Siapa bilang menikah muda adalah sesuatu yang membahagiakan? Tapi, benar-benar membahagiakan. Dara bahkan tak menyangka bisa menikah dengan cowok manis dengan tinggi badan abnormal bernama Ben. Dara yang agak mesum, dan Ben yang realistis. Keduanya saling mencintai sebelum sebuah kecelakaan besar membuat Ben kehilangan seluruh ingatannya tentang Dara. Hanya tentang Dara yang sangat Possesive kepada suaminya itu. Dan, Tentu saja hal itu membuat Dara syok dan mengalami stress berat pasca ditinggalkan oleh Ben. ~~~~~ Menangis dalam keadaan setengah mabuk di halte bus malam itu, sukses membuat Dara berhasil masuk ke dalam kamar kos Ben. Sengaja ia meminum seteguk alkohol, berniat mengusir penat atas panjangnya penantian tak berujung yang tak juga membuahkan hasil. Dara hampir saja putus asa setelah satu tahun lamanya semua usaha yang ia lakukan tak membuahkan hasil. Ben masih belum mengingatnya bak secuil upil, tapi hanya karena itu semua tak membuat semangat Dara putus untuk memenangkan perasaan orang yang ia cintai kembali dalam pelukan. Dara melaksanakan misi gilanya untuk mengembalikan memori Ben sekaligus membuat cowok itu jatuh cinta lagi padanya. Tapi, bagaimana caranya?
17 Oktober 2017
"Sandara, untuk hari ini, besok, dan selamanya. Tolong jangan pernah ninggalin gue dengan alasan apa pun!"
Senyum itu merekah sempurna. Dengan balutan gaun putih yang sederhana, ia menerima satu kecupan di dahi dengan mata terpejam. Dalam suasana yang sakral itu, semuanya terasa melambat. Ia ingin menghentikan waktu detik itu juga.
Dan ....
Entah bagaimana mulanya, seekor kucing tiba-tiba melompat tepat di wajah cewek manis bertubuh minimalis tersebut.
"Ah, shit!" Gadis itu membuka mata linglung. Menatap peliharaannya yang duduk tepat di sebelah bantal.
Kucing berwarna oren itu menggoyangkan ekor dengan manja. Matanya berkali-kali mengerjap untuk mengumpulkan kesadaran. Kini tubuh cewek itu menegak sambil mengeliat sampai kemudian menyadari sesosok lelaki yang sedang berdiri di depan pintu kamar bernuansa putih gading tersebut, sudah menatapnya dengan horor.
"Bangun kebo. Kuliah nggak lo?"
Ia memutar bola mata malas seirama dengan bibir yang mengucap mantra kesal.
"Buruan, nggak usah komat-kamit! Lima belas menit nggak siap, gue tinggal."
"Iya, kampret! Bawel banget jadi orang," balasnya kesal.
Sambil merangkak turun dari atas kasur, cewek berambut cokelat itu masih saja merapalkan mantra pada seseorang yang sudah lancang masuk ke kamarnya.
"Ngampretin gue lagi. Emang adek nggak ada akhlak." Lelaki yang sudah rapi dengan kaos dan celana jins itu meninggalkan kamar dengan wajah masam, setelah menyempatkan diri untuk melemparkan boneka sapi tepat di wajah adiknya disusul teriakan nyaring yang membuat seisi rumah diserang gempa.
Eh, canda.
Namun, bukan Dara namanya kalau belum membuat orang lain naik pitam. Cewek itu kini justru kembali merebahkan diri sambil memeluk kucingnya. Sebab mimpi barusan membuatnya semakin tercekik. Kenapa juga janji suci seperti itu hanya terjadi dalam mimpi? Kenyataannya di dunia ini ia sudah cukup lama ditinggalkan seseorang dengan kisah yang melankolis. Sedetik berikutnya ia bangkit dari kasur masih sambil geleng-geleng kepala memutari kamar mengingat mimpinya barusan.
"Sadar Dara! Sadar!" gumamnya sekali lagi sambil menepuk-nepuk kedua pipi di depan kaca yang panjang. "Itu cuma mimpi!" ucapnya mengangguk yakin.
Gadis itu kemudian bergegas mandi dan bersiap untuk menjalankan misinya selama ini.
***
17 Oktober 2018.
Titik penyerangan terjadi tepat di dalam toilet sebuah kampus di Jakarta. Korban seorang lelaki berusia dua puluh tiga tahun. Tersangka dua orang lelaki berusia sebaya.
Pintu kamar mandi bercat biru langit itu kembali digedor dengan keras.
"Minggat lo, Setan!" teriaknya menyahuti suara ketukan pintu.
Di hari yang membuatnya genap berusia dua puluh tiga tahun itu, untuk yang terakhir kalinya Benggala melemparkan tatapan tajam pada bayangan dirinya di cermin toilet kampus. Di hari itu pula cowok yang kerap di sapa Ben memanjatkan sebuah harapan agar dua orang yang masih terdengar suara tawa bahagianya itu dilenyapkan saja dari muka bumi.
Bagaimana tidak? Seluruh pakaiannya basah dan berwarna putih karena siraman tepung. Jangan lupakan sebutir telur yang berhasil membuat rambut Ben bagaikan ditumpahi satu mangkuk pomade.
"Buruan woy! Lima menit nggak keluar, gue panggil satpam kampus, ya!" Sebuah suara besar dari luar kembali memeringati Ben kemudian disusul tawa cekikikan lagi.
Di dalam kamar mandi, Ben meremas tangannya sendiri karena gemas. Lalu menggebrak pintu toilet dengan kencang disusul tawa cekikikan yang lagi-lagi terdengar begitu menyebalkan di telinganya.
"Bacot."
"Gue sama Han tunggu di parkiran! Cepet!" ucap Riki kembali terdengar menyembunyikan tawa.
Jika sudah seperti ini, mau nggak mau ia harus mandi di toilet kampus meski tanpa sabun. Sebab Ben sendiri sudah nggak tahan dengan bau amis yang membuatnya ingin muntah. Tujuh belas Oktober yang ke dua puluh tiga ini membuat Ben sadar betapa menderita orang-orang di negaranya yang sedang mengulang tahun kelahiran.
Bukannya mendapatkan kejutan yang membahagiakan justru memuakkan.
Hal-hal seperti ini harusnya nggak perlu diikuti bahkan dijadikan tradisi bagi seseorang yang sedang mengulang hari kelahiran. Selain merugikan si korban yang seharusnya terharu dan bersyukur bisa hidup sampai detik itu dengan baik, terlalu mubazir menghambur-hamburkan tepung dan telur. Apa lagi untuk anak kos macam Ben, dua buah telur dan seperempat terigu bisa menopang kehidupannya selama dua hari ke depan.
Bukan ... dua hari terlalu singkat. Buat Ben, dua butir telur dan seperempat terigu bisa menopang hidupnya selama satu minggu!
Ben selesai membersihkan tubuh, ia keluar dari bilik kamar mandi dengan tangan yang menenteng pakaian basah. Namun, cowok itu mematung sejenak melihat petugas kebersihan membawa kunci serta alat kebersihan menatapnya aneh.
"Mas, barusan mandi?" tanya bapak-bapak berusia paruh baya tersebut.
Ben tersenyum kikuk mengikuti arah pandangan petugas kebersihan tersebut yang mengamatinya dari ujung kaki hingga kepala. "Darurat soalnya, Pak. Maaf," jawab Ben sejujurnya.
Ben butuh kantung kresek sekarang untuk menutupi wajahnya. Demi apa? Mandi di kampus adalah hal yang memalukan. Walaupun ia terbiasa dengan hidup yang malu-maluin, tapi ini nggak bisa diterima. Bisa-bisa rusak reputasi baik Ben di kampus.
"Udah saya bersihin semua kok, Pak sisa tepungnya. Jadi, Bapak nggak perlu beresin lagi."
Cowok itu menggaruki kepalanya demi menyembunyikan rasa malu setengah modyar yang menggelitik seluruh pori-pori di tubuh.
"Tapi, saya boleh minta sesuatu nggak sama Bapak?" tanya Ben memaksakan diri menciptakan kurva simetris yang membuat si Bapak petugas kebersihan menatap Ben ngeri.
"Jangan, Mas! Biar saya tua, tapi saya masih normal," balas si Bapak membuat kedua alis Ben menyatu heran.
Beberapa detik terdiam dengan otak berputar keras membuat Ben menahan diri untuk nggak mengucapkan istigfar di dalam toilet.
"Saya juga normal, Pak." cowok itu memejamkan matanya gemas.
Bagaimana mungkin ia bisa mengalami hari paling absurd seperti ini?
***
Meski nggak sepenuhnya hilang setidaknya bau Amis di tubuh Ben sudah berkurang. Kaos serta celana jins yang basah kuyup terpaksa ia masukkan ke dalam kresek hitam. Setelah kesalahpahaman yang terjadi antara dirinya dan bapak petugas kebersihan, akhirnya Ben berhasil mendapatkan sebuah kantung kresek.
Sementara ia menaikkan retsleting jaket bomber hingga ke pangkal atas, kaki panjangnya hanya ditutupi oleh bokser warna kuning bergambar minion yang tingginya lima senti di atas lutut. Membuat cowok itu berjalan sambil menunduk sepanjang langkah menuju ke parkiran. Meski sebenarnya Ben adalah tipikal cowok yang cuek dengan penampilan dan pandangan orang lain.
Akan tetapi, naik motor menggunakan jaket serta celana bokser adalah hal yang sangat nggak lazim. Ben risih menatap dirinya sendiri. Terlebih saat ini ia masih berada di lingkungan kampus. Ia mendesah panjang sambil mengacak rambut yang basah. Cowok itu amat sangat yakin ketika keluar dari toilet nanti semua mata akan tertuju padanya.
Bukan perihal terpesona karena ketampanannya seperti biasa, melainkan jijik dan geli.
Cowok itu menggeleng dengan ekspresi menggelikan.
"Bodo amat, lah!" gumam Luki setelah melihat penampilannya yang lebih mirip dengan orang sinting, ketimbang mahasiswa semester akhir yang sedang mumet dengan skripsi.
Kaki panjang tanpa sepatu dan celana yang wajar itu, melangkah tanpa ragu keluar dari toilet. Benar saja dugaan Ben. Begitu keluar dari toilet seluruh mata tertuju padanya karena penampilan Ben yang kelewat extreme. Bahkan Ben nggak heran ketika beberapa mahasiswa mulai membidiknya dengan kamera ponsel. Yang dilakukan Ben hanya berjalan santai bahkan sesekali cowok itu melakukan pose dua jari membentuk huruf 'V'.
Enggak, bercanda. Ben nggak segila itu. Bagaimanapun juga, cowok itu masih punya rasa malu. Kakinya terus melangkah dengan sewajarnya, mencoba terlihat natural dan sesantai mungkin.
Eum ... maksudnya pura-pura santai. Dan, sialnya ia harus melewati koridor kampus yang entah kenapa terasa sangat jauh menuju parkiran.
Ben mencoba nggak peduli dengan orang lain yang sedang cekikikan menyaksikannya. Juga nggak peduli dengan komentar mahasiswa seangkatan yang melihatnya. Apa lagi dengan junior-junior yang sekedar bisik-bisik di pojokan. Tujuan utama Ben saat ini adalah menemukan Riki dan Han, karena sepatu juga dompetnya disita oleh kedua cecunguk sialan tersebut. Sumpah demi apa pun, Ben nggak akan membiarkan keduanya hidup dengan damai jika terjadi sesuatu yang buruk kepada sepatu yang baru saja ia beli dua minggu lalu. Itu pun hasil jerih payah Ben menabung dan mati-matian menahan diri untuk nggak jajan.
Padahal keinginan Ben di hari ulang tahunnya ini sangat sederhana. Ben cuma ingin segera pulang dan bersemadi dengan tenang di indekos. Cowok itu mulai mempercepat langkah kakinya saat melihat Riki dan Han sedang cekikikan di atas motornya, tepat di parkiran kampus.
Sedikit hal baiknya adalah, jam kuliah sore tidak begitu banyak mahasiswa yang datang. Selain anak-anak teater yang nggak pernah absen dari kampus. Jadi image Ben nggak hancur-hancur banget.
Setibanya di parkiran, Ben sengaja menarik tas punggung Riki hingga cowok bertubuh cungkring itu hampir saja terjengkang ke belakang.
"Anjir! Santai to, Cuk," ucap Riki yang kemudian tertawa saat sudah sepenuhnya berhadapan dengan Ben.
Sama halnya dengan Han yang nggak bisa mengontrol diri supaya nggak ikut tertawa. Bedanya, cowok itu sudah lebih dulu menjauh dari Ben untuk mengamankan diri. Keduanya saling bertepuk tangan menyaksikan penampilan Ben dari kepala hingga ujung kaki
"Elo tuh, bener-bener kelewatan, ya? Niat banget bikin dedek-dedek emesh salfok sama celana lo. Ha?" celetuk Riki terdengar menyebalkan.
"Gambarnya minion lagi." Han mengimbuhi dengan kekehan keras.
Ben melemparkan tatapan setajam elang pada Riki. Kemudian beegumam, "Udah puas?"
Cowok itu berdesis kesal sambil mengacak rambut yang basah. "Sekarang balikin sepatu sama dompet gue, cepet!" balas Ben kesal.
"Galak amat sih, Bapak. Di hari yang sepesial kayak gini, lo itu harusnya bersyukur dan bersikap baik sama kita berdua, Ben. Iya, 'kan?" Han menyikut rusuk Riki pelan untuk meminta persetujuan. Dengan memasang wajah tanpa dosa kedua cowok yang selama ini menjadi beban hidup Ben itu, tersenyum menyebalkan.
"Yoi. Gini-gini, cuma kita berdua yang selalu ada waktu lo susah."
"Ya, karena emang lo berdua yang selalu nyusahin gue," balas Ben. Ia mendekati kedua temannya untuk mengambil barang miliknya. "Cepetan! Gue lagi nggak mood buat ngomong kasar terus debat sama lo berdua," sambungnya nggak sabaran.
"Elah, buru-buru amat, sih. Udah nggak sabar pengen ketemu sama Bu Denok, ya?"
Riki menyerahkan sebuah kresek hitam yang diikat kepada Ben. Dengan perasaan nggak enak Ben menerimanya, tentu dibarengi dengan doa-doa supaya sepatunya kembali dengan utuh.
"Oh, iya gue lupa kalau ada janji sama Angga. Han, lo anterin gue, ya?" sambung Riki mendadak.
"Siyap!"
Cowok cungkring itu menepuk pundak Hanif akrab. Akan tetapi, justru menimbulkan kecurigaan di benak Ben.
"Sejak kapan lo deket sama Angga?" tanya Ben murni karena penasaran.
Pasalnya yang Ben tau, Angga itu cowok elit di kampusnya. Dan, semua penghuni kampus juga pasti sudah tahu kalau Angga yang terkenal sebagai cowok berkelas, nggak mungkin bergaul sama kutu busuk macam Riki.
"Sebenernya dia punya utang sama gue. Lo aja, yang nggak tau," bisik Riki tepat di telinga Ben.
"Gue duluan! Thanks buat hari ini ya, Bro! Semoga lo semakin panjang dalam segala hal," imbuhnya menatap selangkangan Ben disusul tawa kedua cowok itu melangkah menjauh.
"Kampret emang!" umpat cowok itu mengikuti arah pandangan Riki sebelumnya.
Ia menatap punggung Riki yang amat mencurigakan. Tangannya bergerak membuka bungkusan plastik hitam yang isinya pasti sepatu dan dompet. Ben nggak berharap isi dompetnya kembali dengan utuh, karena Ben tau di kantin kampus tadi Riki dan Hanif sudah menghambur-hamburkan isi dompet miliknya.
Jadi, ia berharap setidaknya dua cecunguk itu menyisakan ongkos untuk makan dan pulang hari ini. Sialannya lagi-lagi ia dibuat mengelus dada oleh dua orang pengganggu dalam hidupnya.
Dompetnya baik-baik saja meski isinya sudah ludes, tetapi sepatu yang baru ia beli dua minggu lalu sudah berlumuran dengan lumpur dari comberan yang baunya naudzubilah.
Jangan ngomong kasar! Jangan ngomong kasar! Jangan ngomong kasar!
"Bangsat!" teriak Ben untuk yang pada akhirnya kalah untuk nggak mengumpat.
Tangan mengepal kuat, rahangnya mengeras hingga wajahnya merah seperti pantat kera.
Yah, pada akhirnya bisikan malaikat di sisi kanan Ben, tetap saja kalah dengan iblis yang tersenyum menang dengan kemarahan Ben. Malaikat di pundak kanan Ben menggelengkan kepala sambil mengelus dada mendengar umpatan tersebut.
Bersambung ....
Bab 1 01. Pesta Ulang Tahun
15/06/2022