icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjerat Pesona Dosen Tampan

Terjerat Pesona Dosen Tampan

Penapika

5.0
Komentar
28.9K
Penayangan
134
Bab

Agnesia Putri Hutama, aktris cantik papan atas yang terpaksa harus meninggalkan karirnya untuk sementara demi menyelesaikan studi sarjananya. Dalam proses menyelesaikan masa studinya, takdir membuat Agnes melibatkan diri dengan seorang dosen muda tampan yang sangat membenci profesinya, Kevin.  Lalu, bagaimana jadinya jika karena suatu keadaan, mereka harus hidup dalam satu atap dan tinggal bersama?

Bab 1 Stop Berkarir !

“Morning, Mom! Wah, masak apa ini?” Agnes segera melangkahkan kaki menuju meja makan, mendekati ibunya yang tengah menyiapkan sarapan. Dia sudah siap berangkat ke tempat kerjanya hanya dengan dress panjang garis dipadu dengan sneakers putih hadiah dari kakak laki-lakinya saat ulang tahun kemarin.

“Mama masak sop merah kesukaan kamu. Makan dulu, yuk!” ajak ibunya, Clarice namanya. Clarice kemudian menarik kursi untuk putrinya tetapi Agnes harus segera berangkat karena sudah hampir terlambat.

“Maaf, Mom. Tapi, adek kayaknya nggak bisa ikut sarapan kali ini. Sudah telat banget, jadi adek harus berangkat sekarang,” keluh Agnes, sembari melirik Michelle –manajernya- yang tengah sibuk dengan ponsel miliknya.

“Sarapan nggak habisin waktu lama, Dek,” sahut Clarice. Agnes menghela napas berat, pasti akan sulit membujuk ibunya karena sarapan memang ritual wajib di keluarga itu.

Jika bukan sarapan, tidak ada waktu lain untuk bisa berkumpul karena anggota keluarga mereka terlalu sibuk dengan urusan masing – masing.

“Lain kali, ya, Mom. Sorry. Adek berangkat dulu, bye!” Agnes mencium pipi kiri dan kanan ibunya lalu melangkah keluar dari rumah sebelum suara berat seseorang menghentikannya.

“Mau ke mana, Dek?”

Agnes menoleh, menyipitkan mata untuk memastikan penglihatan. “Papa sudah pulang dari Shanghai?” Agnes bertanya dengan nada heran, menghampiri ayahnya dan mencium punggung tangannya. Sekalipun keluarga ini kaya raya, sopan santun dan tata krama masih sangat dijunjung tinggi, apalagi ayahnya juga asli orang jawa.

“Kamu ada jadwal pagi ini?”

Agnes mengangguk dengan senyuman tipis, alisnya sedikit naik saat melihat perubahan ekspresi wajah ayahnya berubah serius.

“Papa mau bicara sama kamu sebentar, bisa, ‘kan?” Ingin hati berkata tidak, tetapi tidak mungkin. Sama saja dengan membangunkan singa tidur kalau tidak menuruti kemauan ayahnya.

Tanpa menjawab, Agnes lalu menarik kursi untuk duduk. Gunawan, ayah Agnes lalu berdehem, membuat gadis itu semakin gugup dan penasaran tentang apa yang ingin ayahnya bicarakan. “Papa dengar kamu mengambil cuti kuliah satu tahun, kenapa?”

Agnes tertegun mendengar pertanyaan ayahnya. Padahal dia baru saja mengajukan formulir cuti itu kemarin sore sebelum syuting iklan. Belum juga disetujui, tetapi Gunawan sudah mengetahuinya.

“Dek, kok diam? Jawab pertanyaan papa.” Suara Gunawan berubah menjadi sedikit menyeramkan di telinga Agnes.

Sebenarnya, Agnes sendiri takut untuk bicara jujur, takut ayahnya tidak akan mengijinkan, terlebih lagi dia sudah memasuki semester akhir kuliah. Hanya tinggal skripsi saja.

“Iya, Pa.” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Agnes. Menundukkan kepala dan memainkan tangan di bawah sana.

“Alasannya?”

Diam. Tidak ada jawaban dari gadis itu.

“Agnes.”

Kepala Agnes otomatis terangkat sebelum Gunawan semakin marah, karena jika ayahnya sudah memanggil dengan nama dan bukan dengan panggilan “Dek” itu artinya pria paru baya itu mulai tersulut emosi.

“Hmm … itu, Pa.” Kan, Agnes mendadak berubah menjadi orang gagu, bicara saja tidak becus.

“Jangan bilang, kamu mengambil cuti demi karir keartisan kamu yang tidak penting itu?”

Tanpa sengaja Agnes terpancing emosi saat kata “tidak penting” itu keluar dari mulut ayahnya. Tidak penting katanya? Ck. Tahu apa Papa tentang profesi gue selama ini? Batin Agnes tidak terima.

“Pa, kita sarapan dulu aja, yuk!” Clarice hadir di tengah pembicaraan mereka, dia sengaja melakukan itu untuk mencairkan suasana yang mulai menegang.

“Papa sedang bicara dengan Agnes, Ma,” tegas Gunawan, seakan tidak ingin disela atau dibantah.

“Tapi, Pa –”

“Mom, it’s okay.” Dengan sengaja Agnes memegang sebelah tangan ibunya, dia sangat berterima kasih atas niat baik Clarice yang ingin membantu, tetapi Agnes perlu menyelesaikan masalahnya sendiri.

“Pa, adek minta maaf kalau adek mengajukan cuti tanpa minta ijin dulu sama Papa. Tapi, adek ngelakuin ini karena adek merasa ini hal yang tepat untuk dilakukan.”

“Tepat belum tentu benar, ‘kan?” sarkas Gunawan.

Agnes mengepalkan kedua tangan di bawah meja, menghembuskan napas pelan untuk mengendalikan emosi.

“Adek janji setelah pekerjaan adek semua selesai, adek akan menyelesaikan tanggungjawab pendidikan adek tahun depan.”

“Yakin? Bagaimana kalau tahun depan pekerjaan kamu semakin banyak? Mau ambil cuti lagi? Kenapa gak sekalian aja kamu keluar dari kampus?”

“Papa tidak pernah meminta apapun dari kamu, Agnes. Papa hanya meminta selesaikan dulu tanggungjawab pendidikan kamu. Setelah itu, terserah kamu mau syuting sinetron stripping atau apapun itu,” lanjutnya. Nada bicara Gunawan mulai melunak, mungkin karena melihat ekspresi wajah putrinya yang mulai menunjukkan kekesalan.

“Agnes hanya meminta waktu satu tahun, Pa.”

“That’s bullshit! Sekali kamu mengajukan cuti, akan sulit untuk kembali, Agnes. Papa jelas tahu melebihi siapapun tentang itu.”

Tentu saja, karena Gunawan adalah pemilik yayasan universitas yang menjadi tempat Agnes menempuh pendidikan sekarang.

“Just give me one chance, okay? Please, Pa.”

“Oke kalau itu mau kamu.” Agnes hampir bernapas lega sebelum bola matanya membulat sempurna dengan perkataan Gunawan selanjutnya. “Terserah jika kamu masih tetap bersikeras dengan keputusan kamu, tapi jangan salahkan Papa jika karir kamu berakhir sampai di sini.”

It’s over! Jika Gunawan sudah memutuskan untuk bertindak, maka tidak ada satu pun orang yang sanggup melawan.

***

“Ngapain di sini?”

Agnes menolehkan kepala, mengerutkan dahi saat melihat sosok yang dia rindukan selama tiga bulan terakhir.

“Abang?”

“Taraa! Kejutan!” seru Ammar, kakak laki-laki Agnes. Pria itu merentangkan kedua tangan dengan senyum menyebalkan miliknya.

Tanpa bersuara, Agnes menubruk dada kekar milik abangnya. Memeluk dengan erat, menumpahkan rasa rindu padanya.

Ammar menikah tiga bulan yang lalu, kemudian pergi bulan madu dan tidak kunjung pulang. Katanya sekalian mengadakan pameran busana Neta, istrinya, di Paris.

“Abang kenapa baru pulang?” rengek Agnes, mengeratkan pelukan semakin dalam.

“Kamu sendiri, abang pulang bukannya dikasih pesta sambutan malah harus lihat muka kamu yang kusut gitu. Kenapa? Ada masalah?” Agnes melonggarkan pelukan, mendongak untuk melihat jelas muka abangnya yang di dagu mulai ditumbuhi oleh janggut.

“Ini kenapa ada janggutnya? Bukannya Abang gak suka numbuhin janggut?” tanya Agnes, sengaja mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin membahas persoalannya dengan sang ayah barusan.

Ammar menyunggingkan sebelah sudut bibirnya, kemudian membalas, “Oh, ini. Ya gimana, kakak ipar kamu yang minta. Katanya bawaan baby.”

Menyadari maksud perkataan Ammar, kedua sudut bibir Agnes otomatis tertarik ke atas. “Kak Neta hamil?”

Ammar hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian Agnes tersenyum lebar. “Wah, selamat Abang!” Agnes ikut bahagia, sungguh.

“Eh, tapi kamu belum jawab pertanyaan abang!” Memang dasar Ammar punya otak cerdas, jadi sulit sekali dibohongi.

“Kalau ada orang tanya tuh dijawab!”

“Iya, astaga! Ini juga mau jawab!” kesal gadis itu, memberontak karena Ammar terus mendesaknya.

“Kenapa? Papa gak setuju kamu ngambil cuti kuliah?” Spontan Agnes memundurkan kepala, dahinya mengkerut dalam.

Dengan cengiran lebar, Ammar lalu berkata, “Abang tahu dari mama tadi.”

Agnes mendecak kesal di tempat. “Kalau tahu, kenapa pakai tanya?!”

“Abang mau kamu yang cerita,” Ammar memberi jeda pada kalimatnya, “kalau kamu mau, abang bisa bantu,” lanjutnya.

Mendengar perkataan Ammar, spontan Agnes menolehkan kepala. “Abang mau bantu adek bujuk Papa?”

“Memang Papa bisa dibujuk?” Pertanyaan itu seperti kalimat retoris yang sudah jelas jawabannya. Tentu tidak.

“Tapi, abang kenal orang yang bisa bantu kamu bujuk Papa.”

Agnes melirik Ammar dengan pandangan meremehkan, membuat pria itu memasang wajah serius yang jarang terlihat. “Beneran ini. Dia dosen muda di kampus. Semua mahasiswa bimbingannya selalu dapat nilai A. Papa juga dekat sama dia. Jadi, abang yakin kalau kamu bisa jadi mahasiswa bimbingannya, papa pasti setuju buat ijinin kamu berkarir lagi.”

Tawaran yang cukup menarik, tapi …

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku