Warisan Sang Monster

Warisan Sang Monster

Jumedi Gomgom

5.0
Komentar
Penayangan
22
Bab

Alexander Volkov, penguasa tunggal yang namanya mendominasi segala lini. Kekayaan tak terbatas, kekuasaan mutlak semua tunduk di hadapannya. Ia tak pernah gagal mendapatkan apa pun yang diincar, dan tak ada satu jiwa pun yang berani menentang kegelapannya. Namun, segala kemewahan itu perlahan terasa hambar. Mencari sensasi baru, Alexander meninggalkan singgasananya dan menyamar menjadi gelandangan biasa. Tak disangka, penyamaran ini membawanya pada Elara Senja, seorang wanita yang hidupnya dipenuhi badai dan tengah berjuang mati-matian demi nyawa putrinya. Elara adalah sosok terbuang, diusir oleh keluarganya sendiri karena memiliki putri yang 'tak diinginkan'. Ia mengais rezeki sebagai pelayan restoran, sementara sebagian besar penghasilannya habis untuk pengobatan kronis yang diderita sang putri. Setiap hari, Elara melihat 'gelandangan' itu di taman dan memberinya sedikit makanan. Namun, perjuangan Elara mencapai puncaknya. Ia harus kembali berperang merebut hak asuh putrinya yang kini sedang kritis. Saat Alexander mengetahui penderitaan Elara, ia melepas penyamarannya dan datang di hadapan wanita itu sebagai Alexander Volkov yang sebenarnya penguasa dunia. Ia menawarkan bantuan total, asalkan Elara bersedia memenuhi satu syarat: menyerahkan satu malam yang membara dan menerima status sebagai kekasih bayarannya. Akankah Elara mengorbankan harga dirinya dan malam panas itu demi menyelamatkan malaikat kecilnya dari jurang kematian?

Bab 1 Dia punya segalanya

Pagi di lantai seratus. Udara terasa tipis, seolah-olah semua bunyi dari kota di bawah sana telah disaring hingga yang tersisa hanyalah dengung AC sentral yang mahal dan keheningan yang dingin.

Alexander Volkov berdiri di depan jendela yang terbentang dari lantai ke langit-langit, menyeruput kopi hitamnya-kopi terbaik yang bisa dibeli dengan uang, tapi rasanya tetap saja, cuma kopi. Di bawah sana, kota Manhattan tampak seperti peta mainan, seolah-olah dia bisa menjulurkan tangan dan menghancurkan beberapa blok tanpa ada konsekuensi apa pun. Dan secara metaforis, memang begitu.

Dia punya segalanya. Benar-benar segalanya. Bukan hanya uang; uang itu cuma alat. Dia punya kontrol. Dia punya pengaruh. Satu kata dari mulutnya bisa membuat harga minyak melonjak, atau menghancurkan reputasi konglomerat yang sudah dibangun selama tiga generasi.

Tapi hari ini, seperti ribuan hari sebelumnya, Alexander hanya merasa... bosan.

Bukan bosan yang santai, melainkan bosan yang menghancurkan jiwa. Seperti melihat lukisan yang sama setiap hari, meskipun lukisan itu adalah karya master tak ternilai harganya. Setelah kau memiliki setiap karya seni di dunia, setiap pulau pribadi, setiap model mobil eksklusif, apa yang tersisa?

Alexander meletakkan cangkir itu di meja marmer, suaranya pelan dan nyaris tak terdengar di ruangan seluas lapangan basket ini.

"Siapa yang akan datang hari ini?" tanyanya, suaranya serak-mungkin karena dia jarang sekali berbicara dengan manusia secara langsung.

Viktor, tangan kanannya yang tegar dan pendiam, muncul dari bayangan seperti hantu profesional. "Tuan Volkov, jadwal pagi ini padat. Pertemuan dengan Senator Graham. Kemudian, panggilan video dengan Dewan Eropa mengenai konsolidasi energi di Timur. Setelah makan siang, rapat dewan darurat untuk menyelesaikan akuisisi Synergo Corp yang tertunda."

Alexander menghela napas. Semua itu terdengar seperti daftar belanjaan yang membosankan. Akuisisi. Konsolidasi. Senator. Mereka semua hanya boneka yang menunggu dirinya menggerakkan tali.

"Batalkan Synergo," perintah Alexander.

Viktor tidak berkedip. "Batalkan, Tuan? Ini adalah penawaran terbesar kuartal ini. Harga saham mereka akan ambruk."

"Biar saja ambruk," kata Alexander, memutar cincin platinum di jarinya. "Aku tidak tertarik lagi. Aku sudah tahu bagaimana akhirnya. Aku sudah tahu rasa kemenangannya."

Viktor membuat catatan di tabletnya. "Baik. Apakah ada instruksi lain, Tuan?"

Alexander kembali menatap kota di bawah. Rasa puas tidak pernah bertahan lebih dari dua puluh empat jam. Kenikmatan terakhirnya adalah ketika dia memenangkan lelang lukisan Rembrandt yang hilang. Puas selama satu hari, kemudian lukisan itu hanya menjadi debu berharga di gudang bawah tanahnya.

Apa yang bisa dia beli yang belum dia miliki? Apa yang bisa dia taklukkan yang belum takluk?

Kebebasan.

Kebebasan yang nyata. Anominimitas.

"Viktor," ucapnya, setelah keheningan panjang. "Aku akan menghilang untuk sementara waktu."

Viktor hanya menunggu, mengetahui bahwa perintah gila apa pun yang akan keluar pasti harus dilaksanakan.

"Aku ingin menjadi... tidak ada siapa-siapa," lanjut Alexander, senyum tipis-pertama kalinya hari itu-melintas di wajahnya. "Aku ingin tidur di pinggir jalan. Aku ingin orang-orang tidak tahu siapa aku. Aku ingin merasakan sesuatu yang nyata, Viktor. Rasa lapar, rasa dingin, rasa takut. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan satu triliun dolar."

Viktor menyusun rencana dalam kepalanya. Pengamanan tersembunyi, jalur pelarian. "Saya bisa menyiapkannya, Tuan. Sebuah vila tersembunyi di Skotlandia, tanpa koneksi internet. Itu akan memberi Tuan privasi total."

"Bukan itu yang kumau, bodoh," desis Alexander, sedikit geli. "Aku tidak ingin bersembunyi dari dunia. Aku ingin bersembunyi di dunia. Aku ingin menjadi gelandangan. Dan jangan ada pengawal. Jika aku ketahuan, seluruh permainan ini selesai."

Dan begitulah, dengan satu perintah yang tidak masuk akal, Alexander Volkov, pria yang memegang tali kekang dunia, memutuskan untuk menukar emasnya dengan debu.

Tiga hari kemudian, Alexander duduk di bangku taman yang kotor, jaket tebal yang dibelinya di toko loak terasa kasar dan menusuk kulitnya. Janggut tipis yang dia biarkan tumbuh terasa gatal. Dia sudah meninggalkan dompet, kartu, dan segala bentuk identitas. Dia bahkan menanggalkan jam tangan mahal yang selalu menjadi ekstensi lengannya.

Dia sekarang hanyalah Alex-seorang pria tanpa latar belakang, tanpa tujuan, dan, yang paling penting, tanpa kekuasaan.

Hari pertama terasa mengerikan. Bau selokan, udara lembap, tatapan sinis dari pejalan kaki yang melewatinya. Dia, Alexander Volkov, diabaikan. Itu adalah sensasi aneh yang hampir memabukkan. Orang-orang tidak tahu mereka baru saja melewati orang yang bisa membeli seluruh jalur taman itu hanya untuk membangun patung dirinya sendiri.

Dia lapar. Bukan rasa lapar yang bisa disembuhkan dengan panggilan ke koki pribadi. Ini adalah rasa lapar yang menggerogoti, membuat perutnya berdenyut. Dia telah bersumpah untuk tidak menggunakan uangnya-dia hanya akan hidup dari apa yang dia temukan atau dapatkan.

Pagi ini, dia berhasil mendapatkan sepotong roti tawar keras dari tempat sampah di belakang toko roti. Rasa roti itu, meskipun basi, jauh lebih nyata, lebih berkesan, daripada semua makanan gourmet yang dia santap di restoran bintang lima. Ini adalah hadiah dari perjuangan, bukan hak yang sudah pasti.

Alexander memperhatikan seorang wanita yang datang setiap pagi. Taman ini adalah jalur yang ramai, tetapi dia selalu tampak berbeda. Dia tidak terburu-buru seperti orang kantoran, tetapi dia juga tidak santai seperti orang yang liburan. Dia bergerak dengan kelelahan yang konstan, seperti seseorang yang membawa beban yang tak terlihat.

Wanita itu bernama Elara.

Elara Senja menarik napas dalam-dalam, aroma roti panggang dan kopi pahit dari restoran tempat dia bekerja menempel di pakaiannya. Pagi itu dingin sekali, dan kelelahan seolah-olah sudah merayap masuk ke tulangnya, bukan lagi sekadar otot yang pegal.

Dia baru saja menyelesaikan shift paginya yang brutal: membersihkan tumpahan, melayani sekelompok turis yang rewel, dan harus menahan diri agar tidak menangis saat melihat tagihan medis di ponselnya.

Putrinya, Lily. Hanya nama itu yang membuatnya terus berjalan. Lily adalah satu-satunya cahaya, satu-satunya alasan dia tidak menyerah pada kegelapan yang mengelilinginya. Gadis kecilnya berjuang melawan penyakit kronis. Setiap batuk, setiap demam ringan, adalah teror yang nyata bagi Elara.

Keluarganya sudah lama menganggapnya aib. Di mata mereka, putrinya adalah sebuah kesalahan, beban, dan Elara harus membayar mahal untuk 'dosa' yang tidak pernah dia sesali seumur hidupnya. Sejak diusir, dia hanya punya dirinya sendiri dan keyakinan bahwa dia harus menjadi benteng terakhir Lily.

Dia berjalan melalui taman, membiarkan dinginnya udara sedikit membersihkan paru-parunya dari bau minyak goreng. Ini adalah ritualnya: sepuluh menit ketenangan sebelum dia kembali ke apartemen kecil, membereskan Lily, dan bersiap untuk shift malam.

Di tangannya, Elara memegang sebungkus kecil. Isinya sepotong roti yang dia ambil dari sisa sarapan pelanggan dan sepotong keju yang dia 'curi' dari kulkas dapur-bukan mencuri dalam arti sebenarnya, tetapi mengambil apa yang akan dibuang.

Dia tadinya berencana memakannya dalam perjalanan pulang, tapi pandangannya jatuh pada pria baru di bangku tua di bawah pohon maple.

Pria itu sudah ada di sana selama tiga hari. Dia terlihat muda, tapi wajahnya kotor dan letih. Yang aneh, dia tidak terlihat seperti gelandangan biasa. Gelandangan di sini sering berteriak atau mabuk. Pria ini hanya diam, matanya mengikuti pergerakan burung gereja dengan intensitas aneh, seperti dia sedang mempelajari rumus fisika yang rumit. Dia terlihat lebih tersesat daripada miskin.

Elara tahu betul rasanya tersesat.

Dia memperlambat langkahnya, keraguan merangkak di hatinya. Itu adalah makan siangnya. Namun, dia ingat wajah Lily, kurus dan pucat, yang selalu menerima kebaikan sekecil apa pun dengan mata berbinar. Lily pasti ingin dia berbagi.

"Hei," panggil Elara pelan, berdiri beberapa langkah darinya.

Alexander, atau 'Alex' si gelandangan, mendongak.

Mata Alexander menangkapnya. Itu adalah tatapan yang tidak dia harapkan. Bukan jijik, bukan belas kasihan, atau bahkan penghinaan. Itu adalah tatapan lelah yang memahami, namun masih memiliki percikan api perjuangan yang luar biasa.

Alexander menatap tangannya yang memegang roti basi. Dia terkejut. Tiga hari penuh, dia hanya menerima tatapan jijik atau ketakutan. Kali ini, dia mendapat sapaan dan, tampaknya, hadiah.

Elara merasa canggung, tapi dia maju satu langkah.

"Aku tahu ini tidak banyak," katanya, suaranya pelan tapi tegas. "Sisa keju dan sedikit roti. Tapi kurasa kau terlihat lebih membutuhkannya daripada aku."

Dia mengulurkan bungkusan itu. Tangannya kapalan karena mencuci piring, tapi gerakannya lembut dan tanpa pamrih.

Alexander melihat keju yang menguning dan roti yang sudah agak keras. Di balik penyamarannya, dia tersenyum. Sesuatu di dalam dirinya berdesir, sesuatu yang terasa asing, namun menyenangkan. Sebuah kejutan. Kekuatan miliaran dolar di dompetnya tidak pernah memberinya kejutan sekecil ini.

Dia mengulurkan tangannya yang kasar, mengambil bungkusan itu. Sentuhan kulit mereka sebentar, hanya sekejap mata, tapi Elara merasakan perbedaan suhu-kulitnya sendiri dingin, sedangkan tangan pria itu terasa lebih hangat.

"Terima kasih," bisik Alexander. Itu adalah kata yang tidak pernah dia ucapkan dengan ketulusan selama bertahun-tahun. Biasanya, "terima kasih" adalah formalitas, formalitas yang mengharuskan pihak lain membalasnya dengan ucapan "sama-sama" yang terdengar seperti "kau harus berterima kasih karena aku mengizinkanmu melakukan ini."

Elara menggeleng, senyum tipis, cepat, dan menghilang, seperti pantulan cahaya di air.

"Jangan mati kelaparan, ya," katanya, setengah bercanda, setengah serius.

Alexander mengangguk. Dia membuka bungkusan itu dan menggigit roti. Keju itu terasa asin, teksturnya aneh, tapi dia memakannya. Itu adalah makanan terbaik yang pernah dia rasakan dalam hidupnya. Kenapa? Karena itu adalah makanan yang diberikan, bukan makanan yang dibeli.

Elara berbalik, melanjutkan perjalanannya. Setiap langkahnya menunjukkan bahwa dia tidak punya waktu untuk berlama-lama.

Namun, Alexander memanggilnya, sesuatu yang tidak terduga keluar dari mulutnya. "Tunggu."

Elara berbalik lagi, alisnya terangkat karena terkejut.

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Elara," jawabnya. "Kau?"

"Alex."

Hanya itu. Pertukaran nama yang singkat. Elara mengangguk kecil. "Sampai jumpa, Alex."

"Sampai jumpa," balas Alexander.

Alexander memandang kepergian Elara, sampai wanita itu menghilang di balik kerumunan di halte bus.

Dia menghabiskan keju dan roti itu sampai remah-remah terakhir. Alexander Volkov, penguasa dunia, baru saja diselamatkan dari kelaparan oleh seorang pelayan restoran yang pasti sama laparnya dengan dirinya. Ironi ini begitu tajam, begitu pedih, sehingga itu hampir membuatnya tertawa.

Ini, akhirnya, adalah sesuatu yang nyata.

Kenyataan Elara adalah kotak kecil yang lembap. Kamar apartemennya, yang terletak di lantai empat tanpa lift, selalu berbau obat-obatan, lilin aroma murahan, dan kekhawatiran yang tebal.

Dia membuka kunci pintu dan disambut oleh suara batuk yang pelan dari balik selimut.

"Mama sudah pulang?" suara kecil Lily terdengar, serak.

"Sudah, Sayang. Mama membawakanmu kejutan," Elara bergegas masuk.

Lily, berusia tujuh tahun, adalah keindahan yang rapuh. Wajahnya kurus, tapi matanya besar, bersinar dengan kecerdasan yang tidak sesuai dengan usianya. Dia duduk di tempat tidur, boneka usang di pangkuannya.

"Kejutan apa?"

"Lihat ini," Elara mengeluarkan mainan kecil, sebuah mobil-mobilan dari toko barang bekas. "Untuk pahlawan Mama."

Mata Lily langsung berbinar. Momen kecil kebahagiaan itu, seolah-olah dia telah memenangkan lotre, adalah hadiah Elara yang sebenarnya.

Elara merawat Lily, memberinya obat-obatan, dan mencoba memaksanya untuk menghabiskan sedikit sup yang dia siapkan kemarin. Saat Lily tertidur, Elara duduk di meja dapur yang reyot. Dia mengeluarkan ponselnya dan melihat tagihan dari rumah sakit lagi.

Kali ini, jumlahnya tidak masuk akal. Ini bukan hanya masalah biaya harian, ini masalah operasi. Jika Lily tidak mendapatkan operasi secepatnya, kondisi kronisnya akan memburuk, dan... Elara tidak bisa memikirkan kata-kata itu.

Dia juga menemukan surat resmi di kotak pos. Surat dari pengacara keluarga ayahnya. Mereka akan menuntut hak asuh penuh. Alasan mereka klasik, kejam, dan menghina: Elara tidak mampu memberikan perawatan medis yang stabil dan lingkungan yang memadai. Mereka akan menggunakan kemiskinan Elara sebagai senjata untuk mengambil Lily darinya.

Dunia Elara seolah runtuh. Dia tidak punya apa-apa lagi untuk dijual. Tidak ada jam kerja ekstra yang bisa dia ambil. Dia sendirian melawan dinosaurus finansial.

"Tidak," bisik Elara, mencengkeram surat itu hingga kertasnya berkerut. "Aku tidak akan kehilangan dia."

Elara merasa seperti air mata akan membanjiri matanya, tapi dia tidak membiarkannya. Air mata adalah kemewahan yang tidak bisa dia bayar.

Dia harus mencari jalan keluar. Uang tunai dalam jumlah besar, dan cepat. Tapi dari mana? Restoran? Lelucon macam apa ini?

Di bangku taman yang sama, malam itu, Alexander tidak bisa tidur. Udara lebih dingin dari yang dia perkirakan. Rasa sakit menjalar dari punggungnya yang menyentuh kayu keras. Tapi rasa sakit itu, anehnya, adalah kejutan yang menyenangkan. Ini adalah konsekuensi langsung dari keputusannya, bukan hasil dari rapat dewan yang menjemukan.

Namun, pikirannya tidak lagi dipenuhi oleh rasa dingin atau lapar. Pikirannya dipenuhi oleh Elara.

Kenapa wanita itu memberinya makanan? Dia terlihat sangat kelelahan, sangat miskin. Setiap inci dari dirinya berteriak tentang perjuangan, namun dia rela berbagi. Kebajikan itu begitu murni, tidak terkotori oleh motif tersembunyi.

Dia teringat tatapan mata Elara-ada kesedihan yang dalam di sana, tapi juga ketangguhan baja.

Alexander, yang bisa membeli seluruh jalur Manhattan, merasa seperti dia telah menerima pelajaran paling berharga dalam hidupnya dari seorang pelayan restoran yang lelah.

Dia memutuskan bahwa dia tidak bisa hanya bermain-main di taman ini. Dia harus mencari tahu siapa Elara. Apa bebannya. Kenapa dia tampak begitu hancur, namun begitu kuat?

Viktor telah menyiapkan jalur darurat. Hanya satu nomor sekali pakai yang harus dia hubungi jika ada krisis atau jika dia ingin kembali. Awalnya, dia mengira dia akan menggunakannya karena bosan, atau kedinginan.

Malam itu, Alexander mengeluarkan ponsel sekali pakai yang disembunyikan di lipatan jaketnya.

Dia tidak menelepon untuk meminta makanan atau tempat tidur. Dia menelepon Viktor untuk meminta data.

"Viktor," ucapnya, suaranya kembali ke nada komando yang dingin. "Aku punya proyek baru. Seorang wanita bernama Elara Senja. Aku ingin semua yang bisa kau temukan. Alamat, pekerjaan, riwayat kesehatan keluarganya, detail pertempuran hak asuh apa pun. Aku ingin laporan lengkap di meja kerjaku pada pukul 08:00 besok pagi. Dan ingat, aku tidak ingin ada yang tahu bahwa aku yang meminta ini."

Di ujung telepon, Viktor tidak bertanya mengapa seorang gelandangan di taman tahu nama seorang pelayan restoran. Dia hanya berkata, "Sudah dicatat, Tuan Volkov."

Alexander memutuskan bahwa penyamarannya sudah cukup. Dia sudah mendapatkan kebebasan yang dia cari. Sekarang, sudah waktunya untuk memulai permainan baru. Dan dalam permainan baru ini, dia tidak akan bermain sebagai Alex si gelandangan. Dia akan bermain sebagai Alexander Volkov, sang Raja.

Elara Senja memberinya keju basi dan roti keras, menyelamatkannya dari rasa lapar.

Alexander Volkov akan memberinya kekayaan tak terbatas, menyelamatkannya dari jurang kemiskinan dan kehilangan, tetapi dengan harga yang jauh lebih mahal.

Keesokan harinya, saat fajar menyingsing, Alexander Volkov yang baru saja mandi, berbau maskulin dengan cologne mahal, dan mengenakan setelan jas tiga potong yang dipesan khusus, duduk di kantornya.

Di meja marmer itu, terdapat tumpukan berkas yang ditandai sebagai 'SENJA, ELARA'.

Viktor menyajikan kopi, kali ini Alexander meminumnya seperti orang haus.

"Ringkasan, Viktor," perintah Alexander, menatap foto Elara di berkas itu. Foto itu diambil saat dia melayani di restoran, senyum palsu yang dipaksakan untuk pelanggan.

"Elara Senja, 27 tahun. Pekerjaan: pelayan di 'The Downtown Diner'. Tinggal di apartemen sewaan kecil. Riwayat keluarga: diusir dua tahun lalu setelah melahirkan putrinya, Lily. Tidak ada sumber dukungan finansial lain."

"Putrinya?"

"Lily Senja, 7 tahun. Menderita penyakit jantung bawaan yang parah, membutuhkan operasi dalam waktu dua bulan. Biaya operasi melebihi satu juta dolar. Mereka tidak memiliki asuransi yang memadai."

Alexander mengatupkan rahangnya. Satu juta dolar. Itu adalah uang receh bagi dirinya. Harga dari sepatu kulit yang dia kenakan saat ini.

"Hak asuh?"

"Ayah Lily, Daniel Hartono, berasal dari keluarga Hartono yang kaya raya. Keluarga Hartono menolak Elara sebagai pasangan Daniel, tetapi mereka ingin mengambil alih Lily untuk menyelamatkan 'nama baik' keluarga dan memberikan perawatan medis yang memadai. Proses pengadilan sudah dimulai. Elara tidak memiliki representasi hukum yang kuat," jelas Viktor.

Alexander menutup berkas itu dengan pelan. Suara kertas tebal yang bergesekan terasa memekakkan telinga.

Dia mengingat kebaikan hati Elara. Dia mengingat roti basi itu. Dia mengingat mata yang lelah namun penuh api perjuangan.

Dia menemukan tantangan yang sesungguhnya. Bukan akuisisi perusahaan, tapi menyelamatkan seorang wanita dari kehancuran total. Dia akan menggunakan kekuasaannya untuk sesuatu yang belum pernah dia lakukan: menukar kebaikan dengan penyelamatan.

"Viktor, cari Hartono itu. Hentikan semua tuntutan hukum mereka, beli semua aset yang mereka miliki jika perlu, lumpuhkan mereka secara finansial. Aku ingin mereka menghilang dari kehidupan Elara," perintah Alexander.

"Sudah dicatat. Dan Nona Senja?"

Alexander tersenyum. Senyum itu tidak menjanjikan kebaikan, melainkan kepemilikan. Senyum sang Raja yang baru saja menemukan harta karun tersembunyi.

"Bawakan dia ke hadapanku. Atur pertemuan. Dalam skenario ini, aku adalah Malaikat Penyelamatnya. Tapi dia harus tahu, tidak ada yang gratis di dunia Alexander Volkov. Tidak bahkan kebaikan. Aku akan memberinya semua yang dia butuhkan untuk menyelamatkan putrinya."

Alexander berdiri dan berjalan kembali ke jendela, menatap kota dengan mata yang tajam dan haus. Rasa bosan itu sudah lama hilang. Kini yang ada hanya kegembiraan.

"Dan syaratnya?" tanya Viktor, sudah siap dengan pena dan kertas.

"Syaratnya sederhana, Viktor. Dia akan menjadi milikku. Kekasih bayaranku. Aku ingin dia di sampingku, di mana pun aku berada, selama aku menginginkannya. Untuk satu malam panas, dan setelah itu, kepatuhan total sampai aku selesai dengan permainanku. Aku akan membeli waktu dan dirinya. Bayarannya adalah nyawa putrininya. Aku ingin melihat apakah perjuangan dalam mata itu bisa dipertahankan di bawah lapisan sutra dan emas."

Viktor mengangguk. Dia tahu betul, Alexander Volkov tidak pernah main-main.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Jumedi Gomgom

Selebihnya
Benihku Bukan Cintamu

Benihku Bukan Cintamu

Romantis

5.0

Kenalin, aku Aluna Callysta. Hidupku? Kelihatan sempurna banget di mata orang-orang: pengusaha sukses, sosialita kelas atas, pokoknya high-class deh. Tapi, jangan salah, di balik penampilan mentereng ini, ada luka yang dalam banget. Luka itu namanya Elian Dharma, pewaris tunggal kerajaan bisnis yang pernah jadi cinta matiku. Cinta kami kandas, bukan karena bosan, tapi karena dihajar kenyataan paling pahit Elian malah nikah sama Anya, kakak tiriku sendiri. Rasanya? Lebih dari sekadar sakit hati, ini tuh kayak jiwa lo dirobek-robek, tapi nggak berdarah. Bener kata orang, cinta itu pembunuh tanpa menyentuh. Sejak saat itu, aku benci banget sama yang namanya cinta. Menurutku, cinta itu cuma tipuan, bayangan ilusi yang bikin kita lengah. Aku memutuskan, nggak ada lagi tempat buat laki-laki di hidupku. Yang aku mau cuma satu: Bayi. Seorang anak yang lahir dari rahimku, yang akan menyempurnakan hidupku. Aku punya segalanya warisan kekayaan dari kakekku, King Callysta Company jadi aku bisa kok punya anak tanpa perlu 'makhluk' bernama laki-laki itu. Karena aku nggak mau cinta, tapi aku mau generasi penerus, jadi aku bikin sayembara! Aku cari bibit unggul yang kualitasnya limited edition, buat menghasilkan pewaris yang sepadan dengan kekayaan yang kupunya. Buat semua pria di luar sana dengan kualifikasi "istimewa", siap-siap. Aku butuh pendonor benih terbaik! Aku nggak percaya cinta, tapi aku percaya kuasa Tuhan. Dan kini, aku aku bahagia banget menjadi Ibu dari tiga malaikat kecilku.

Buku serupa

Bosku Kenikmatanku

Bosku Kenikmatanku

Juliana
5.0

Aku semakin semangat untuk membuat dia bertekuk lutut, sengaja aku tidak meminta nya untuk membuka pakaian, tanganku masuk kedalam kaosnya dan mencari buah dada yang sering aku curi pandang tetapi aku melepaskan terlebih dulu pengait bh nya Aku elus pelan dari pangkal sampai ujung, aku putar dan sedikit remasan nampak ci jeny mulai menggigit bibir bawahnya.. Terus aku berikan rangsang an dan ketika jari tanganku memilin dan menekan punting nya pelan "Ohhsss... Hemm.. Din.. Desahannya dan kedua kakinya ditekuk dilipat kan dan kedua tangan nya memeluk ku Sekarang sudah terlihat ci jeny terangsang dan nafsu. Tangan kiri ku turun ke bawah melewati perutnya yang masih datar dan halus sampai menemukan bukit yang spertinya lebat ditumbuhi bulu jembut. Jari jariku masih mengelus dan bermain di bulu jembutnya kadang ku tarik Saat aku teruskan kebawah kedalam celah vaginanya.. Yes sudah basah. Aku segera masukan jariku kedalam nya dan kini bibirku sudah menciumi buah dadanya yang montok putih.. " Dinn... Dino... Hhmmm sssttt.. Ohhsss.... Kamu iniii ah sss... Desahannya panjang " Kenapa Ci.. Ga enak ya.. Kataku menghentikan aktifitas tanganku di lobang vaginanya... " Akhhs jangan berhenti begitu katanya dengan mengangkat pinggul nya... " Mau lebih dari ini ga.. Tanyaku " Hemmm.. Terserah kamu saja katanya sepertinya malu " Buka pakaian enci sekarang.. Dan pakaian yang saya pake juga sambil aku kocokan lebih dalam dan aku sedot punting susu nya " Aoww... Dinnnn kamu bikin aku jadi seperti ini.. Sambil bangun ke tika aku udahin aktifitas ku dan dengan cepat dia melepaskan pakaian nya sampai tersisa celana dalamnya Dan setelah itu ci jeny melepaskan pakaian ku dan menyisakan celana dalamnya Aku diam terpaku melihat tubuh nya cantik pasti,putih dan mulus, body nya yang montok.. Aku ga menyangka bisa menikmati tubuh itu " Hai.. Malah diem saja, apa aku cuma jadi bahan tonton nan saja,bukannya ini jadi hayalanmu selama ini. Katanya membuyarkan lamunanku " Pastinya Ci..kenapa celana dalamnya ga di lepas sekalian.. Tanyaku " Kamu saja yang melepaskannya.. Kata dia sambil duduk di sofa bed. Aku lepaskan celana dalamku dan penislku yang sudah berdiri keras mengangguk angguk di depannya. Aku lihat di sempat kagett melihat punyaku untuk ukuran biasa saja dengan panjang 18cm diameter 4cm, setelah aku dekatkan ke wajahnya. Ada rasa ragu ragu " Memang selama ini belum pernah Ci melakukan oral? Tanyaku dan dia menggelengkan kepala

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku