Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjerat Cinta Pak Dosen

Terjerat Cinta Pak Dosen

DoubleUniverse

5.0
Komentar
234
Penayangan
5
Bab

Saat menjaga ayahnya di rumah sakit, Vancy Shanika luar biasa terkejut dipanggil 'mommy' oleh seorang balita bernama Vern Zachary. Belum lagi fakta bahwa anak itu adalah buah hati dari dosen termuda di kampusnya, yaitu Varesh Zachary. Di tengah-tengah kebingungannya, Vancy tidak menyangka ketika Varesh menawarinya pernikahan kontrak selama satu tahun. Laki-laki itu berjanji menanggung biaya pengobatan Hendra, sang ayah, asalkan Vancy bersedia membantu Varesh memperjuangkan hak asuh Vern sesuai surat wasiat kakak dan iparnya. Awalnya, hubungan Varesh dan Vancy berjalan baik-baik saja, bahkan tergolong harmonis. Namun, kedatangan teman baik Varesh yang juga menjadi dosen di kampus hingga berita pernikahan keduanya tersebar, menimbulkan berbagai masalah lain yang menguji cinta sepasang itu.

Bab 1 1. | Pertemuan Pertama

***

Aroma petrichor seakan-akan menyambut perempuan dengan kemeja putih polos dan rok hitam di atas lutut itu turun dari kendaraan umum yang membawanya. Sejenak ia merapikan tatanan poni pagarnya yang sedikit berantakan, lumayan bersyukur sebab rambutnya diikat sejak niatnya melalang buana di tengah keramaian ibu kota.

Suara barang jatuh dari map yang dipegangnya membuat perempuan itu berhenti melangkah, lalu berjongkok hati-hati untuk memungutnya. Nama 'Vancy Shanika' yang tertera menjadi bukti bahwa benar dirinya pemilik dari kartu identitas tersebut. Enggan bertele-tele, ia dengan cepat kembali bangkit.

Tujuan Vancy sudah di depan mata. Ia segera mempercepat langkahnya, setengah berlari menuju gedung bertingkat dengan dominasi warna putih yang tak jauh dari halte pemberhentiannya beberapa saat lalu. Kepalan Vancy menguat di per sekian detik, terus berusaha menghilangkan keraguannya.

"Mohon maaf, Mbak. Jika boleh tahu, ada perlu apa kemari?"

Vancy menahan napasnya sebentar kala berhadapan dengan dua pria paruh baya yang berjaga di pintu masuk. Saat mengedarkan pandangannya, ia bisa melihat aktivitas karyawan di dalam sana, tampak hilir-mudik memikul tanggung jawab masing-masing. Diam-diam Vancy berharap suatu hari dirinya juga menjadi salah satunya.

Bukan tanpa alasan Vancy memberanikan diri mendatangi Roderick, perusahaan game online itu. Ia sudah sejak lama bermimpi bekerja ataupun magang di sana meski sadar seratus persen tidak masuk kriteria. Hanya saja, tekad Vancy begitu bulat hingga sedikit pun tidak mengacuhkan kemustahilan.

"Mbak?"

Vancy konstan mempertahankan senyumannya, terlihat agak salah tingkah karena menyadari tatapan aneh yang dilempar padanya. Ia berdeham singkat untuk melegakan tenggorokan sebelum akhirnya menjawab, "Mau taruh proposal untuk magang, Pak."

"Mbak enggak salah?"

"Enggak, Pak."

"Apa Mbak baca syarat dan ketentuan para pelamar atau calon pemagang di sini?" Salah satu satpam kembali mengajukan pertanyaan yang lantas mendapatkan anggukan Vancy. "Mbak yakin tidak melewatkan satu pun?"

"M-maksud ... maksud Bapak ... jenis kelamin saya?"

"Benar, Mbak. Bukankah seharusnya Mbak sudah tahu jika Roderick tidak pernah menerima karyawan perempuan?"

Vancy menggigit bibir bawahnya, kehilangan rasa percaya diri. Kini, ia layaknya putri malu yang mengatup saat disentuh. Vancy baru saja akan menyahut lagi sebelum seseorang dengan jas formal melangkah tegas ke arahnya. Tidak cukup sampai di situ, Vancy membelalak begitu menyadari sosok itu.

Varesh Zachary, nama tersebut seketika muncul di kepala Vancy. Laki-laki itu tak bukan adalah salah satu dosen di kampusnya, bahkan sering kali dilihatnya berkeliaran di gedung jurusan Teknik Komputer. Meski tak pernah sekalipun Varesh mengajarnya, ketenaran dosen muda itu membuat Vancy langsung mengenalnya dalam sekali lihat.

"Kamu ... mahasiswi Universitas Helios?"

Sekejap Vancy menelan salivanya susah payah, begitu pun binar matanya tampak mulai tidak tenang. Ia meremas kuat apa saja yang ada di tangannya seolah-olah hendak menghancurkan. Namun, ketika mengingat betapa pentingnya berkas-berkas itu, Vancy menghentikan kebodohannya dan menunduk dalam-dalam.

"Kamu tuli?" Varesh menghela napas saat pertanyaannya lagi-lagi tak direspons. Ia geleng-geleng kepala, lalu beralih pada dua pria paruh baya yang aktif menjalankan tugas. "Maaf, Pak, saya mau tanya. Dia ini kenapa?"

"Mbak ini ingin mengirim proposal magang, Pak, dan kami telah mengatakan jika di sini tidak menerima karyawan berjenis kelamin wanita."

"Biar saya tebak, dia ini tidak mau pergi dan tetap ngotot?"

"Benar, Pak."

"Sudah saya duga," gumam Varesh terdengar mencemooh.

Mendengar langsung tingkahnya diungkit di hadapan dosennya sendiri, Vancy luar biasa malu. Ia tak mempunyai muka lagi, padahal belum tentu juga Varesh benar-benar mengenalnya. Lagi pula, untuk apa juga Varesh repot-repot bertanya sesuatu yang sama sekali bukan menjadi urusannya?

"Kamu dengar, kan, kalau kamu salah tempat? Apa kamu enggak bisa membaca, makanya tetap ngotot begini?"

"S-saya-"

"Masih mau mengelak?" Tidak memberi kesempatan Vancy untuk membela diri, Varesh membaca kop lembar yang keluar dari map di pegangan gadis itu sebelum berujar lagi, "Setidaknya, kalau ingin mencari masalah di ruang umum, jangan menunjukkan identitas almamater. Memalukan."

Vancy melongo di tempat. Ia tak berkedip seiring Varesh dengan gaya angkuhnya berlalu begitu saja menuju sebuah mobil mewah yang terparkir beberapa meter di depan sana. Vancy mengepalkan kedua tangan, mendadak kesal. Napas gadis itu pun memburu hebat sampai-sampai wajahnya ikut memerah.

"Sekali lagi, mohon maaf, Mbak. Kami benar-benar tidak bisa mengizinkan Mbak masuk ke dalam. Sebaiknya, Mbak membaca syarat dan ketentuan pelamar sebelum ke sini agar tidak sia-sia."

Jelas jika Vancy baru saja kembali diusir secara halus. Tidak mempunyai pilihan, Vancy hanya mengangguk dan disusul permintaan maafnya. Gadis berciri khas senyum manis itu pun berbalik meninggalkan gedung yang sudah menjadi impiannya beberapa tahun terakhir.

***

Vancy menggenggam erat tangan rapuh milik ayahnya, Hendra, yang tampaknya asyik berlama-lama di alam mimpi. Setelah seharian berjuang tanpa hasil, melihat cinta pertamanya tersebut sudah cukup menghadirkan setitik kebahagiaan di hati. Vancy lebih daripada bersyukur Tuhan masih memberinya kesempatan menjaga Hendra.

Sejak Rini-ibunya-memutuskan pergi tanpa pamit beberapa tahun silam, hanya Hendra yang menjadi alasan Vancy bertahan menjalani kejamnya kehidupan yang setiap hari seolah-olah menyambutnya dengan masalah. Janji Vancy pada dirinya sendiri ialah membahagiakan Hendra apa pun caranya.

"Vancy ..., Nak ...."

"Iya, Yah ...," balas Vancy, nyaris gemetar. Ia tersenyum sebaik mungkin selagi Hendra mengerjap guna membiasakan cahaya di sekitar. "Ayah kalau ngantuk, tidurnya lanjut aja. Entar pas makan malam, Vancy bangunin."

"Enggak, Ayah enggak ngantuk lagi." Hendra mengulurkan tangannya, mengusap puncak kepala sang anak hingga Vancy sejenak memejamkan matanya. "Gimana, Nak? Berhasil magang di perusahaan yang kamu pengen itu?"

"Nanti Vancy berusaha lagi."

"Enggak apa-apa. Artinya, belum rezeki. Jangan mudah menyerah, ya."

Vancy mengangguk lagi, tidak lupa senyumannya. Ia beranjak dari kursinya, lalu sedikit menunduk untuk mengecup dahi Hendra. Setelah itu, Vancy membuka toples di nakas sebelum mengambil permen tangkai rasa melon, serta-merta menikmatinya dan sambil menyeringai karena diperhatikan ayahnya.

"Hampir aja Ayah suruh suster buang tadi," goda Hendra sembari tertawa kecil. "Nanti sakit gigi baru tahu rasa, lho."

"Ah, Ayah. Tinggal satu juga."

Perasaan Vancy membaik saat mulutnya mulai bereaksi akan manis dari permen. Semangat yang sempat meredup, kembali berkobar. Tekad yang tadinya menghilang, muncul lagi ke permukaan. Vancy manggut-manggut, tidak berhenti menasihati dirinya sendiri di dalam hati.

"Vancy panggil dokter dulu, Yah," ucap Vancy pamit undur diri. Namun, langkah gadis itu terhenti begitu Hendra kembali memanggilnya. Vancy menoleh dan melempar senyuman terbaiknya. "Iya, Yah?"

"Kamu masih berusaha cari Om Danny?"

Beberapa saat Vancy terdiam. Walau akal sehatnya ingin melakukan kebohongan kecil, nyatanya gekstur tubuhnya sama sekali tak membantu. Vancy mengangguk pelan hingga dilihatnya pula tatapan sendu bercampur bersalah Hendra padanya. Tanpa sadar, ia meremas jemarinya sendiri.

"Maaf, Yah. Sampai saat ini, Vancy masih mau mencari."

"Nak, kamu tahu kalau semuanya mungkin akan sia-sia. Ingat, enggak selamanya kejahatan harus dibalas kejahatan juga."

"Vancy tahu, tapi Vancy mau berusaha. Suatu hari nanti, Vancy yakin kalau Om Danny akan datang, lalu Vancy minta tanggung jawabnya," kata Vancy lugas.

Terlihat anggukan Hendra, menemani lengkungan di bibir pucatnya. "Ayah tahu enggak ada gunanya larang kamu. Ayah cuma berharap kamu enggak terlalu tenggelam dalam dendam, apalagi menyalahi takdir. Tolong kamu ingat, Nak. Setiap masalah yang pernah terjadi, pasti akan ada hikmahnya."

Vancy mengiakan, serta-merta membuka pintu ruang inap Hendra guna keluar dan kembali menutupnya. Ia melangkah sembari menunduk, menyebabkan rambut panjang itu menutup wajahnya. Saat ini, pikiran Vancy sungguh kalut. Ingin rasanya ia mencari tempat yang sepi untuk menjerit sepuasnya.

"Vancy."

Begitu namanya dipanggil, Vancy mendongak. Ia sedikit mengulas senyum ketika dokter yang setahun terakhir merawat ayahnya menghampiri. Meski gugup mendadak menyerangnya, Vancy berupaya tenang. Ia tidak berhenti berdoa demi menghalau balak yang mungkin akan segera menyapanya.

"Iya, Dokter. Ada apa?"

"Hasil dari laboratorium sudah keluar. Semua indikator menunjukkan garis merah yang artinya ... secepatnya kita harus melakukan operasi."

Vancy meremas ujung kemeja berwarna army-nya, berusaha menyalurkan nyeri yang menghantam dadanya. Ia menahan tangis, tetap ingin terlihat baik-baik saja walau sudah sepenuhnya lemas. Beruntung kaki Vancy konstan mampu bertahan dalam usaha mendengarkan pemberitahuan Dokter Bani.

"Jadi, bagaimana, Dok?"

"Dalam tiga hari ini, kita harus lakukan operasi, Vancy. Jadi, saya sarankan kamu untuk membujuk ayahmu menandatangi persetujuan sebab keputusan tetap pada pasien, bukan keluarga. Kamu paham, kan?"

"I-iya, Dokter."

"Baik. Kalau begitu, saya permisi."

Vancy mengusap kasar wajah kala Dokter Bani berlalu. Ia mencapai kursi panjang terdekat, lalu mendaratkan bokongnya di sana. Terlalu putus asa, Vancy mengumpulkan rambutnya menggunakan tangan dan mencengkeramnya sekuat tenaga seraya meredam teriakan di ujung lidah.

Sebisa mungkin Vancy mengontrol dirinya. Ia masih harus terlihat baik-baik saja di depan sang ayah, haram menunjukkan keputusasaan. Vancy mengatur pernapasannya sambil menarik sudut bibir. Setelah ini, ia mesti menemani Hendra dan membahas apa yang dikatakan Dokter Bani.

"Mommy."

Sekejap Vancy mematung, sementara telunjuk menunjuk diri sendiri. Raut gadis itu terlihat bingung sekaligus ingin tertawa, sedikit pun tidak berkedip dari sosok balita yang berbinar-binar menatapnya. Vancy masih mematung kala bocah yang sama sekali tidak dikenalnya itu memeluknya tiba-tiba.

"Mommy ..., Mommy kenapa nangis?"

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku