karena selalu dibedakan oleh Nenek.

Dian menyuap nasi dan sate ke dalam mulutnya dengan air mata yang tak mampu terbendung, bukan karena sate yang diberikan kurang, melainkan karena perlakuan sang Nenek yang kerap pilih kasih.

Setiap hari pun Dian tak pernah diberi jajan oleh sang Nenek, sedih rasanya jika waktu istirahat di sekolah semua temannya jajan, sedangkan Dian hanya minum air putih yang dibawa dari rumah menggunakan botol bekas air mineral.

Tapi Dian cukup tahu diri, ia tak pernah meminta uang jajan pada Neneknya saat wanita tua itu memberi uang jajan pada Raya, karena Dian sadar tak memiliki orang tua yang menitipkan uang jajan pada sang Nenek. Kadang sesekali ada orang baik yang memberinya uang sehingga bisa jajan es atau cilok seperti teman lainnya.

"Dian, nih cuci piringnya."

Raya melempar piring plastik bekas makannya ke arah Dian.

Sang Nenek hanya melirik sekilas saat Raya memperlakukan Dian bagai pembantu, tak menegurnya atau membelanya. Dian tahu, Neneknya pasti tak berani menegur Raya, karena pasti sang Nenek akan dimarahi habis-habisan oleh Indira. Ibu kandung Indira itu tak berani menegur anak keduanya karena hidupnya ditanggung oleh Indira.

Pembagian raport kenaikan kelas enam masih setengah jam lagi, Dian bermain dengan temannya yang lain, tapi lagi-lagi gadis kecil itu memilih bermain sendiri saat temannya hendak jajan. Malu jika ikut mereka sedangkan Dian tak punya uang, takut disangka celamitan.

"Ma, baksonya enak banget, terima kasih ya sudah belikan Raya sama teman-teman bakso, Mama baik deh."

Sepupu Dian itu bergelayut manja di pundak ibunya. Sementara Dian menoleh ke arah pedagang bakso keliling saat mendengar sumber suara yang tak asing di telinga, ternyata di sana ada Indira yang sedang membelikan Raya dan teman-temannya semangkuk bakso, Raya dan teman-temannya terlihat begitu bahagia.

"Kok Tante Indira gak beliin aku ya, padahal aku keponakannya sendiri," gumam Dian pelan, hatinya sakit melihat Tante sendiri mentraktir orang lain, sedangkan dirinya tak dihiraukan, padahal Indira melihat Dian mematung seorang diri saat ditinggal teman-temannya jajan tadi.

"Dian, sini!"

Indira memanggil, gadis kecil itu segera berlari ke arahnya yang masih menikmati semangkuk bakso, mungkinkah Dian hanya terlalu terbawa perasaan, pasti Indira kasihan melihat keponakannya tak jajan, wanita itu pasti akan membelikan Dian semangkuk bakso juga. Dengan perasaan bahagia gadis kecil itu menghampiri mereka sambil berlari.

"Iya Tan, kenapa?" tanya Dian dengan wajah berbinar, berharap Indira akan memesankan bakso untuknya.

"Kamu mau?" tanya Indira, membuat mata Dian semakin berbinar bahagia.

"Iya mau, Tan." Dian mengangguk cepat.

"Nih...." Indira menyodorkan mangkuk yang hanya tersisa kuahnya saja.

"Apa ini, Tan?" tanyanya heran.

"Katanya mau, nih makan."

Indira menaruh mangkuk berisi kuah ke atas tanah, kebetulan mereka makan bakso dengan duduk di atas matras, karena matras itu penuh oleh teman-teman Raya, maka Indira menaruh mangkuknya di atas tanah.

"Tapi ini tinggal kuahnya saja Tan."

Dian protes sambil menatap mangkuk berisi kuah.

"Iya memang, tapi kuah juga enak kok, bisa makan kuah bakso saja harusnya kamu bersyukur, jarang kan makan bakso?"

Meski bertanya, tetapi perkataan Indira terdengar seperti ledekan di telinga Dian. Karena rasa lapar yang mendera, terpaksa Dian menerima pemberian dari Indira.

"I_iya Tan, terima kasih ya," balas Dian lalu melahap kuah bakso, dengan sekuat tenaga menahan air mata agar tak tumpah.

Beeeepp ... beepp....

Suara klakson mobil membuyarkan lamunan Dian tentang kepedihan masa kecilnya bersama dua mahluk berhati iblis. Hampir saja wanita hamil itu terjungkal saking kagetnya.

"Eh Bu, jalan jangan ke tengah-tengah dong, mau mati apa?" hardik pemilik mobil itu.

"I_iya, maaf Pak," jawab Dian dengan perasaan bersalah.

'Ya Allah, aku harus ke mana sekarang?'

Dian bergumam dalam hati sembari menatap langit yang kian gelap, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

"Kenapa Raya dan Tante Indira selalu jahat dan tak pernah bisa melihatku bahagia? Kenapa mereka selalu menghancurkan kebahagiaanku? Aku sudah berjuang keras untuk mendapatkan kebahagiaan dengan bersekolah tinggi dan mendapatkan suami yang mapan, tapi lagi-lagi Raya datang menghancurkan semuanya dengan memfitnahku. Kenapa harus kamu, Raya?"

Dian berbicara sendiri sambil menangis.

"Mungkin saat ini kita kalah Nak, tapi kita gak boleh menyerah, kita harus membalas semua perbuatan mereka, mereka harus membayar luka masa kecil Mama, juga membayar luka karena telah merebut hak yang seharusnya milikmu."

Dian mengelus perut dengan lembut lalu menatap langit yang kian mendung laksana hati dan kehidupannya.

Meskipun perih, tetapi dia yakin akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada bahagia setelah air mata, badai akan sirna dan langit cerah akan membentang, wanita dengan perut buncit itu terus memberikan energi positif pada dirinya sendiri untuk tetap bertahan dan bangkit.

"Lihat saja Raya, jika kamu anggap aku sebagai musuh, mari kita mulai permainan ini dan lihatlah siapa yang akan menangis nantinya."

Dian tersenyum sinis membayangkan rencana demi rencana yang akan ia jalankan untuk memberi pelajaran pada Raya dan Indira. Sementara tangannya mengepal kuat hingga uratnya menonjol.

Bersambung.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku