Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gue Bukan Perempuan Nakal!

Gue Bukan Perempuan Nakal!

Violet Rosé

5.0
Komentar
12.8K
Penayangan
91
Bab

"Bukan masalah kalau gue gak bisa ngisi hati lo. Intinya,gue bisa isi rahim lo." Alina tertawa karena banyolan Moses itu tapi kemudian hal yang tak terduga terjadi. Alina mengangkat tangannya dan menampar Moses! Ini adalah kisah mengenai seorang perempuan yang gagal move on sehingga dia terjebak sendiri dalam permain untuk mendapatkan kembali mantannya. Dia menghancurkan hubungannya dengan sahabat, keluarga hingga pria yang sungguh-sungguh mencintainya dengan tulus demi mantan. Apakah kisah ini akan berakhir bahagia? Cuss disimak kisahnya! IG: violetrosewriter Difollow ya untuk update novel-novel terbaru 💜

Bab 1 Mencoba Move On

Pagi yang cerah, udara yang baik untuk berolahrga pagi di tempat terbuka. Seorang perempuan dengan siluet tubuh yang indah terlihat sedang joging di taman. Wajah perpaduan oriental dan western yang sempurna membuat siapa saja yang memandangnya tidak akan pernah bosan. Dia sudah beberapa kali mengitari taman seperti biasa. Sekarang sudah saatnya pulang ke rumah untuk bersiap ke kantor tetapi tiba-tiba seorang pria datang menghampirinya.

"Alina.." Sapa pria itu dengan senyuman manis.

"Hi!" Sapa Alina balik.

Laki-laki itu kemudian mengeluarkan bunga yang daritadi sudah dia sembunyikan di balik tubuhnya. Alina terkejut tapi kemudian dia tersenyum lebar karena mawar ungu itu.

"Selama ini, gue punya perasaan sama lo. Lo mau, ya? Jadi cewek gue."

Perkataan laki-laki itu membuat Alina tidak menginginkan bunga lagi. Dia menggelengkan kepalanya seperti orang ketakutan.

"I love you, Alina.." Laki-laki itu mencoba menyakinkannya lagi.

"Gu.. Gue gak bisa!"

Penolakan Alina membuat laki-laki itu mamandanginya dengan heran. Alina pun terdiam sejenak untuk memikirkan alasan.

'Gu.. Gue, mau laki-laki yang langsung ajakin gue untuk menikah bukan pacaran kayak lo!"

Jawaban Alina membuat laki-laki berwajah hispanic itu menyeringai.

"Seharusnya lo bersyukur kalau ada cowok yang masih mau dekatin lo dengan cara begini!" Ujar laki-laki itu sembari membanting bunga yang dia bawa di depan kaki Alina.

Alina tersentak. Dia bergerak mundur perlahan tetapi laki-laki itu maju selangkah demi selangkah untuk terus menempelnya.

"Lo pikir gue gak tau sepak terjang lo dulu? Lo itu hanya barang bekas, Alina! Jadi jangan belagu."

Alina yang tidak terima akhirnya mendaratkan telapak tangannya di wajah laki-laki itu. Laki-laki itu kembali menyeringai sambil memegang pipinya dan menatap Alina tajam.

"Lo dari SMA sudah dimainin sama pacar lo yang anak kuliahan itu, kan?"

"Gak! Gue gak pernah sembarangan! Gue bukan perempuan nakal!"

"Halah! Bullsh*t! Lo pikir gue gak tau? Lo setiap pulang sekolah dulu selalu dibawa sama dia ke apartemennya. Sampai lo kuliah pun masih jadi mainannya, kan? Gue hafal lo! Kita dari sekolahan sampai kuliah bareng."

Alina membisu. Dunianya serasa akan runtuh hari itu juga.

"Banyak mata yang sudah melihat kenakalan lo! Jadi lo.."

Alina yang tak tahan mendengar itu semua lantas berlari meninggalkan laki-laki itu sambil menangis.

*Rumah bertingkat mewah dengan arsitektur klasik eropa di tengah kota*

"Alina, kamu kenapa?"

"Gak apa-apa kok, ma. Gak apa-apa." Jawabnya sembari menyembunyikan muka.

"Olahraga pagi bukannya segar malah layu." Ujar Nyonya Lebedev sembari berjalan menuju dapur.

"Nona Alina moodnya lagi jelek. Jadi kalian tolong buatin salad sayuran untuk sarapannya. Kalian tau anak saya itu kan? Nanti tambah pusing dia kalau lihat roti."

"Hihi.. Baik, Nyonya!"

Pelayan itu pun segera melaksanakan tugasnya.

"Apa saya harus sarapan sendiri?"

Suara seorang pria terdengar dari ruang makan.

"Iya! Iya! Bentar."

"Gak, anak. Gak papanya, sama saja! Manja!"

"Kamu istri saya."

Tuan Lebedev mengecup pipi istrinya itu dengan mesra.

"Papa!! Mama!!"

Seorang gadis muda keluar dari kamarnya dengan pakaian sekolah yang rapi. Dia memeluk kemudian mencium kedua orang tuanya itu.

"Ayo cepat sarapan, Irina! Kamu udah telat."

"Aku ke sekolah dengan papa."

"Yup!" Jawab Tuan Lebedev kemudian menyantap sarapannya.

"Syukurlah kalau begitu. Mama juga sebenarnya kurang setuju kamu naik bus terus."

"Gak apa-apa, ma. Aku gak suka kelihatan menyolok. Aku gak enak hati sama teman-teman lain. Soalnya di sekolah guru suka banget sanjung-sanjung papa dan kak Ian."

"That's my daughter! Tetap rendah hati!" Pekik Tuan Lebedev kemudian mengacak-acak rambut Irina.

"Oh ya udah berdoa belum?" Tanya Nyonya Lebedev.

"Udah donk, ma."

Tidak ada yang salah dengan keluarga sultan yang satu ini. Mereka keluarga yang takut akan Tuhan dan juga diberkati secara financial tetapi Alina, memang agaknya lain sendiri. Perempuan ini masih saja dihantui kejadian di taman itu.

"Lho? Jam segini udah ke kantor? Bukannya kantor kamu masuk jam setengah sembilan?"

"Iya, ma.." Jawab Alina seraya berlalu.

"Alina? Makan dulu!!" Teriak Nyonya Lebedev.

"Alina, jangan pergi dengan perut kosong!"

Tuan Lebedev pun ikut mengingatkan tapi Alina tetap tidak memberi respon.

Orang tua serta adiknya hanya saling melihat satu sama lain dengan tanda tanya di benak mereka.

Di kantor, Alina kerja bagaikan kuda yang terlepas dari kandang. Padahal tidak ada tekanan dari perusahaan tempat dia bekerja untuk merambang pekerjaan ke sana kemari. Bahkan hari ini, ketika semua karyawan dan karyawati perusahan sudah pulang pun, Alina masih tetap di ruangannya untuk bekerja.

"Tidak pulang?"

Suara seorang pria dari balik pintu yang sedikit terbuka itu.

"Di.. dikit lagi, Pak Marco."

"Kalau kamu.."

"Aku bawa mobil kok, Pak.. Seperti biasa hehe.."

"Oh.."

Duda tampan itu hanya bisa tersenyum tipis.

"Saya duluan kalau begitu."

"Iya, Pak. Hati-hati di jalan, Tuhan berkati.."

Alina bangun dari tempat duduknya kemudian mengintip pria tinggi besar itu.

"Syukurlah dia udah beneran pulang..." Ujar Alina ketika dilihatnya Marco telah memasuki lift.

Tiga puluh menit telah berlalu. Kepala Alina mulai terbakar. Dia menopang keningnya dengan tangan di meja kemudian memijatnya. Tiba-tiba dia teringat akan satu nama. Diambil ponsel dari dalam tasnya, kemudian menelepon orang tersebut.

•••••

Bunyi ponsel yang terbaring di ranjang kusut itu tidak digubris. Pemiliknya sedang asyik menyentuh dirinya sendiri.

"Sh*t!!!" Pekik perempuan itu.

"Gue udah coba! Tapi gak bisa! I need a man!"

Perempuan yang hanya mengenakan panty dan cami tank top berwarna senada itu bangun dari sofa dan menuju ranjangnya.

"Nih anak napa lagi?" Dia mengerutkan dahinya kemudian menelepon balik.

•••••

"Dia respon!" Pekik Alina gembira saat ponselnya berbunyi.

"Say!"

"Hmm.."

"Lo kok jutek sihhh?" Alina memonyongkan bibirnya.

"Jijik gue sungguh! Makanya cari cowok sana! Supaya lo bisa manja-manja."

"Lah ini gue telepon lo untuk itu. Clubbing, yuk!"

Penelepon hening sejenak.

"Lo gak kadalin gue kan? Lo gak sengaja mau ketemu gue terus khotbahin gue, kan?"

"Gak!!!! Serius gak!!"

Penelepon di seberang kembali terdiam.

"Lo marahan dengan Dahlia?"

"Gak kok. Gue hanya..."

Alina tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Dia melihat ke arah layar komputer yang sedang menampilkan sosial media seorang pria dengan segurat kesedihan di wajah ayunya.

"Napa sih lo?!"

Hentakan tak sabaran itu membuat air mata Alina masuk kembali ke tempatnya.

"Gue gi bosan aja."

"Beneran nih lo mau?"

"Iya, bener!"

"Ini kali pertama lo ke club lho. Kalau Dahlia tau, bisa-bisa gue dia seret ke sidang jemaat karena jadi penyesat untuk lo."

"Ya ampun! Lebai deh lo. Hahaha.. Gak gitu juga kale. Gue gak bakalan kasi tau dia."

"Ok! Let's go!! Gue nih hari juga lagi butuh. Oh ya! Nanti, bawa permen karet, ya?"

"Kalau lo ada lebih gue minta."

"Idih! Gak modal banget lo!"

"Ayolah.. Gue gak bawa mobil jadi malas mampir."

"Malas mampir atau malu beli?"

"Nah lo tau gue! Ayolah, bestie.."

"Hmm! Sampai ketemu di club!"

"Lo jemput gue donk.."

"Mobil gue gi di bengkel."

"Peke taksi. Kita patungan. Lo datang ke sini jemput gue baru kita bareng ke sana."

"Hiss! Manja! Iye! Iye!"

Alina mengakhiri telepon itu dengan senyuman kemudian dia melihat ke arah komputer lagi.

"Gue lagi mencoba untuk lupain lo, Zach"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku