Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjerat Cinta Sang Arsitek

Terjerat Cinta Sang Arsitek

Lamonna

5.0
Komentar
432
Penayangan
20
Bab

Leticia baru saja menerima fakta bahwa Daniel adalah seorang yang telah berumah tangga. Tak cukup menelan pil pahit dari sang kekasih. Kini, dia harus menemukan seorang arsitek untuk berbaikan dengan sang ayah atau dosa-dosanya di masa lalu takkan pernah termaafkan. Sementara sang arsitek yang bernama Raymond, baru saja ditinggal nikah oleh Nikita, sang kekasih. Di saat Ray terpuruk dalam kekecewaan, dia harus berhadapan dengan Leticia yang tengah di ambang kehancuran. Sulitnya komunikasi membuat mereka salah paham hingga Leticia dan Raymond terjebak di keadaan yang tak diinginkan. Akankah keduanya saling mengisi hati yang sama-sama terpuruk, atau hanya menjadi kisah cinta satu malam?

Bab 1 Berakhir

Leticia Lauretta Ricardo baru saja pulang bekerja. Jemari lentiknya menari lincah di atas setir seirama dengan alunan musik yang dia dengar. Sementara, cacing-cacing dalam perut kian meronta.

Ketika Leticia keluar dari sedan hitamnya, bibir tipis merah jambu wanita itu tersenyum manis. Kafe di hadapannya terlihat bergemerlapan. Sangat kontras dengan pekatnya malam.

Dengan anggunnya Leticia melangkahkan kaki jenjangnya yang berbalut stiletto hitam sepuluh senti. Perpaduan celana jeans, kemeja putih, dan blazer merah muda membuat penampilan wanita itu tampak elegan.

Semerbak wangi beef steak favoritnya seperti menyambut di pintu masuk. Suara orang berbicara, tertawa, dan berteriak memenuhi rongga pendengaran. Bersahutan dengan denting piring dan sendok yang beradu. Netra biru Leticia beredar ke seantero kafe yang hiruk pikuk. Asap rokok mengepul, baunya menyengat hidung.

Wanita itu duduk di dekat jendela, meletakkan hermes birkin hitam di sampingnya. Kemudian meraup rambut hitam yang tergerai sepinggang untuk dikuncir kuda. Sejenak, wanita berusia 26 tahun itu memainkan ponsel sambil menunggu pesanannya tiba.

Ketika Leticia asik menikmati santapan favorit, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Wajah yang putih berseri seketika pucat pasi. Suara seseorang dari belakang tubuh ramping wanita itu, membuat dia tersentak.

"Ayah, aku kenyang. Ayo pulang sekarang!" Terdengar suara anak kecil merajuk.

"Baiklah, Jagoan Ayah ... tunggu di mobil sama Ibu. Ayah ke toilet dulu, oke." Suara pria itu sangat familiar di telinga Leticia.

Leticia menoleh ke belakang, memastikan siapa pemilik suara itu. Tak diragukan lagi, dia adalah kekasihnya, Daniel.

Rahang wanita berkulit putih itu mengeras, tangannya mengepal hingga buku-buku kulit memucat. Dia gemetaran karena kemarahan yang sudah memuncak. Namun, Leticia sadar, ini bukan tempat untuk meluapkan amarahnya pada Daniel.

Leticia memejamkan mata seraya mengembuskan napas berat. Apa yang dia saksikan seolah meluluhlantakan hatinya. Wanita itu merogoh lembaran uang dan meletakkan di atas meja. Kemudian, dia bergegas pergi dari kafe.

[Hubungan kita berakhir!]

Leticia menyandarkan tubuh di kursi kemudi, air matanya berderai membasahi pipi saat mengirim pesan. Batinnya berteriak. Apa arti kejujuran yang selalu dijunjung tinggi jika pada akhirnya kau sendiri seorang pembohong, Daniel!

Wanita itu menginjak pedal gas melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.

Satu jam perjalanan, Leticia tiba di apartemen. Dengan langkah cepat dia ke kamar lalu memasukan pakaian ke koper.

Brak!

Suara pintu terhempas keras seolah membentur dinding. Leticia bergegas menyeret koper keluar dari kamar. Wanita itu tersentak hingga langkahnya terhenti di ambang pintu.

Daniel, pria bertubuh tinggi itu menatap garang ke arah Leticia. Suasana mencekam seketika memenuhi ruangan. "Kenapa mengakhiri hubungan kita? Kau selingkuh, hah?" tegur Daniel seraya menghampiri Leticia yang mematung di depan kamar.

"Jangan tanya kenapa! Kau telah berkeluarga!" Leticia tersenyum sinis.

Bugh! Bugh! Bugh!

Tanpa aba-aba, Daniel menghantam Leticia dengan amarah menggebu. Pukulan demi pukulan melayang di wajah dan tubuh wanita itu.

"Beraninya kau mencari tahu!" murka Daniel. Aura membunuh terpancar dari mata hitamnya saat mencekik Leticia.

"Lep-askan a-ku!" Leticia berusaha melepaskan cengkraman Daniel.

Gedebuk!

Daniel melemparkan Leticia hingga kepalanya membentur meja. Seolah tak puas, pria itu menghampiri Leticia sambil mengeluarkan pisau lipat dari saku mantelnya.

"Jika kau tak ingin aku memutus lehermu, jangan berani pergi dariku!" Daniel memelototi seraya memainkan pisau di leher Leticia.

"Bajingan!" Leticia bergemuruh.

Srek!

"Aargh ...." Leticia menjerit histeris saat Daniel merobek bajunya hingga menembus dada.

"Tutup mulutmu! Wanita bodoh!" bentak Daniel saat berdiri dan menendang Leticia yang tak berdaya.

Daniel mengurung Leticia seolah tahanan. Puas menganiaya wanita itu, dia mengambil dompet, kunci mobil, ponsel, dan kunci apartemen dari tas Leticia yang tergeletak di samping koper.

Malam menjelang subuh. Leticia terkapar di lantai yang dingin, kemeja putih yang dia pakai kini bersimbah darah.

"Kau tidak mengetahui asal-usul pria itu, Putriku."

Kalimat sang Ayah terngiang jelas dalam benak Leticia. Apa yang dialaminya saat ini membuat dia ingin segera kembali pada keluarga di Kota Ragusa.

Wanita itu merangkak menyusuri dinding. Kemudian, mengambil tas yang tergeletak di lantai. Namun, hanya tersisa beberapa lembar uang yang terselip di dalam tas.

"Tuhan ...." Leticia menitikkan air mata seraya menekan dada yang terluka.

Apa yang bisa dilakukan dengan uang ini? Jangankan membeli tiket pesawat, untuk biaya pengobatan pun tak akan cukup. Sejenak, dalam benak wanita itu terlintas sosok rekannya, dokter Maxwel. Namun, kembali dia tepis. Saat ini bahkan dia tak memiliki ponsel untuk menghubungi Maxwel.

Leticia semakin kesal saat mengetahui pintu apartemen terkunci. Daniel sungguh tak membiarkannya pergi. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, hingga menemukan cara untuk kabur.

Wanita itu bergegas mengikatkan sprei pada tiang jendela kamar. Kemudian, melemparkan gulungan kain itu hingga tanah.

Leticia melangkahi pagar balkon dengan tubuh gemetaran. Tangannya memegang erat kain yang menjuntai. Dia terus mendongak, ketinggian membuat wanita itu enggan membuka mata. Jemari kakinya berpijak pada simpul-simpul sprei.

Perlahan, napas Leticia terengah. Butir-butir keringat membasahi tubuh wanita itu. Jantungnya berdegup semakin kencang.

Leticia berpacu dengan waktu. Sebab, langit hitam perlahan berubah jingga. Dia harus pergi sebelum matahari memancarkan restunya. Wanita itu tak ingin mati konyol di tangan Daniel.

Gedebuk!

"Argh ...." Leticia memekik saat tubuhnya terjatuh dari ketinggian dua meter, dia terkapar di atas tanah berumput yang berembun.

Leticia merangkak mengambil sepatu yang berceceran dan dengan tergesa-gesa dia memakainya. Wanita itu bergegas pergi. Namun, sayangnya dia tak kunjung mendapat taksi. Akhirnya, Leticia berjalan terhuyung menyusuri trotoar dengan tubuh yang kian lemah.

Setelah berjalan selama dua jam, wanita itu tiba di gedung serba putih. Dia segera masuk ke salah satu ruangan dalam gedung. Bau desinfektan seketika menusuk hidungnya saat membuka pintu.

"Leticia, apa yang terjadi padamu?" Dokter Maxwel, pria berjas putih itu terperanjat melihat kondisi Leticia yang bersimbah darah.

"Max, tolong aku," ucapnya terengah-engah. Leticia ringkih, dia berjalan terseok. Pandangan yang perlahan samar akhirnya menjadi gelap.

"Leticia ...!" Dengan tangkas, Max meraih tubuh Leticia yang tak sadarkan diri.

"Astaga, apa yang terjadi padamu sepagi ini? Kenapa wajahmu hancur begini, Leticia?" Max menggerutu saat meletakkan wanita itu di atas brankar.

Tangan Max begitu cekatan menangani Leticia. Dia memasangkan oxygen, infus, dan menjahit luka di dada wanita itu.

"Siapa yang menganiayamu sekejam ini, Leticia?" lirih pria itu bertanya-tanya.

Meskipun Max belum lama mengenal wanita itu, tetapi kelugasan Leticia membuat mereka cepat akrab. Terlebih lagi, tingkah ceroboh Leticia kala melakukan sesuatu, seringkali membuat Max terbahak-bahak.

Empat jam berlalu. Leticia membuka mata melihat ke langit-langit dan dinding yang serba putih. Embusan kanul oxygen membuat hidung wanita itu terasa dingin.

"Akhirnya ... kau bangun juga! Aku kira kau akan tidur seharian di ruanganku," celetuk Max saat menghampiri wanita itu.

Leticia tersenyum simpul. "Max, maaf. Aku merepotkanmu," ucap Leticia dengan lirih seraya menoleh ke arah Max yang berdiri di sisi kanan ranjang.

"Lupakan!" tukas Max, "katakan padaku, apa kau dikeroyok gangster? Aku akan menghabisi mereka!" Max tak bisa menahan kekesalan.

"Aku dirampok ...." Wanita itu menitikkan air mata.

"Kau mengingat wajah perampok itu? Kita lapor polisi!" geram Max dengan tangan terkepal.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku