/0/30038/coverbig.jpg?v=20251124182502&imageMogr2/format/webp)
Kenalin, aku Aluna Callysta. Hidupku? Kelihatan sempurna banget di mata orang-orang: pengusaha sukses, sosialita kelas atas, pokoknya high-class deh. Tapi, jangan salah, di balik penampilan mentereng ini, ada luka yang dalam banget. Luka itu namanya Elian Dharma, pewaris tunggal kerajaan bisnis yang pernah jadi cinta matiku. Cinta kami kandas, bukan karena bosan, tapi karena dihajar kenyataan paling pahit Elian malah nikah sama Anya, kakak tiriku sendiri. Rasanya? Lebih dari sekadar sakit hati, ini tuh kayak jiwa lo dirobek-robek, tapi nggak berdarah. Bener kata orang, cinta itu pembunuh tanpa menyentuh. Sejak saat itu, aku benci banget sama yang namanya cinta. Menurutku, cinta itu cuma tipuan, bayangan ilusi yang bikin kita lengah. Aku memutuskan, nggak ada lagi tempat buat laki-laki di hidupku. Yang aku mau cuma satu: Bayi. Seorang anak yang lahir dari rahimku, yang akan menyempurnakan hidupku. Aku punya segalanya warisan kekayaan dari kakekku, King Callysta Company jadi aku bisa kok punya anak tanpa perlu 'makhluk' bernama laki-laki itu. Karena aku nggak mau cinta, tapi aku mau generasi penerus, jadi aku bikin sayembara! Aku cari bibit unggul yang kualitasnya limited edition, buat menghasilkan pewaris yang sepadan dengan kekayaan yang kupunya. Buat semua pria di luar sana dengan kualifikasi "istimewa", siap-siap. Aku butuh pendonor benih terbaik! Aku nggak percaya cinta, tapi aku percaya kuasa Tuhan. Dan kini, aku aku bahagia banget menjadi Ibu dari tiga malaikat kecilku.
Aku berdiri di tengah keramaian itu, di bawah sorot lampu kristal yang harganya bisa buat beli pulau kecil. Malam ini, Pestanya The Golden Circle-nama keren buat perkumpulan orang-orang yang hartanya nggak habis tujuh turunan. Semua mata, dan serius, semua mata, tertuju padaku.
Aku, Aluna Callysta.
Gaun haute couture yang kupakai malam ini, bahannya didatangkan langsung dari Milan. Potongannya berani, memeluk lekuk tubuhku dengan sempurna. Di leherku melingkar kalung berlian yang cahayanya bersaing sama lampu di langit-langit. Senyumku? Senyum yang sudah teruji oleh ratusan kamera paparazzi. Hangat, elegan, dan... kosong.
"Aluna, darling, kamu luar biasa malam ini."
Suara itu datang dari Nyonya Chandra, seorang janda kaya raya yang kerjanya cuma sibuk menjaga reputasi. Aku memiringkan kepala sedikit, senyumku sedikit lebih lebar.
"Terima kasih, Tante. Kamu juga. Cincin barunya stunning."
Omong kosong. Aku nggak peduli sama cincin itu. Aku nggak peduli sama Nyonya Chandra, sama pestanya, atau sama semua sampanye mahal yang mereka minum. Aku ada di sini, bukan buat bersenang-senang. Aku ada di sini buat nunjukkin pada dunia: Aku baik-baik saja.
Padahal, aku hancur. Hancur lebur sampai ke serpihan terkecil yang nggak mungkin lagi direkatkan.
Cinta. Kata itu buatku sekarang cuma seperti kentut. Ada, tapi nggak kelihatan, dan biasanya cuma ninggalin bau nggak enak. Tawa renyah yang barusan kulepaskan, itu palsu. Itu hasil latihan keras di depan cermin, memastikan setiap sudut bibirku naik sempurna, nggak ada jejak kesedihan di sana.
Aku menahan napas sejenak, mengambil gelas champagne yang lewat di nampan pelayan, dan menyesapnya cepat. Dinginnya menyengat lidah, tapi nggak bisa mematikan api amarah yang sudah tiga tahun ini membakar habis hatiku.
Tiga tahun. Tiga tahun sejak tragedi itu. Tiga tahun sejak aku menyaksikan orang yang paling kucintai, Elian Dharma, mengucapkan janji suci. Bukan padaku. Tapi pada Anya, kakak tiriku.
Elian dan Anya.
Dua nama itu, kalau digabung, menciptakan racun paling mematikan buatku. Mereka membunuhku, nggak pakai pisau atau peluru, tapi dengan gaun pengantin putih bersih, sumpah pernikahan, dan senyum bahagia yang mereka tunjukkan ke semua orang.
Aku berbalik memunggungi Nyonya Chandra, pura-pura tertarik sama lukisan abstrak di dinding. Mataku fokus ke pigura emasnya, tapi yang kulihat di balik refleksi kaca adalah momen yang nggak akan pernah bisa kuhapus.
- Tiga Tahun Lalu -
Hari itu, hari pernikahan mereka. Harusnya itu jadi hari terindah dalam hidupku, karena aku sudah membayangkan diriku yang berdiri di altar itu, menggandeng lengan Elian. Kami sudah merencanakan semuanya, dari rumah masa depan sampai nama anak-anak kami. Elian itu duniaku. Dia satu-satunya orang yang tahu bagaimana rapuhnya Aluna yang workaholic ini. Dia tahu semua ketakutan dan impianku.
Sampai Anya datang.
Anya itu sisi lain dari cerita kami. Kakak tiri yang masuk ke kehidupanku setelah Ayahku menikah lagi. Dia selalu jadi bayanganku. Lebih lembut, lebih penurut, lebih pandai bersandiwara. Aku nggak pernah benci dia. Cuma... mengabaikannya, seperti aku mengabaikan perabotan di rumah yang nggak penting.
Tapi, ternyata dia nggak bisa diabaikan. Dia mengambil Elian.
Aku ingat sekali, aku berdiri di pintu gereja itu, pakai gaun hitam yang harusnya kusimpan buat acara pemakaman. Aku nggak diundang. Mereka tahu aku akan bikin kekacauan. Tapi aku harus lihat. Aku harus memastikan kalau ini bukan mimpi buruk.
Bau bunga lili dan mawar putih menusuk hidungku. Musik organ menggema, suaranya seperti genderang kematian buatku. Semua kepala menoleh ke arah Anya yang berjalan pelan, anggun, diapit Ayah kami. Gaunnya, gaun impianku. Rambutnya, sanggulan yang kubilang sempurna di majalah tahun lalu.
Lalu pandanganku bertemu dengan Elian.
Dia berdiri di sana, di ujung karpet merah. Dia kelihatan tenang. Terlalu tenang. Matanya nggak memancarkan kegelisahan sama sekali. Bahkan, di sana ada semacam... kedamaian. Kedamaian yang seharusnya ia rasakan saat melihatku.
Jantungku berdebar sangat kencang, bukan karena cinta lagi, tapi karena rasa sakit yang mencoba merobek rusukku. Aku menunggu. Menunggu dia melihatku. Menunggu dia sadar. Menunggu dia lari.
Dan saat Anya tiba di sisinya, mereka saling bertukar pandang. Itu bukan sekadar pandangan pasangan. Itu pandangan yang penuh pemilikkan. Seolah, dari awal, mereka berdua adalah sepasang teka-teki yang baru saja menemukan kepingan terakhirnya.
Di tengah pandangan mereka, aku merasa diriku lenyap. Aku nggak lagi berdiri di sana. Aku cuma jadi debu.
Elian, kamu lihat nggak, di sudut pintu itu, Aluna-mu sedang mati?
Tentu saja dia nggak lihat. Dia cuma melihat masa depannya, yang kini bergandengan tangan dengan Anya.
Satu detik setelah pendeta meminta mereka mengucapkan janji, aku berbalik. Aku nggak butuh dengar kata-kata manis itu. Aku cuma butuh mendengar suara langkah kakiku yang menjauh, seolah aku bisa lari dari takdir yang baru saja menghantamku.
Aku lari, bukan ke mobil, tapi ke taman belakang gereja yang sepi. Aku jatuh berlutut di rerumputan yang baru dipotong, baunya segar, kontras dengan bau kesedihan yang mencekik. Aku nggak nangis. Air mata terasa terlalu murah buat melukiskan duka ini.
Yang keluar cuma satu suara: raungan. Raungan yang nggak manusiawi. Raungan seorang wanita yang baru sadar, selama ini, cinta yang ia yakini sebagai fondasi hidupnya ternyata cuma bom waktu yang meledak tepat di wajahnya.
Aku berjanji pada diriku sendiri saat itu. Sambil mencengkeram rumput basah: Aku nggak akan pernah lagi membiarkan diriku dicintai atau mencintai. Aku nggak akan pernah lagi memberikan kekuatanku pada makhluk bernama laki-laki.
- Sekarang -
Aku kembali ke realitas pesta. Gelas champagne di tanganku sudah kosong. Udah cukup drama masa lalu. Aku menggelengkan kepala sedikit, seolah mengusir bayangan gaun pengantin sialan itu.
"Aluna?"
Suara itu. Berat, berwibawa, dan sedikit menggangguku.
Aku menoleh. Itu Om Richard, Ayah Elian, bos besar Dharma Group. Wajahnya ramah, tapi matanya selalu menyimpan kalkulasi.
"Om Richard. Selamat malam." Aku menyapanya formal, padahal di hatiku cuma ada sumpah serapah.
"Kamu makin cemerlang. King Callysta Company pasti bangga punya kamu."
"Begitulah. Aku harus memastikan warisan Kakek nggak jatuh ke tangan sembarangan."
Om Richard tertawa, tawa bisnis yang nggak ada kehangatannya. "Om dengar, kamu baru saja menutup kesepakatan besar di Singapura. Hebat. Om selalu bilang, kamu dan Elian itu pasangan yang paling sempurna, baik di bisnis maupun-"
"Elian sudah menemukan kesempurnaan di tempat lain, Om," potongku cepat, nadaku dingin. Aku nggak membiarkan dia menyelesaikan kalimatnya. "Aku juga sudah bergerak maju. Aku nggak tertarik pada barang bekas."
Wajah Om Richard menegang sebentar. Dia tahu, dia sudah menyinggung luka yang sangat sensitif. Hubunganku dengan Elian itu skandal yang sampai sekarang masih jadi bahan gosip elit. Dan pengkhianatan Elian, itu pukulan telak buat harga diri Aluna Callysta.
"Tentu saja. Om minta maaf. Om... cuma merindukan masa-masa dulu."
Aku mengedikkan bahu, memasang ekspresi bosan. "Masa lalu biar jadi urusan pembuat sejarah, Om. Aku sibuk bikin masa depan. Permisi, aku harus mengambil udara segar."
Aku nggak menunggu jawabannya. Aku berbalik, berjalan cepat, hampir seperti berlari, menuju teras yang sepi.
Teras ini tinggi, menghadap langsung ke kerlap-kerlip Jakarta. Kota ini berisik, tapi di sini, cuma suara detak jantungku yang kupaksakan tenang.
Aku mengeluarkan ponsel. Cuma satu nama yang kupanggil.
"Sekar?"
"Ya, Nona Aluna. Bagaimana pestanya?" Suara Sekar, asisten pribadiku yang efisiennya nggak ketulungan, terdengar dari seberang.
"Biasa saja. Standar orang kaya yang nggak punya pekerjaan lain selain pamer. Aku nggak suka basa-basi mereka. Cringy." Aku mendesis. "Gimana urusanku yang kutinggalkan tadi sore? Sudah selesai?"
Ada keheningan singkat. Aku tahu Sekar gugup. Ini bukan permintaan bisnis biasa. Ini permintaan yang nggak masuk akal, gila, dan melanggar hampir semua norma sosial yang ada.
"Sudah, Nona. Draftnya sudah disiapkan oleh tim hukum. Mereka bilang, ini... ini revolusioner. Belum pernah ada kasus seperti ini."
Aku menyeringai di kegelapan. Revolusioner? Aku nggak peduli. Aku cuma peduli sama hasil.
"Bagus. Aku nggak mau jadi yang kedua. Aku nggak mau jadi Aluna yang ditinggalkan, Aluna yang patah hati. Aku mau jadi Aluna yang memiliki."
"Maksud Nona, memiliki..." Sekar ragu-ragu.
Aku menutup mataku, menikmati dinginnya angin malam di kulitku. Ini dia. Momen keputusanku yang nggak bisa diganggu gugat.
"Aku nggak butuh suami. Aku nggak butuh pasangan. Aku nggak butuh laki-laki buat berbagi hidup. Aku nggak butuh cinta. Tapi aku butuh pewaris. Pewaris yang bisa meneruskan King Callysta Company, yang darahnya secerdas, sekaya, dan sekuat darahku."
Aku membuka mata, menatap tajam ke arah gedung Dharma Group yang menjulang di kejauhan.
"Aku mau bayi, Sekar. Bayi yang limited edition. Dan aku mau bibitnya dari sumber terbaik. Aku nggak mau sembarangan. Aku mau bikin 'Sayembara Bibit Unggul'. Aku mau umumkan ke seluruh dunia, siapa pun pria yang memenuhi kualifikasiku, yang punya gen paling sempurna, dia akan jadi pendonor anonim. Dia akan dibayar, dia akan disingkirkan, dan dia akan melupakan Aluna Callysta pernah ada."
Keheningan di seberang telepon kali ini lebih lama. Aku bisa bayangin Sekar menahan napas.
"Nona, itu... itu namanya surogasi tapi dengan kualifikasi donor yang sangat spesifik dan-"
"Aku nggak bilang surogasi, Sekar. Aku bilang aku mau mengandungnya sendiri." Aku memotongnya lagi. "Aku mau rasain sembilan bulan itu. Aku mau rasain bagaimana rasanya punya kehidupanku sendiri di dalam diriku. Itu satu-satunya hal yang nggak bisa diambil dari Elian, atau Anya, atau siapa pun."
"Tapi Nona, proses ini... IVF dengan donor selektif, kualifikasi genetik yang Nona tetapkan, harganya mahal sekali. Dan mencari pria dengan IQ 150 ke atas, net worth miliaran, tanpa catatan kriminal, dan memiliki latar belakang keluarga yang pure itu-"
Aku tertawa. Kali ini, tawa asliku. Tawa yang berasal dari kekuasaan.
"Uang bukan masalah. Kalau King Louis Company nggak bisa membelikan gen terbaik di dunia, berarti kakekku gagal dalam membangun kerajaan. King Louis Company itu kekayaannya nggak ada ujungnya, Sekar. Pakai uang itu. Rekrut tim riset. Jaringan dokter terbaik. Konsultan genetik."
"Satu hal yang penting, Sekar. Laki-laki itu harus sadar, dia cuma alat. Dia cuma bank sperma berjalan. Setelah tugasnya selesai, dia akan dibayar, dan dia akan hilang dari hidupku. Nggak ada hak asuh. Nggak ada komunikasi. Nggak ada yang tahu siapa dia."
"Aku mau buat perjanjian yang sekuat baja. Biar mereka gugat aku, biar mereka challenge di pengadilan, aku mau pastikan bayi ini sepenuhnya milikku. Bukan milik bersama."
Ada jeda lagi. Sekar akhirnya menyerah. Dia tahu, kalau Aluna sudah memutuskan, nggak ada yang bisa menghalangi.
"Baik, Nona. Aku akan koordinasi dengan legal team untuk menyiapkan press release dan formulir pendaftaran yang, uhm, eksklusif."
"Bukan eksklusif, Sekar. Elite. Aku mau semua pria yang merasa dirinya 'spesial' tahu: ini adalah kesempatan mereka buat menyumbang gen luar biasa mereka ke dinasti Callysta. Bikin tagline yang bombastis. Sesuatu yang... menantang. Bilang saja: Mencari Pewaris Tanpa Cinta: Sumbangkan Benih Terkaya Anda."
Aku mematikan telepon. Rasa sakit di hatiku belum hilang, tapi kini tertutup oleh lapisan es kehendak yang kuat.
Beberapa minggu kemudian, dunia gempar.
Aku nggak pakai konferensi pers yang membosankan. Aku cuma menyewa semua billboard paling strategis di seluruh ibu kota, memasang foto close-up wajahku yang serius, dengan tagline yang kubuat:
KING CALLYSTA COMPANY MENCARI SUMBER GENETIK TERBAIK.
PERSYARATAN:
IQ Minimal 150.
Kekayaan Pribadi Minimal $100 Juta (Bukan Warisan Semata).
Riwayat Kesehatan & Garis Keturunan Sempurna (Tidak Ada Riwayat Penyakit Genetik/Kriminal).
Bersedia Menandatangani Kontrak Penghapusan Hak Asuh Seumur Hidup & Kerahasiaan Absolut.
HADIAH: KOMPENSASI 10 JUTA DOLLAR AMERIKA.
Media massa heboh. Judulnya liar.
WANITA PALING DINGIN DI ASIA MENCARI BAYI BAYARAN!
ALUNA CALLYSTA MENGUMUMKAN SAYEMBARA BIBIT UNGGUL UNTUK PEWARISNYA.
10 JUTA DOLLAR UNTUK SPERMA TERBAIK: CINTA MEMANG SUDAH MATI.
Aku duduk di ruang kerjaku, ditemani suara tick-tock jam mewah dan tumpukan berkas pendaftaran yang tebalnya sudah mencapai tiga meter. Semua itu diatur di atas meja kaca yang mahal, simbol kekuasaan King Callysta.
"Gila, Nona," kata Sekar, sambil menyeka keringat dingin di dahinya, padahal pendingin ruangan di sini suhunya nyaris nol derajat. "Sampai saat ini, ada lebih dari 5.000 pelamar. Dari konglomerat teknologi Silicon Valley sampai bangsawan Eropa. Tapi setelah saringan awal yang kita berlakukan..."
Dia menunjukkan sebuah tablet di mana data-datanya berkilauan.
"...hanya tersisa delapan orang. Delapan pria yang benar-benar memenuhi kualifikasi genetik dan kekayaan yang Nona mau."
Aku mengambil tablet itu, menggeser layarnya dengan gerakan santai. Senyum sinisku kembali muncul.
"Delapan. Aku butuh satu. Yang paling sempurna."
Di sana, terpampang wajah-wajah pria yang, kalau dilihat sekilas, memang luar biasa. Mereka tampan, cerdas, sukses. Tapi di mataku, mereka semua sama: cuma wadah gen, bukan manusia yang layak mendapatkan hatiku.
"Nona, tim dokter sudah memilih tiga kandidat teratas. Mereka sudah lolos tes DNA dan psikologis. Mereka akan datang ke Indonesia minggu depan untuk wawancara terakhir dan finalisasi kontrak. Apa Nona ingin bertemu mereka?"
"Tentu saja."
Aku meletakkan tablet itu kembali. Jendela ruang kerjaku memperlihatkan pemandangan kota yang sama sekali nggak menarik. Tapi tiba-tiba, aku merasa ada tujuan baru. Tujuan yang nggak ada hubungannya sama saham, merger, atau pengkhianatan.
Ini tentang hidup. Tentang menciptakan sesuatu yang murni milikku, tanpa embel-embel keterikatan emosional. Aku sudah menyaksikan bagaimana cinta bisa menghancurkan. Jadi, aku akan membangun kebahagiaanku di atas pondasi yang benar-benar kebal: Genetik dan Uang.
Aku bangkit, berjalan ke dinding kaca. Di sana, tergantung foto lama. Foto kakekku, Louis, pendiri King Callysta Company. Pria keras kepala yang mewariskan bukan cuma uang, tapi juga prinsip: "Kalau kamu nggak bisa membelinya, kamu nggak layak memilikinya."
Aku nggak bisa membeli hati Elian. Tapi aku bisa membeli genetik yang jauh lebih baik darinya.
Aku menyentuh perut rataku, yang sebentar lagi akan jadi rumah bagi pewaris tunggal King Callysta. Aku nggak sabar. Dalam hidup yang penuh kepura-puraan, hanya ada satu hal yang bisa kuberikan padanya: nama belakang yang kuat, harta yang nggak terbatas, dan seorang Ibu yang akan melindunginya dari ilusi paling jahat di dunia-cinta.
"Sayembara dimulai, Sekar," ujarku, suaraku rendah dan penuh tekad. "Siapkan kontrak. Kali ini, nggak ada ruang buat kesalahan. Aku akan memilih bibit yang membuat Elian dan Anya terlihat seperti produk massal."
Aku tahu, tindakanku ini akan memicu badai. Akan ada yang menghakimi. Akan ada yang mencibir. Tapi aku nggak peduli. Karena saat kamu sudah mati rasa karena pengkhianatan, satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan adalah menjadi dingin. Dan dari kedalaman jurang yang dingin itu, aku akan melahirkan penerus dinastiku.
Bersambung ke sesi wawancara, di mana Aluna Callysta akan bertemu dengan delapan pria yang siap menjual gen mereka.
Bab 1 Pesta malam
17/11/2025
Bab 2 Siapa yang pertama
17/11/2025
Bab 3 cowok ini ternyata gila beneran
17/11/2025
Bab 4 Aku tidak ingin romansa
17/11/2025
Bab 5 Kebahagiaan kontrak
17/11/2025
Bab 6 Melahirkan
17/11/2025
Bab 7 Telepon dari Tristan
17/11/2025
Bab 8 Di usianya yang kelima tahun
17/11/2025
Bab 9 dia membuatku merasa bosan
17/11/2025
Bab 10 Kontrak Biologis
17/11/2025
Bab 11 mereka penuh kebencian
17/11/2025
Bab 12 Sang Ayah
17/11/2025
Bab 13 Aku nggak mencari kelemahan
17/11/2025
Bab 14 Balas dendam
17/11/2025
Bab 15 Ruang utama tempat resepsi
17/11/2025
Bab 16 Keputusan untuk mengurung Tristan
17/11/2025
Bab 17 menghancurkan masa depanmu
17/11/2025
Bab 18 mengkhianati Ayahmu
17/11/2025
Bab 19 Kita akan menggantinya
17/11/2025
Bab 20 Anak-anak sudah siap
17/11/2025
Buku lain oleh Jumedi Gomgom
Selebihnya