/0/24879/coverorgin.jpg?v=0d67d7338b7cc49c969c5ad1a9444060&imageMogr2/format/webp)
"Kamu mau tidur dengan saya?" tanya Rima.
"Kenapa Kakak bicara begitu?" jawab Bary balas bertanya.
"Kenapa? Bukankah siang tadi di depan Penghulu, kamu sudah berikrar menjadikan saya sebagai istri kamu?" tegas Rima.
Meskipun Rima cukup lugas dalam menyampaikan argumennya, tetapi pada saat yang bersamaan, Bary masih bisa menangkap dengan jelas ada lara dalam gaung suara Rima.
"Iya, Kakak memang betul," ucap Bary juga pada akhirnya. "Tapi sampai kapan pun, Kakak tetaplah kakakku. Kakak yang saya hormati, yang akan saya cintai dengan sepenuh jiwa."
"Apakah kamu tidak mencintai saya?"
Kembali Rima melaungkan sendunya. Bary semakin mudah membaca, barusan Rima hanya coba berkamuflase tentang rasanya.
"Sangat, Kak, sangat," timpal Bary, remaja pria lima belas tahun ini dengan penuh keyakinan. "Sumpah demi Allah, saya sangat mencintai Kakak. Apakah Kakak mulai meragukan saya?"
"Lalu, kenapa kamu tidak mau tidur dengan saya?" Rima masih bersikeras, tetapi nada bicaranya semakin landai.
"Karena Kakak adalah kakakku. Mana mungkin saya berani kurang ajar sama Kakak? Saya ini adik kamu, Kak! Kenapa Kakak memaksa saya untuk melakukan itu? Apakah Kakak sudah tidak menginginkan saya untuk menemani hidup Kakak lagi? Kenapa, Kak? Apa salah saya ... ?" lirih Bary.
Bary sudah berusaha keras, tetapi pada akhirnya ia mulai kesulitan meredam rasa perih. Matanya mulai berkaca-kaca.
Mendapati itu, sedetik kemudian, Rima yang tengah hamil dengan usia kandungan jelang enam bulanan ini, sigap menabrakkan tubuhnya ke tubuh Bary, lalu memeluk Bary dengan begitu eratnya.
"Maafkan Kakak, Dek!" desis Rima dengan tidak kalah lirihnya.
Sampai di sini, bak dam jebol, Rima yang sejak tadi juga memperjuangkan tangisnya agar tidak sampai tumpah, pada akhirnya tak terbendungkan lagi.
"Karena Kakak, kamu juga ikut terlunta-lunta seperti ini," tambah Rima di antara derai isak tangisnya.
"Tidak, Kak, tidak!" balas Bary cepat. "Kakak tidak boleh bicara seperti itu. Ini mungkin sudah takdir kita. Saya ikhlas, Kak, sangat ikhlas. Kakak tidak perlu meragukan saya. Bisa hidup bersama Kakak saja, itu sudah lebih dari segalanya bagi saya. Percaya sama saya, Kak!"
Rima tak mampu lagi berkata-kata. Rima tahu, keikhlasan Bary tak mungkin dapat ia pungkiri. Akan tetapi, karena keikhlasan itu jugalah Rima semakin sukar menyembunyikan perih pada lahir dan batinnya.
Tiga bulanan hidup bersama di 'pembuangan' ini, Rima semakin letih berpura-pura tegar di hadapan Bary, adik angkatnya yang hanya dilabeli 'anak pungut' oleh Bu Lija, ibu Rima.
Sedangkan Bary, semakin ke sini, dia semakin hapal dengan sikap Rima, wanita yang menjadi korban dari kebejatan orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung bagi Rima sendiri.
Bary rela pasang badan, dan mengorbankan banyak hal, hanya demi mengembalikan senyum yang terenggut dari wajah Rima. Padahal, Bary tidak punya hubungan apa pun dengan Rima kecuali sebatas kakak angkat tersebut.
Empat bulan kemudian.
"Mana bidannya?" Rima menyambut Bary dengan mimik resah.
"Dia tidak mau datang, Kak!" sahut Bary dengan nada yang sangat terukur.
"Ya Tuhan ...," lirih Rima. "Kenapa, Dek?" tambah Rima.
"Mama Yohana minta kita bayar uang muka, lima ratus. Uang kita tidak cukup," terang Bary.
"Mama Yohana bilang begitu?" tanya Rima lagi.
"Iya, Kak," sahut Bary.
"Ya, Allah ...," gumam Rima pelan seolah-olah menggumam untuk dirinya sendiri.
Bary terdiam. Bary yang baru saja kembali dari rumah Mama Yohana, meminta Bidan Kampung tersebut untuk membantu persalinan Rima, tetapi ditolak mentah-mentah dikarenakan Bary tidak punya cukup uang untuk membayar uang muka persalinan, kian terpuruk saat mendapati mimik perih di wajah Rima.
Ingin rasanya Bary saja yang menangis menggantikan Rima. Rima yang malang ini, semenjak dia dibuang oleh ibu kandungnya sendiri, ia sudah terlalu letih menangis.
"Tolong, Dek! Cepat cepat! Uh ... uh!" Rima membuyarkan lamunan Bary sesaat barusan.
"Iya, iya, Kak," sahut Bary dengan begitu paniknya. "Bantu apa, Kak?" tambahnya sembari menghampiri Rima.
"Cepat ambilkan sarung!" seru Rima dengan nada yang memburu.
"Iya, iya!" sahut Bary dan langsung meraih sarung yang tersusun rapi di atas tikar. "Mau diapakan sarungnya, Kak?" tanya Bary kemudian.
"Cepat lipat tiga baru taruh di bawah paha kakak!" Nada Rima semakin melaju.
Secepat itu juga Bary melakukan seperti apa yang diperintahkan oleh Rima. Sesaat kemudian, Bary sudah melipat kain sarungnya menjadi tiga bagian sebagaimana yang diinginkan oleh Rima. Akan tetapi, untuk menaruh kain sarung tersebut di bawah paha Rima, yang tengah rebahan terlentang dengan kedua lutut ditegakkan, Bary sungkan, Bary tidak berani.
/0/5304/coverorgin.jpg?v=f45583439b0a50fe5e5e9f58dd4d3224&imageMogr2/format/webp)
/0/2697/coverorgin.jpg?v=433078eed873432bfcbd6c931abbed05&imageMogr2/format/webp)
/0/9363/coverorgin.jpg?v=bb2e301b9259e52c245a5fd10ad353de&imageMogr2/format/webp)
/0/23476/coverorgin.jpg?v=b6d15b3f481401595058d1604ca9f4bb&imageMogr2/format/webp)
/0/17756/coverorgin.jpg?v=67f8281776458874bdf9be3e50b257a5&imageMogr2/format/webp)
/0/18548/coverorgin.jpg?v=0bef53791409eda780ce8bddb8bcfe6d&imageMogr2/format/webp)
/0/15239/coverorgin.jpg?v=c5a16ed373b02c3e24fe656f7f1bd206&imageMogr2/format/webp)
/0/13021/coverorgin.jpg?v=ec43d33d2e3b5300094f0312a3a61c05&imageMogr2/format/webp)