Mobil Alia melaju perlahan menelusuri jalan berkelok yang membelah perkebunan teh hijau membentang luas. Aroma tanah basah dan daun teh bercampur dengan embun pagi, membangkitkan nostalgia dalam dirinya. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di kampung halamannya ini.
Alia, wanita karir sukses di Jakarta, kini kembali ke desa kecil tempat ia dibesarkan. Keputusan mendadak ini diambilnya setelah menerima kabar duka tentang meninggalnya sang nenek. Rasa kehilangan dan kerinduan menggerogoti hatinya, memaksanya untuk kembali ke tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan.
Seiring mobil mendekati rumah neneknya, ingatan masa kecil bermunculan dalam benaknya. Ia teringat bermain petak umpet di halaman rumah, berlarian di sawah bersama Raka, dan menikmati sore hari dengan duduk di teras sambil mendengarkan cerita nenek.
Raka, cinta pertamanya. Sosok yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi Alia, meskipun sudah bertahun-tahun mereka tak bertemu. Raka, pemuda sederhana dengan senyum yang selalu berhasil membuat hati Alia berdesir.
Alia menghentikan mobil di depan rumah neneknya. Rumah kayu tua itu masih berdiri kokoh, meskipun tampak sedikit usang. Ia turun dari mobil, matanya tertuju pada taman kecil di depan rumah. Taman yang dulu dipenuhi bunga-bunga warna-warni, kini hanya tersisa beberapa tanaman kering.
"Alia?"
Suara itu membuat Alia tersentak. Ia menoleh dan mendapati seorang pria paruh baya berdiri di ambang pintu. "Pak Darto?" tanyanya.
"Ya, Alia. Kamu sudah datang." Pak Darto tersenyum hangat. "Nenekmu sudah dimakamkan kemarin. Kamu datang terlambat."
Alia mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Maaf, Pak. Saya baru bisa datang sekarang."
Pak Darto menuntun Alia masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, Alia melihat beberapa kerabat neneknya sedang berkumpul. Ia menyapa mereka dengan canggung, hatinya dipenuhi rasa sedih dan kehilangan.
"Alia, kamu sudah besar. Sudah cantik sekali," kata seorang perempuan paruh baya yang Alia kenal sebagai Bu Tini, tetangga neneknya.
Alia tersenyum tipis. "Terima kasih, Bu."
"Kamu tinggal di Jakarta?" tanya Bu Tini.
"Iya, Bu. Saya bekerja di sana."
"Kerja apa, Alia?"
"Saya bekerja di perusahaan desain."
Bu Tini mengangguk, matanya berbinar. "Hebat sekali, Alia. Nenekmu pasti bangga padamu."
Alia terdiam. Ia merasakan sesak di dadanya. Ia tahu neneknya selalu bangga padanya, tapi ia juga tahu bahwa neneknya selalu berharap agar Alia kembali ke kampung halaman dan menikah dengan Raka.
"Raka bagaimana kabarnya, Bu?" tanya Alia.
Bu Tini terdiam sejenak. "Raka masih di sini, Alia. Dia masih bekerja di kebun teh. Dia masih... menunggumu."
Alia tertegun. Raka masih menunggunya? Setelah sekian tahun?
"Dia masih menunggumu, Alia. Dia tidak pernah melupakanmu," kata Bu Tini lagi.
Alia merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu, ke saat ia masih muda dan naif, dan Raka adalah segalanya.
"Aku... aku harus menemuinya," kata Alia, suaranya bergetar.
Bu Tini tersenyum. "Ya, Alia. Temuilah dia. Mungkin ini adalah kesempatan untukmu kembali ke titik awal."
Alia mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia merasa seperti terjebak dalam pusaran kenangan, dan ia tidak tahu bagaimana cara melepaskan diri dari semuanya.
"Aku akan menemuinya," kata Alia, suaranya berbisik.
Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menemuinya. Untuk kembali ke titik awal, untuk merasakan kembali cinta yang pernah mereka miliki.
Namun, ia tidak tahu bahwa pertemuan ini akan membawa banyak perubahan dalam hidupnya.
Bab 2: Pertemuan Tak Terduga
Alia berjalan menyusuri jalan setapak menuju kebun teh. Udara sejuk pagi menyapa kulitnya, membawa aroma tanah basah dan daun teh yang menyegarkan. Ia teringat masa kecilnya, saat ia dan Raka sering bermain petak umpet di antara barisan pohon teh hijau yang menjulang tinggi.
Seiring berjalan, ia mulai merasakan debar jantung yang semakin kencang. Rasa gugup dan penasaran bercampur aduk dalam dirinya. Bagaimana Raka sekarang? Apakah ia masih ingat padanya? Apakah ia masih merasakan hal yang sama seperti dulu?
Alia akhirnya sampai di sebuah gubuk kecil di tengah kebun teh. Di sana, ia melihat seorang pria sedang duduk di teras, sedang mengupas kulit kacang. Pria itu mengenakan baju kaos oblong dan celana pendek, rambutnya sedikit memutih di bagian pelipis.
"Raka?" tanya Alia, suaranya sedikit gemetar.
Pria itu menoleh, matanya terbelalak. Ia berdiri dan menghampiri Alia, wajahnya dipenuhi kekaguman. "Alia?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Iya, aku Alia," jawab Alia, matanya berkaca-kaca.
/0/20056/coverorgin.jpg?v=2756edc4f12942a260feff6696126824&imageMogr2/format/webp)
/0/13104/coverorgin.jpg?v=bdd767dfe4ccbcd919c9d423c9e4c222&imageMogr2/format/webp)
/0/29588/coverorgin.jpg?v=fd07e6aad7d0ecc94ab3cc6bff56e70c&imageMogr2/format/webp)
/0/4053/coverorgin.jpg?v=4611eb4715991ae118af1d3d0798752d&imageMogr2/format/webp)
/0/24713/coverorgin.jpg?v=d5ec8a1ab9d841d707913428394d96b4&imageMogr2/format/webp)
/0/17042/coverorgin.jpg?v=af865f836fe11745c48654c258bea8af&imageMogr2/format/webp)
/0/2841/coverorgin.jpg?v=f985878837adf7ea89879cdbb243c038&imageMogr2/format/webp)
/0/10773/coverorgin.jpg?v=b5db46b4894f9e45289dad0a48feb797&imageMogr2/format/webp)
/0/16564/coverorgin.jpg?v=1fea2c047e0199e457c5dfea4689e55f&imageMogr2/format/webp)
/0/6602/coverorgin.jpg?v=20250122151422&imageMogr2/format/webp)
/0/14553/coverorgin.jpg?v=20250123120124&imageMogr2/format/webp)
/0/20152/coverorgin.jpg?v=46f5de228f2cd33a115f91471d66a24a&imageMogr2/format/webp)
/0/9082/coverorgin.jpg?v=50ebab67619888f89162c5e3d53e71a1&imageMogr2/format/webp)
/0/12939/coverorgin.jpg?v=6c174984c8ef1145cdac2fdce22ee108&imageMogr2/format/webp)
/0/24930/coverorgin.jpg?v=db3bd88640043f63a3a303e058cafacf&imageMogr2/format/webp)
/0/21819/coverorgin.jpg?v=4f8e8be5b2b3387f944426e08681b5e0&imageMogr2/format/webp)
/0/23841/coverorgin.jpg?v=20250607090807&imageMogr2/format/webp)
/0/3808/coverorgin.jpg?v=0bebe7327483068a0a258141f5f5da4e&imageMogr2/format/webp)