Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Muda Pak Dosen

Istri Muda Pak Dosen

Kocakaja

5.0
Komentar
20K
Penayangan
48
Bab

Galenka Helga seorang mahasiswi biasa yang suka menghabiskan waktu untuk belajar, dan tidak suka mengikuti gosip tentang dosen tampan yang terkenal playboy di kampus. Namun sayangnya, sang dosenlah yang menjadi suami Helga karena mereka dijodohkan oleh Hans, yakni bos dari kakek Helga. Helga dipaksa menerima perjodohan itu karena biaya perkuliahannya selama ini dibantu oleh Hans Anderson, ayah dari sang dosen. Bukan cuma itu, Helga dipaksa menikah dengan Hadyan sebab, ada bocah laki-laki yang membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Tak hanya Hans yang memintanya menikah, sang dosen pun memaksa Helga menerima perjodohan itu meski mantan istrinya masih menginginkannya. Selain itu, Helga juga harus menyembunyikan pernikahan mereka demi karier mantan istri sang dosen. Apa yang terjadi jika mantan istri dosennya berusaha menyingkirkannya? Mampukah Helga bertahan di samping Hadyan dan menjaga pernikahan mereka? Lalu bagaimana jika Hadyan hanya mempermainkan perasaannya? "Jangan pernah sekali pun kau berbicara buruk mengenai mantan istriku." Helga sedikit tersenyum mendengar nada suara Hadyan. "Oh, ternyata Bapak sangat mencintai mantan istri Bapak yang selingkuh itu dan sulit move on?!" Helga tersenyum miring. "Miris sekali, cinta tulus Bapak dikhianati."

Bab 1 Isu Tak Mutu

Sesi perbincangan dibuka setelah Helga selesai menaruh sendoknya, dan hendak minum. Emma memulai obrolan dengan muka lebay andalannya. “Kalian berdua sudah dengar isu terbaru di kampus kita belum?” tanya Emma sesudah menelan ayam gorengnya.

Hujan yang turun kala beberapa mahasiswa berhamburan di kantin, membuat suasana makin teduh dan menyenangkan bagi Galenka Helga. Namun, tidak banyak mahasiswa yang berada di sana. Kondisi kantin tak seramai saat matahari sedang terik-teriknya. Karena lokasi kantin berseberangan dengan gedung tempat Helga selesai belajar, sudah bisa dipastikan bahwa banyak mahasiswa yang lebih nyaman di kelas atau pun di tempat bersantai yang ada di belakang gedung kampus.

Dengan begitu, Helga dan dua temannya bisa makan tenang tanpa takut diganggu mahasiswa tengil yang belum dewasa. Ketiganya makan siang dengan duduk di satu meja yang sama. Helga dan Nafa satu bangku, sedangkan Emma duduk sendiri berhadap-hadapan dengan Helga.

Nafa yang selalu tertarik dengan berita gosip pun menggeleng. “Memangnya ada gosip apalagi?” balas perempuan itu yang tubuhnya sudah condong ke Emma.

“Pak Hadyan...! Pak Hadyan kepergok ciuman di depan ruangannya sama salah satu seniorku pas jalan di koridor.”

“Ciuman sama kating?!” pekik Nafa dengan mulut yang sudah menganga.

“Bukan, Fa! Ciuman sama perempuan, tapi bukan kating ... sepertinya, ya.”

Nafa lantas cemberut. Dia dengan muka tertekuk meraih jus mangga lalu meremas pegangan gelas. “Siapa yang gak tertarik? Dosen tampan, bentuk otot lengan yang menyegarkan, keturunan bule pula. Mana ada yang nolak?” terang Nafa sehabis minum.

Spontan Emma menunjuk Helga dengan tatapan matanya. Nafa pun menepuk jidat. “Helga tuh, mana mungkin tertarik sama pak Hadyan?” sahut Emma sebelum melanjutkan makannya.

Sementara Helga yang disinggung tetap saja makan tanpa beban. Ia memang tidak tertarik dengan isu-isu tentang dosen di universitas mereka. Terutama isu mengenai dosen mereka yang dicap paling tampan dan gagah, Hadyan. Karena menurut Helga, yang paling penting adalah belajar dan belajar. Gadis itu sama sekali tidak terpengaruh dengan gosip yang tersebar semenjak dirinya menjadi mahasiswa baru hingga kini ia sudah sampai di semester enam.

Nafa menoleh ke kiri, di mana Helga sudah berdiri. “Eh! Kamu mau ke mana, Hel?!”

“Ke kelas.”

“Bahas gosip dulu!”

“Hah! Isu itu tidak mutu!” balas Helga cuek sambil mengantongi dompetnya.

“Panjang umur!” semprot Emma mendelik. Dua temannya pun menoleh di mana mata Emma terarah. “Itu perempuan yang tadi dicium Pak Hadyan,” timpalnya berbisik saat sang dosen berjalan makin dekat ke arah mereka.

Nafa yang tampak terkejut pun kembali menatap Emma dan memuji, “Cantik. Pantas kalau Pak Hadyan suka! Belum lagi body seksinya.” Emma refleks mengangguk setuju.

Helga tanpa basa-basi langsung melanjutkan langkah kaki setelah sepasang matanya tak sengaja bertatapan dengan Hadyan. Kepala Helga menunduk sopan saat akan melewati pria berumur tiga puluh tahun itu.

*

Jarum jam yang rasa-rasanya seperti cepat berputar, sudah menunjukkan pukul delapan malam. Waktu makan malam sudah terlewat satu jam, karena Helga lebih mementingkan tugas kuliahnya ketimbang memasak di dapur. Sang kakek yang menonton televisi pun dipanggilnya agar makan bersama di ruang makan.

Meja dengan empat kursi itu hanya dipakai oleh dua orang saja. Karena tak ingin ada jarak, Helga dan sang kakek makan berhadap-hadapan. “Calon suamimu bernama Gavi,” celetuk sang kakek yang membuat Helga berhenti mengunyah seketika. Lagi-lagi soal pria yang akan dinikahkan dengannya. Helga tak menyukai pembicaraan ini. “Dia sudah setuju.”

Melanjutkan kunyahannya sebelum menelan, Helga menatap sang kakek yang tengah memandangnya. “Kita sedang makan malam, Kek,” balasnya malas. “Bukankah Kakek tidak suka kalau ada orang yang makan sembari bicara?”

“Kakek hanya memberitahumu.”

Makan malam itu pun dilanjutkan tanpa ada dialog. Helga yang merasa terganggu sejak Adi menyebut nama lelaki, buru-buru menyelesaikan makannya. Dia juga segera membawa piring miliknya ke bak pencucian, dan lekas membersihkan kotoran di piring tersebut.

Suara Adi kembali mengusiknya. “Kakek minta maaf karena harus memaksamu menikah di usia muda dengan pria yang juga belum kamu kenal, Helga.”

Gadis itu meletakkan piringnya yang sudah bersih ke rak, dan memutar badannya hingga menghadap Adi. “Kalau Helga tahu dari awal uang kuliah dibantu teman Kakek, Helga tidak mungkin mau kuliah, Kek. Yang Helga sayangkan adalah Kakek tidak bicara dari awal kalau biaya kuliahku ditanggung teman Kakek,” ujarnya kecewa.

“Teman Kakek ingin pernikahan kalian dipercepat.”

Pupil Helga membesar begitu mendengar suara serak sang kakek. “Itu berarti tidak akan dilaksanakan setelah Helga wisuda?” Dengan muka sedih Helga menatap Adi.

“Iya. Persiapan pernikahan sudah delapan puluh persen.”

Mendengar itu air mata Helga tiba-tiba menggenang. “Sekali lagi Kakek minta maaf karena tidak bisa mengulur rencana pernikahanmu,” ucap Adi dengan satu tangan yang terulur ke kepala sang cucu. Tumpah sudah tangis cucunya begitu kedua tangan Adi merangkul. “Percaya pada Kakek, suamimu adalah pria yang bertanggung jawab dan menyayangimu.”

“Bagaimana Kakek bisa tahu? Melihatku saja dia tidak pernah.”

“Kakek sudah pernah mengirim foto-fotomu pada teman Kakek, dan anaknya tidak mungkin setuju menikah denganmu tanpa tahu wajahmu lebih dulu.”

Helga mundur dan kembali menatap Adi sambil menyahut, “Itu tandanya dia hanya menyukai fisikku, Kek. Bagaimana kalau dia tidak sesuai dengan penilaian Kakek setelah kami menikah?”

“Itu tidak mungkin. Kakek sudah mengenalnya sejak dia masih kanak-kanak. Hingga dia dewasa pun Kakek tahu kepribadiannya, Helga.” Adi menghapus air mata yang turun di pipi sang cucu, lalu mengusap rambut hitam panjang itu. “Berjanjilah pada Kakek untuk menjadi istri yang penurut, layanilah suamimu kelak dengan sepenuh hati, dan pertahankan rumah tangga kalian walaupun pernikahan itu didasari dengan perjodohan.”

“Helga belum siap, Kek ...,” lirih Helga yang sudah menangis begitu membayangkan dunia pernikahan.

Ada rasa takut yang begitu besar setelah mengetahui bahwa pernikahannya dipercepat, teramat kilat. Karena baru tiga bulan lalu ia diberitahu sang kakek bahwa dirinya akan dijodohkan dengan anak dari teman sekaligus majikan Adi serta kebenaran bahwa hampir tujuh puluh persen biaya kuliah dibantu oleh Hans Anderson, teman sang kakek tersebut. Lalu sekarang dia harus mendengar lagi bahwa pernikahan mereka dipercepat, membuat Helga ingin kabur saja.

“Tentu saja cucuku mampu menjadi istri yang baik. Helga yang Kakek kenal adalah gadis yang dapat diandalkan.” Adi kembali membawa tubuh Helga ke dalam pelukannya. “Hanya itu tadi pesan Kakek sebelum meninggalkanmu. Kakek tidak ingin cucu Kakek satu-satunya kesepian jika Kakek lebih dulu tiada, dan menyusul kedua orang tuamu,” bisiknya yang membuat air mata Helga tidak bisa berhenti menetes.

*

Bila kemarin Helga mendengar isu bahwa Hadyan tengah berciuman dengan perempuan yang diduga sang kekasih, kini gadis itu harus melihat lengan Hadyan dirangkul oleh perempuan berbeda lagi. Ya, orang itu berbeda dengan perempuan yang diajak ke kantin kemarin saat makan siang. Beberapa mahasiswi yang berada di sekelilingnya pun turut terkejut melihat pemandangan tersebut.

“Ini Pak Hadyan yang terlalu tampan sampai cewek-cewek berdatangan, atau memang Pak Hadyan yang kurang tegas?” tanya Nafa, tentunya tak berani kencang-kencang, karena Hadyan dan perempuan itu makin berjalan ke arahnya dan Helga.

Helga yang sudah berpapasan cuma menunduk sampai pasangan itu melewatinya. Sembari membuang napas panjang, Helga menutup mata lantaran ucapan Nafa cukup membuatnya merasa bosan. Lagi-lagi tentang skandal dosen paling tampan dan gagah di universitas mereka.

“Daripada pusing mikir itu, lebih baik kita fokus sama tugas akhir, belum lagi skripsi. Bulan besok sudah semester tujuh,” cuma itu yang bisa Helga katakan sebelum buru-buru melanjutkan langkah kakinya.

Nafa yang tahu betul bagaimana Helga, membuntuti dari belakang. Namun, tetap saja mulutnya tak bisa berhenti bicara. Ia terus mengatakan bahwa Hadyan dosen yang sebenarnya layak dikagumi, walaupun banyak perempuan yang sudah dianggap sebagai ‘mainan’ pria itu.

“Kemarin aku dapat foto Pak Hadyan di mall, Hel.” Helga hanya bergumam sembari melirik sekilas saat Nafa mulai mengeluarkan ponselnya dari dalam saku kemeja. “Coba, lihatlah!” ujarnya seraya menunjukkan perempuan yang berbeda lagi. Kali ini perempuan yang lebih dewasa, dan sepertinya seumuran dengan Hadyan.

“Mungkin itu istrinya,” jawab Helga enteng.

“Pak Hadyan belum punya istri!” sembur Nafa kesal. “Pak Hadyan pernah bilang kalau target menikahnya masih lama, Hel.”

“Sejak kapan Pak Hadyan bicara masalah pribadi?” kali ini Helga bertanya dengan sedikit tertawa. “Setahuku Pak Hadyan tidak pernah bilang begitu.”

“Dulu, di saat awal-awal kita masuk kampus. Itu juga alasanku kenapa suka sama Pak Hadyan, siapa tahu aku bisa jadi kandidat.”

“Kandidat?”

“Ya, siapa tahu aku jadi salah satu calon istrinya ... mungkin aku masih bisa daftar!” Nafa memekik kegirangan dan diakhiri dengan senyum lebar.

Helga yang malas membahas dosen misterius itu geleng-geleng kepala seraya mengembalikan ponsel Nafa.

"Lihat baik-baik fotonya. Pak Hadyan pakai cincin yang sama persis sama perempuan itu,” ungkap Helga memberitahu. Seketika itu juga Nafa mengecek kembali, dan menahan napas dengan mata membulat.

“Ja-jadi ... jadi dia sudah menikah, Hel? Pak Hadyan su-sudah menikah?!”

“Mungkin saja,” sahut Helga makin mempercepat langkahnya.

Meninggalkan Nafa yang masih menatap foto Hadyan bersama seorang perempuan cantik dengan tampang kaget. Nafa bahkan diam mematung, merasa kaget sekaligus kecewa yang sangat besar setelah melihat cincin berwarna silver melingkar di jari manis sang idola.

“Pasti foto editan!” pekiknya sembari meremas gawai lalu berlari menyusul Helga. “Ini pasti tipuan, Hel!”

Helga yang sudah berjalan jauh di depan tak ingin menoleh lagi. Ia sudah tak sabar ingin ke perpustakaan untuk mengerjakan sebagian tugas akhir yang membuat otaknya harus kembali mengingat semester awal lagi. Namun, belum sampai di dalam perpustakaan, seorang mahasiswa menghalanginya masuk dengan menarik salah satu pergelangan tangannya.

“Kenapa?” tanya Helga heran.

“Kamu dipanggil pak Hadyan di ruangannya.”

“Ada urusan apa pak Hadyan sampai panggil aku ke ruangannya?”

Lelaki itu mengangkat bahu, lalu menepuk-nepuk pundak Helga sebelum berlari dan menjawab, “Jangan lupa aktifkan ponsel untuk jaga-jaga.” Sesudah itu dia menyingkir dari pandangan Helga.

Sedangkan Nafa yang baru sampai, merasa bingung karena Helga justru meninggalkannya lagi tanpa bersuara. Ingin menyusul dan bertanya, tapi dia sendiri kelelahan karena berlari. Alhasil ia memilih ke kantin untuk membeli minuman segar.

Helga yang sudah berdiri di depan pintu ruangan berwarna cokelat itu segera mengetuk. Sampai ketukan ketiga, barulah pintu dibuka dan menampilkan sosok pria berkemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga melewati siku. “Silakan duduk,” ujar dosen berhidung mancung dan punya bibir merah pucat itu sembari menunjuk sebuah kursi merah di depan mejanya.

“Mohon maaf, Pak. Jika boleh tahu, ada apa Pak Hadyan memanggil saya?”

“Tugas laporan milikmu masih memiliki beberapa kesalahan.” Hadyan juga mengulurkan laporan yang cukup tebal itu pada Helga. “Harap periksa di bagian pertengahan sampai akhir. Perhatikan pula beberapa kata yang masih kurang atau salah ketikan. Saya tidak suka kesalahan kecil.”

Mendengar itu jelas saja Helga kaget. Ia baru ingat kalau sebelum mengumpulkan laporan itu, dia belum mengeceknya lagi. Jadilah kini harus direvisi, dan tentunya mengulang dari awal. Dengan senyum yang dipaksakan Helga menerima laporannya.

“Baik, Pak. Akan saya revisi secepatnya. Mohon maaf atas kesalahan saya, Pak.” Hadyan mengangguk lalu mempersilakannya keluar. “Terima kasih, Pak. Saya permisi,” pamit Helga seraya berdiri.

Begitu ingin berbalik, ia mendengar handle pintu toilet di ruangan itu seperti dibuka dari dalam. Tak lama, sosok perempuan keluar dengan ekspresi terkejut saat tatapannya tak sengaja bertemu dengan Helga. Helga pun sama, ia juga terkejut melihat perempuan dengan kucir ekor kuda itu. Saking kagetnya, Helga cuma bisa menyebut namanya, “Emma ...."

“He-Helga?”

“Kalian berdua bisa keluar dari ruangan saya sekarang.”

Helga dan Emma pun sama-sama keluar dari ruangan Hadyan. Begitu sampai di luar, Helga yang penasaran dengan Emma ragu ingin bertanya. Sementara Emma juga tak ada tanda-tanda ingin menjelaskan sesuatu. Mereka berdua hanya diam dengan suasana canggung.

Hingga Helga yang memiliki kepentingan pun bersuara lebih dulu. “Aku harus revisi tugas laporan. Mungkin aku tidak akan ke kantin.” Emma mengangguk saja, dan Helga pun berbelok ke kiri dimana perpustakaannya berada. Akan tetapi, belum lama berjalan Emma memanggilnya. Membuat Helga berhenti dan seketika menoleh. “Ya?”

“Aku enggak ada sesuatu sama pak Hadyan.” Helga cuma tersenyum kecil. “A-aku serius, Hel.”

“Aku tidak peduli itu, Em. Privasi orang bukan ranahku.” Helga lantas melambai dan buru-buru. Ia sampai mempercepat larinya agar dapat cepat juga mengerjakan tugasnya.

Anehnya, ketika sampai di perpustakaan dan mengeluarkan laptop, Helga sulit untuk fokus. Ia justru kepikiran akan Emma yang keluar dari kamar kecil sang dosen dengan muka basah dan tampang terkejut. Dia jadi teringat pula akan tampilan Hadyan yang rambut cokelatnya seperti habis dikeringkan. Meski begitu, Helga dengan kuat menggelengkan kepalanya.

“Tidak! Aku tidak boleh berpikiran buruk! Lagi pula aku tidak berhak ikut campur dengan urusan orang lain,” pekik Helga tertahan sebelum menaruh kepalanya di atas meja dengan mata terpejam kuat.

Beberapa detik kemudian, ia merasa ponsel di saku celana jeans bergetar. Sang kakek mengirim pesan. Seketika itu juga Helga menegakkan kepala serta tubuhnya dengan mulut menganga lebar. Ternyata bukan cuma pesan yang dikirim padanya, tetapi nama lengkap beserta foto calon suaminya.

“Ini adalah Hadyan Gavi Anderson, calon suamimu,” tulis sang kakek tepat di atas foto sang dosen. Pria itu tengah memakai jas, dipotret dari samping. Sudah bisa dipastikan Helga syok bukan main. Tanpa berpikir panjang, Helga mengangkut barang-barangnya dan tujuannya cuma satu, pulang ke rumah.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Kocakaja

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku