Ahmad Syarifuddin, atau yang lebih akrab disapa dengan Syarif. Ia adalah seorang guru olahraga disalah satu kabupaten di pulau garam. Syarif yang saat ini berumur 30 tahun selalu mendapat tekanan dari ibunya untuk segera menikah dengan alasan usia yang sudah tidak muda lagi. Syarif bukannya tidak ingin menikah. Berkali-kali ia mencoba menjalin hubungan dengan perempuan. Namun, tidak pernah ada yang berhasil. Bahkan kisahnya cinta pertamanya berakhir tragis, ditolak mentah-mentah oleh Ayah kekasihnya dengan alasan materi. Berkali-kali gagal menjalin cinta, bertahun-tahun belum menikah juga, membuat Syarif mendapatkan predikat Perjaka Tua. Akankah Syarif akan terus sendiri hingga menjadi perjaka tua? Ataukah akan ada sosok perempuan yang akan menghapus predikat perjaka tua yang sudah melekat pada dirinya?
"Emak, Syarif pulang" ucapku ketika sampai di ambang pintu rumahku.
Ku lihat Emak tengah berdiri mematung, menatap kalender dengan wajah sedih. Aku segera menghampirinya untuk memastikan apa yang membuatnya sedih. Aku peluk tubuh Emak dari belakang.
"Mak, anakmu sudah pulang. Mengapa kau tidak menyambutku?" godaku.
Emak tetap mengacuhkanku. Ia menghela nafas panjang menandakan sesuatu yang berat sedang ia pikirkan.
"Hari ini ulang tahunmu, Nak" ucap Emak masih tetap menatap kalender.
Aku menepuk jidatku. Ya, hari ini tanggal empat belas di bulan Juni. Hari ulang tahunku yang ke tiga puluh. Perasaanku langsung berubah tidak enak. Namun, aku berusaha santai agar tidak menambah rasa sedih di hati Emak.
"Wah, Syarif ulang tahun ya? Emak pasti masak enak" ucapku sembari mengeratkan pelukanku padanya.
Emak menggeleng. Hal itu membuatku membalikkan tubuhnya agar Emak bisa melihatku.
"Emak? Kenapa sedih? Apa karena Emak tidak masak enak saat ulang tahun Syarif? Tak apa, Mak. Syarif paham. Gaji Syarif mana cukup untuk masak enak" ucapku tanpa jeda.
"Bukan itu, Nak"
Aku mengerutkan kening. Kalau bukan masalah dana yang tak ada lalu kenapa Emak sedih?
"Kau sudah memasuki usia 30 tahun sedangkan Emak sudah hampir 70 tahun. Syarif, usiamu sudah cukup untuk menikah. Emak takut Tuhan mengambil Emak disaat kau masih sendiri" ucap Emak.
Aku mengusap wajahku dengan kasar. Jodoh. Calon istri. Selalu hal itulah yang Emak bahas. Usiaku memang sudah tidak muda lagi, tapi belum juga bisa dikatakan tua. Baru memasuki kepala tiga, mengapa Emak sangat sekhawatir ini kepadaku?
Aku bukannya tidak mau menikah. Hanya saja susah menemukan perempuan yang mau menerimaku apa adanya.
Gadis mana yang mau menjadi pendamping seorang guru honor bergaji seratus lima puluh ribu sebulan? Jangankan untuk mencukupi kebutuhan kami berdua, untuk memenuhi kebutuhanku sendiri saja tak cukup. Gaji guru honor di tempat ini sangat mengenaskan.
Aku bekerja di salah satu SMA swasta di Pulau Garam. Lebih tepatnya di pelosok desa, di salah satu kabupaten yang berslogan gerbang salam. SMA Al - Khair, tempat aku mengajar. SMA Al - Khair adalah sekolah swasta yang hanya memiliki enam kelas dengan kapasitas murid dua puluh orang tiap kelas, kalau tercapai. Bahkan terkadang hanya sepuluh atau lima belas siswa.
Jika di kota besar, gaji guru swasta bisa berjuta-juta. Berbeda dengan di sini. Kami hanya di gaji empat digit per jam, setara uang jajan keponakanku satu hari. Jadi jangan membayangkan dompetku tebal ketika gajian. Gajiku akan habis dalam satu jam setelah aku menerimanya. Mengenaskan bukan?
Dengan keadaan dompet yang seperti itu, gadis mana yang mau menjadi pendampingku? Selain itu tampangku juga tidak tampan. Tak ada yang bisa aku tonjolkan kepada calon mertua untuk meminang anak gadisnya. Bahkan kisah cinta pertamaku berakhir tragis.
Trauma? Tidak. Aku hanya lebih pada sadar diri. Aku hanya butiran debu yang tidak mungkin bersanding dengan putri bangsawan.
"Menikahlah segera, Syarif. Emak ingin melihatmu menikah sebelum Tuhan mengambil Emak"
"Emak, jika menikah segampang membeli kacang rebus, tanpa dimintapun Syarif akan lakukan. Mak, Syarif bukannya tidak mau menikah. Susah menemukan gadis yang mau menerima Syarif apa adanya" ucapku putus asa.
"Carilah yang sepadan dengan kita" ucap Emak lagi.
"Siapa, Mak? Siapa yang sepadan dengan kita? Orang tua mana sih yang mau melihat anak gadisnya hidup menderita?"
"Emak dan Bapakmu. Kami menyerahkan Anita kepada Abi yang hanya penjual nasi goreng. Kami ikhlas anak perempuan kami hidup melarat, tidak bergelimang harta" potong Emak cepat.
"Andai semua orang tua seperti Emak dan Bapak, pasti anak bujangmu tidak akan sendirian, Mak. Apa Emak lupa bagaimana kisahku dan Melanie? Bagaimana penolakan keluarga Melanie terhadap kita?" ucapku kembali mengingatkan Emak.
"Emak tidak lupa! Oleh sebab itu kau harus membuktikan kepada mereka jika mereka salah telah menolakmu. Buat mereka menyesal telah menolakmu. Tunjukkan pada mereka kalau kau bukan perjaka tua! Kau masih laku! Banyak gadis yang mau dengamu selain Melanie!" ucap Emak dengan nada amarah yang berapi-api.
Aku menghela nafas. Kalau sudah begini aku takut penyakit darah tinggi Emak kumat. Aku berlalu meninggalkan Emak ke dapur, mengambil segelas air putih untuk Emak.
"Minum dulu, Mak!" ucapku sembari mengajak Emak untuk duduk di sofa buntut di ruang tamu rumah kami.
Emak menuruti ucapanku. Ia segera meneguk air putih yang tadi aku berikan kepadanya hingga tandas. Aku harap emosi Emak akan reda setelah minum.
"Emak beri waktu tiga bulan" ucap Emak tiba-tiba.
"Hah? Ti... tiga bulan? Untuk apa?" ucapku menelengkan kepala ke kiri.
"Bawa calon istri ke hadapan Emak. Emak tidak peduli siapa. Emak hanya mau dalam tiga bulan ke depan kau sudah ada calon dan segera menikah" ucap Emak.
"Mak, Syarif harus cari kemana? Apa perlu Syarif buat pengumuman cari jodoh?" tanyaku kembali frustasi.
"Terserah! Apapun caramu, Emak tidak peduli. Emak hanya mau kau bawakan calon menantu"
"Syarif mohon jangan begini, Mak" pintaku.
"Emak harus bagaimana Syarif? Apa kau masih menyimpan rasa pada Melanie sampai saat ini kau belum juga menemukan penggantinya?" tuduh Emak yang tentu saja langsung menusuk ulu hatiku.
"Kenapa diam? Apa benar apa yang Emak katakan barusan?" tanya Emak dengan mata yang mulai basah.
"Maaf, Mak" hanya kalimat itu yang lolos dari bibirku. Aku menunduk tak berani menatap Emak.
"Lupakan Melanie! Dia sudah menikah! Kau bisa mendapatkan gadis lain yang lebih baik dari dia"
Aku tak menjawab karena memang sendiri tak yakin dengan ucapan Emak. Aku tetap menunduk sembari memikirkan bagaimana meluluhkan hati Emak.
"Damar dan Anita, kedua kakakmu sudah menikah. Tinggal kau yang belum menikah. Emak tidak mau tahu. Tiga bulan, Emak memberimu waktu tiga bulan. Lupakan Melanie dan segeralah mencari gadis lain untuk dijadikan calon menantu buat Emak" ucap Emak kemudian berlalu meninggalkanku.
Aku menghela nafas panjang, merutuki nasibku yang tak beruntung di hari jadiku ini. Bukan ucapan selamat ulang tahun yang aku terima melainkan ultimatum. Emak untuk segera membawakan calon menantu untuknya.
Aku kembali menghela nafas panjang. Emak, oh Emak. Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu. Andai saja anakmu ini keturunan sultan yang memiliki kekayaan melimpah ruah, pasti banyak gadis yang mengantre untuk menjadi pendampingku.
Sayangnya anakmu ini hanyalah anak petani miskin, bekerja sebagai guru honorer bergaji mengenaskan. Wajah pas-pasan, dompet lebih pas-pasan lagi. Mana ada gadis cantik jelita yang akan mengantre menjadi istriku.
Jangankan istri, menjadi pacarku saja mereka pasti mikir-mikir. Lagi pula nama Melanie masih terpatri indah dalam hatiku. Aku tak yakin bisa menghapus namanya dan menggantinya dengan nama lain dalam tiga bulan ini. Meskipun aku tahu kini Melanie sudah memiliki calon suami dan aku tak pantas lagi mengharapkannya.