Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
16
Penayangan
16
Bab

"Cinta adalah fakta eksistensi yang paling esensial. Cinta adalah realitas utama dan tujuan kita di muka bumi." -Marianne Williamson Ketika berbicara tentang cinta, setiap orang mempunyai pengertian dan pemahaman yang berbeda-beda. Tapi, bagiku. Cinta adalah ketika kamu mengikhlaskan orang yang paling kamu cintai untuk bahagia dengan caranya sendiri.

Bab 1 Awal Pertemuan

Pagi ini, hujan mengguyur kotaku. Tidak seperti biasanya, pagi ku kali ini di temani dengan secangkir kopi. Aromanya menguar memenuhi seluruh ruangan di kamarku. Hingga tanpa sadar, ingatanku kembali melesat ke masa dimana aku pertama kali bertemu dengannya 2 tahun lalu.

***

Namaku Anaya Anantara Sabila. Teman-temanku biasa memanggilku dengan sebutan Naya. Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Status ku saat ini, adalah seorang mahasiswi semester 2. Jurusan akuntasi, di salah satu universitas di sebuah kota dengan julukan "Kota Kembang."

Aku merantau ke kota ini seorang diri. Aku tinggal bersama teman-temanku yang lain, yang berasal dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Mereka sama sepertiku. Datang ke kota ini, untuk menuntut ilmu sekaligus mencari pengalaman baru.

Aku tinggal di sebuah kost-kostan Putri dengan harga yang lumayan murah untuk ukuran mahasiswi sepertiku.

Siang itu, Ibu meneleponku.

"Neng, uang nya udah Ibu kirim. Jangan lupa! Nanti kalau mau pulang sekalian beli oleh-oleh buat bapak." Ucap Ibu di seberang telepon.

"Iya, Bu. Nanti Neng kabarin ibu sama bapak kalau mau pulang."

"Gimana kuliah kamu, lancar?" Tanya Ibu.

"Alhamdulillah, Bu, lancar. Doain neng, ya. Supaya neng bisa bikin Ibu sama Bapak bangga."

"Ibu sama Bapak selalu doain yang terbaik buat kamu. Tapi ingat! kamu juga harus berusaha sebaik mungkin agar semua cita-cita kamu tercapai. Dan jangan lupa! Untuk selalu libatkan Allah dalam setiap urusan kamu." Ucap Ibu menasehati.

"Iya, Bu. Neng akan selalu ingat sama semua nasihat Ibu." Ucapku tersenyum.

"Ya sudah, kalau gitu teleponnya ibu tutup. Jaga diri baik-baik di sana. Belajar yang rajin. Satu lagi yang paling penting, jangan pernah tinggalin sholat yang lima waktu."

"Iya, Bu."

Tuuuutttt tuuuutttt...

Ibu pun mematikan teleponnya di seberang sana.

Setelah itu, aku langsung bergegas menuju ke sebuah ATM di seberang jalan raya. Aku memutuskan untuk berjalan kaki. Karena jaraknya yang lumayan dekat, aku hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk sampai di sana.

Saat tiba di sana, aku melihat sekumpulan seniorku di Kampus sedang asyik nongkrong dan minum kopi. Aku perkirakan, mungkin, sekitar enam atau tujuh orang. Kebetulan, di seberang ATM ini ada sebuah kedai kopi yang sering di jadikan sebagai tempat nongkrong.

Tiba-tiba, seseorang memanggil namaku.

"Eh, Naya! Datar amat sih lo kaya penggaris." Teriak seseorang dari sana.

Dari mana dia tahu namaku? "Ucapku dalam hati."

"Lho, kok, penggaris si bro?" Tanya temannya.

"Iyalah, penggaris kan datar. Luruuus aja kaya si Naya." Ujarnya.

Hahahaha (teman-temannya ikut mentertawakan ku)

Hatiku mulai panas. Berani sekali dia mengejekku seperti itu. Apalagi, aku tidak mengenalnya sama sekali. Awas saja, akan ku balas nanti. "Gerutu ku dalam hati."

Akhirnya, aku memutuskan untuk cepat-cepat mengambil uang kiriman dari Ibu. Malas sekali rasanya meladeni orang yang gak jelas seperti mereka.

Saat aku memutuskan untuk pulang ke kostan. tiba-tiba seseorang menghalangi jalanku. Ya, dia adalah orang yang tadi mengejekku. "Mau apalagi sih dia?" Gerutu ku.

Karena kesal. Akhirnya, aku menginjak kakinya dengan sekuat tenaga dan pergi meninggalkan nya.

"Ahhh... Sakit juga ternyata." Dia meringis kesakitan sambil memegangi kakinya yang aku injak tadi.

"Makanya, jangan coba-coba ganggu aku lagi! Atau, aku akan patahkan kakimu nanti." Aku mencoba mengancamnya.

"Galak amat sih! Tapi, kalau di lihat-lihat, lo tambah cantik kalau lagi ngambek gitu."

"Dasar buaya darat." Umpat ku.

"Ya udah mana?" Tanyanya.

" Mana apa?" Tanyaku lagi.

"Nomor handphone lo."

"Buat apa? Tanyaku bingung.

"Ya, buat ngabarin lo, lah. Katanya lo mau matahin kaki gue kan tadi. Kalau gue udah siap, gue kabarin lo deh kapan waktunya." Ucapnya tanpa rasa bersalah.

"Kenapa harus nunggu nanti? Kenapa gak sekarang aja?" Ucapku.

"Kita kan baru kenal sekarang. Rasanya, gak etis aja kalau lo tiba-tiba langsung hajar gue, kan?

"Ya, gak masalah dong! Anggap aja sebagai hadiah perkenalan kita. Kecuali, kalau lo takut." Ucapku sinis.

"Gue? Takut sama, lo? Gue gak pernah takut sama siapapun, gue cuma gak mau aja di bilang pengecut gara-gara berantem sama cewek."

"Oh, ya? Kalau gitu, buktiin dong! Kalau emang lo gak takut, sini! Serang gue sekarang." Ucapku menantangnya.

"Eh, bro! Lo mau berantem sama Si Naya? Dia kan, cewek. Lo gak malu apa? Ucap temannya tertawa.

"Sejak kapan gue berantem sama cewek? Lo juga tahu kali, kalau gue gak pernah bisa nyakitin cewek, sekalipun itu musuh gue."

"Gue percaya sama lo. Tapi, lo gak lihat, apa? Si Naya udah masang kuda-kuda gitu, kayanya, dia gak takut deh sama lo."

"Cewek lemah kaya dia, gak ada apa-apanya buat gue." Ucapnya sombong.

"Bukannya tadi, kaki lo di injak yah, sama dia? Tanya temannya.

"Gue tadi cuma pura-pura kesakitan aja, biar dia ngasih nomor HP nya sama gue."

"Dasar orang aneh!" Aku pun berlalu pergi dan meninggalkan dia yang masih berdebat dengan temannya.

Kulihat, dia hanya tertawa mendengar ucapan ku. Aku pun kemudian berjalan setengah berlari. Ada perasaan takut jika dia akan mengejar ku sampai ke kostan. Tapi, saat aku melihat kebelakang, aku tidak menemukan siapapun. Syukurlah, ternyata dia tidak mengejar ku. Kalau tidak, aku benar-benar akan mematahkan kakinya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku