Fitnah Menjadi Janda

Fitnah Menjadi Janda

Uci Ekaputra

5.0
Komentar
3.6K
Penayangan
33
Bab

Baru beberapa hari menikah Laras sudah ditinggal oleh suaminya untuk selama-lamanya membuat Laras menyandang status janda. Fitnah pun datang silih berganti menghampirinya. Akankah Laras sanggup menghadapi fitnah yang datang karena statusnya itu?

Bab 1 Kehilangan

Awan mendung semakin menggelap pertanda hujan akan segera turun, angin berhembus dengan kencang, cuaca semakin bertambah dingin, tapi tak juga membuatku beranjak dari area pemakaman. Sudah satu jam aku berdiam diri di sini, orang-orang pun sudah beranjak pergi dari tadi. Aku masih memandang hampa gundukan tanah di depanku, air mataku masih tetap luruh tanpa henti.

Aku sedang terduduk di samping makam Mas Haris, suamiku yang masih beberapa hari lalu menghalalkanku. Mas Haris meninggal karena kecelakaan saat kami akan pergi berbulan madu.

Aku masih mengingat jelas permintaanku kepada Mas Haris untuk berbulan madu di pulau Komodo, aku sangat ingin melihat pantai dengan pasir berwarna pink di sana.

***

"Setelah kita menikah, kamu mau pergi berlibur kemana, Ras?" tanya Mas Haris padaku ketika kami sedang makan siang bersama.

Kami baru saja pulang dari butik untuk mengambil kebaya yang akan kupakai di acara pernikahan kami, kebetulan di sebelah butik tersebut ada sebuah restoran, jadi kami memutuskan untuk makan siang di sana.

"Aku ingin pergi ke Labuan bajo, Mas. Aku penasaran dengan pantai Pink di sana," jawabku dengan wajah berbinar. "Aku ingin melihat pasir di sana yang berwarna pink itu, kata Winda pemandangan di sana sangat indah," tambahku. Winda adalah teman sekaligus rekan kerjaku.

"Baiklah, apapun mau tuan putri akan aku penuhi. Aku akan membawamu melihat pantai itu," sahut Mas Haris sembari tersenyum lembut.

"Benarkah, Mas?" tanyaku dengan wajah semringah. Tak dapat kusembunyikan bagaimana bahagianya hatiku ketika Mas Haris memenuhi permintaanku.

"Tentu saja, aku akan memenuhi permintaanmu, aku akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia karena sudah mau menikah denganku," jawab Mas Haris.

Aku mengembangkan senyum mendengar jawaban dari Mas Haris. Pipiku merona karena ucapan Mas Haris yang sangat manis. Hatiku berbunga-bunga, aku sangat bahagia karena mempunyai calon suami seperti Mas Haris. Walaupun kami dijodohkan oleh orang tua kami, tetapi kami merasa sudah cocok satu sama lain.

Aku tidak menyangka kalau permintaanku saat itu malah membuatku kehilangan Mas Haris untuk selama-lamanya.

Tepat empat hari setelah acara pernikahan, kami pun akan berangkat berbulan madu. Aku sangat antusias menyambut keberangkatan kami, terbayang kami akan disuguhi pemandangan pantai yang sangat indah begitu sampai di sana. Aku menjadi tidak sabar menantikannya.

Aku menunggu kedatangan Mas Haris dengan tidak sabar. Mas Haris sedang pergi ke kantor karena ada keperluan yang mendesak. Padahal Mas Haris masih dalam masa cuti, tapi tetap saja ada urusan kantor yang harus dia tangani.

Aku melirik jam di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tapi Mas Haris belum juga pulang. Padahal satu jam lagi kami harus segera tiba di bandara untuk keberangkatan kami.

"Mas Haris lama sekali, apa aku telepon saja untuk mengingatkannya?" Aku pun mengambil ponsel untuk menghubungi Mas Haris.

Namun, baru saja aku akan menelepon Mas Haris, ponselku sudah berdering terlebih dahulu. Aku tersenyum melihat layar ponsel yang berkedip ketika ada telepon yang masuk.

"Assalamu'alaikum, Mas."

"Wa'alaikumsalam, Ras. Maaf Ras, aku baru bisa pulang sekarang, aku tidak menyangka jika pekerjaanku banyak sekali," ucap Mas Haris membuatku sedikit lega akhirnya dia akan pulang.

Di saat seperti ini Mas Haris masih saja mementingkan pekerjaannya. Padahal tinggal sebentar lagi kami harus berangkat, tapi Mas Haris masih disibukkan pekerjaannya.

"Iya, Mas," jawabku singkat.

"Kamu marah ya, Ras?" tanya Mas Haris dari sambungan telepon.

"Nggak, Mas. Sekarang Mas Haris sedang di mana?"

"Bersiaplah, aku sedang dalam perjalanan pulang. Setelah aku tiba, kita langsung berangkat."

"Jangan menelepon di jalan, Mas. Fokus saja mengemudi. Aku akan sabar menunggumu pulang, Mas," ucapku khawatir dengan Mas Haris. Sejak tadi hatiku gelisah tak menentu.

"Jangan khawatir, Ras. Aku baik-." Suara Mas Haris terputus.

"Halo, Mas ... Mas Haris ada apa, Mas?" Aku memanggil-manggil Mas Haris, tapi tak berselang lama terdengar suara benturan keras. Aku semakin panik dan khawatir pada Mas Haris.

Kutatap layar ponsel yang masih menyala dengan gusar, panggilan telfon dengan Mas Haris masih tersambung, tapi Mas Haris tidak menjawab panggilanku.

"Ya Allah, Mas. Kenapa tidak menjawab panggilanku? Ada apa denganmu, Mas. Jangan membuatku khawatir." Netraku mulai berkaca-kaca. Ketakutan mulai menghampiriku.

"Halo ...." Terdengar suara dari sambungan teleponku dengan Mas Haris. Tapi bukan suara Mas Haris, aku mengernyit heran.

"I-ya ha-lo, maaf dengan siapa? Kenapa bisa ponsel suami saya ada pada anda?" tanyaku beruntun.

"Maaf, suami Ibu telah mengalami kecelakaan-."

Brak ....

Seketika ponsel dalam genggamanku jatuh ke lantai mendengar bahwa Mas Haris telah mengalami kecelakaan. Kurasakan dunia berputar, dan menggelap.

***

"Bagaimana kondisi suami saya, Dok?" tanyaku tidak sabar.

Dokter tersebut memandangku dengan tatapan sendu, "Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi suami Ibu tidak bisa kami selamatkan."

Netraku membulat mendengar ucapan dokter, aku bagai mendengar petir di siang hari, tubuhku seketika luruh ke lantai. Air mataku semakin luruh, aku menangis sejadi-jadinya karena kehilangan Mas Haris.

"Tidak ... Mas Haris ...!" teriakku di tengah tangis.

Nyawaku seolah ikut menghilang bersama kepergian Mas Haris, aku menangis meraung memanggil-manggil Mas Haris. Rasanya hatiku tidak percaya dengan kepergian Mas Haris yang begitu cepat.

Aku segera menghambur masuk ke dalam ruang UGD, setelahnya aku langsung memeluk tubuh Mas Haris.

"Mas, bangun. Kumohon jangan tinggalkan aku. Bukannya Mas berjanji untuk membawaku melihat pantai? Lalu kenapa Mas masih berbaring saja? Bangunlah, Mas. Tepatilah janjimu untuk membuatku menjadi wanita yang paling bahagia," lirihku pada Mas Haris yang tidak juga merespon ucapanku.

Hatiku bagai teriris melihat Mas Haris tidak meresponku sama sekali. "Bangun, Mas! Ayo kita berangkat, Mas. Kita sudah terlambat, pesawat kita akan segera berangkat. Kamu sudah janji untuk mengajakku melihat pantai, Mas. Jangan ingkari janjimu, Mas," lirihku sembari menangis tergugu.

Mas Haris masih tidak merespon tangisanku, aku melepaskan pelukanku, tanganku mulai mengguncang keras tubuh dingin Mas Haris untuk membangunkannya.

Tangisku semakin pecah saat tidak mendapat respon dari Mas Haris. Aku meraung berteriak histeris memanggil nama Mas Haris, dadaku sesak menahan perihnya kehilangan Mas Haris, hingga kurasakan pandanganku menggelap, aku tidak sadarkan diri karena tidak kuasa menahan kesedihan kehilangan suami yang baru beberapa hari meminangku itu.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Uci Ekaputra

Selebihnya

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku