Selama lima tahun, aku adalah Kirana Adiwijaya, pewaris takhta kerajaan agribisnis yang telah lama hilang, yang akhirnya kembali ke pelukan orang tua yang memanjakanku dan seorang suami yang sempurna, Bima. Mereka adalah segalanya bagiku, keluarga yang kudambakan seumur hidupku. Tapi semua itu bohong. Sebuah belokan yang salah membawaku ke sebuah vila tersembunyi di mana aku menemukan suamiku sedang bermain dengan seorang anak laki-laki dan Rania-putri angkat yang mereka bilang telah tewas dalam kecelakaan mobil. Orang tuaku terlibat dalam semua ini, mendanai kehidupan rahasia mereka dan cucu "asli" mereka. Mereka tidak hanya menyembunyikan sebuah keluarga rahasia; mereka merencanakan untuk menyingkirkanku. Sebuah rekaman suara di laptop Bima mengungkap rencana mereka: memberiku obat penenang dengan dalih mengatasi kecemasan dan menyatakan aku tidak stabil secara mental jika aku membuat masalah bagi perusahaan. Cinta yang kukira adalah penyelamatku ternyata adalah sangkarku. Gadis naif yang percaya pada kasih sayang mereka telah mati hari itu, digantikan oleh kemarahan dingin yang penuh perhitungan. Beberapa malam kemudian, saat makan malam keluarga, ibuku menyodorkan segelas anggur ke arahku. "Kamu terlihat pucat sekali, Sayang," katanya. "Minumlah ini. Akan membantumu rileks." Aku tahu itu adalah langkah pertama dari rencana mereka. Anggur itu telah dibius. Aku tersenyum, menatap mata mereka, dan menenggak seluruh isi gelas dalam satu tegukan panjang. Permainan mereka telah berakhir. Permainanku baru saja dimulai.
Selama lima tahun, aku adalah Kirana Adiwijaya, pewaris takhta kerajaan agribisnis yang telah lama hilang, yang akhirnya kembali ke pelukan orang tua yang memanjakanku dan seorang suami yang sempurna, Bima. Mereka adalah segalanya bagiku, keluarga yang kudambakan seumur hidupku.
Tapi semua itu bohong. Sebuah belokan yang salah membawaku ke sebuah vila tersembunyi di mana aku menemukan suamiku sedang bermain dengan seorang anak laki-laki dan Rania-putri angkat yang mereka bilang telah tewas dalam kecelakaan mobil.
Orang tuaku terlibat dalam semua ini, mendanai kehidupan rahasia mereka dan cucu "asli" mereka. Mereka tidak hanya menyembunyikan sebuah keluarga rahasia; mereka merencanakan untuk menyingkirkanku.
Sebuah rekaman suara di laptop Bima mengungkap rencana mereka: memberiku obat penenang dengan dalih mengatasi kecemasan dan menyatakan aku tidak stabil secara mental jika aku membuat masalah bagi perusahaan.
Cinta yang kukira adalah penyelamatku ternyata adalah sangkarku. Gadis naif yang percaya pada kasih sayang mereka telah mati hari itu, digantikan oleh kemarahan dingin yang penuh perhitungan.
Beberapa malam kemudian, saat makan malam keluarga, ibuku menyodorkan segelas anggur ke arahku.
"Kamu terlihat pucat sekali, Sayang," katanya. "Minumlah ini. Akan membantumu rileks."
Aku tahu itu adalah langkah pertama dari rencana mereka. Anggur itu telah dibius. Aku tersenyum, menatap mata mereka, dan menenggak seluruh isi gelas dalam satu tegukan panjang. Permainan mereka telah berakhir. Permainanku baru saja dimulai.
Bab 1
Kirana POV:
Duniaku hancur saat aku melihat potret keluarga yang bukan milikku.
Selama lima tahun, hidupku adalah surga yang dibangun dengan sangat hati-hati. Aku adalah Kirana Adiwijaya, putri yang telah lama hilang dari kerajaan agribisnis Adiwijaya, yang akhirnya kembali ke rumah. Aku punya orang tua yang sangat menyayangiku dan seorang suami yang sempurna, Bima, yang senyum lembutnya adalah matahari yang menjadi pusat duniaku.
Dia adalah segalanya bagiku. Orang tuaku adalah segalanya bagiku. Mereka adalah jangkar yang akhirnya menambatkan hidupku yang terombang-ambing setelah bertahun-tahun di panti asuhan. Aku memberi mereka kepercayaanku, bakatku, seluruh hatiku.
Lima tahun yang lalu, mereka memberitahuku bahwa Rania, putri angkat yang tumbuh menggantikanku, telah meninggal dalam kecelakaan mobil yang tragis. Pemakamannya berlangsung tertutup dan suram. Aku bahkan ikut berduka untuk gadis yang membenciku, gadis yang dengan jahat menyabotase proyek besar pertamaku, yang hampir membuat perusahaan yang dibangun leluhurku bangkrut.
"Kematiannya" terasa seperti penutup sebuah babak kelam, yang akhirnya memungkinkan cahaya masuk ke dalam hidupku.
Sekarang, aku tahu cahaya itu adalah kebohongan.
Semua berawal dari salah belok saat aku dalam perjalanan pulang dari kunjungan lokasi. Sebuah jalan pribadi yang belum pernah kulihat sebelumnya, ditandai dengan logo Adiwijaya Group yang kecil dan tersembunyi. Rasa penasaran, sebuah dorongan bodoh yang menentukan takdir, membuatku mengikutinya. Jalan itu membawaku ke sebuah vila mewah yang luas dan indah di kawasan Sentul yang tidak pernah kuketahui dimiliki perusahaan kami.
Dan di sana, di halaman berumput yang bermandikan sinar matahari, sedang bermain dengan seorang anak laki-laki, adalah sesosok hantu.
Rania.
Dia tertawa, rambutnya berkilau di bawah sinar matahari, tampak hidup dan sangat, sangat sehat. Dan di sampingnya, mengayunkan anak laki-laki itu ke udara, adalah suamiku. Bima-ku.
Pemandangan itu begitu harmonis, begitu penuh sukacita, hingga sesaat otakku menolak untuk memprosesnya. Rasanya seperti melihat foto dari kehidupan orang asing. Tapi pria itu tidak salah lagi adalah Bima, dan wanita itu adalah Rania. Anak laki-laki itu, dengan rambut ikal gelap Bima dan mata cerah Rania, kelihatannya berusia sekitar empat tahun.
Rasa dingin yang mencekam mulai merayap di perutku, sebuah beban yang begitu berat hingga aku merasa sesak napas.
Aku memarkir mobilku di balik semak-semak, tanganku gemetar hebat sampai aku hampir tidak bisa mematikan mesin. Aku merayap mendekat, bersembunyi di balik tembok batu tua, jantungku berdebar kencang di dada seperti burung yang terperangkap.
Sekarang aku bisa mendengar suara mereka, terbawa oleh angin sepoi-sepoi.
"Lebih tinggi, Ayah, lebih tinggi!" pekik anak laki-laki itu dengan gembira.
Ayah. Kata itu menghantamku.
"Hati-hati, Bima," kata Rania, suaranya sarat dengan kelembutan yang membuat darahku terasa dingin. "Jangan membuatnya terlalu bersemangat sebelum tidur siang."
"Dia baik-baik saja, kan, Daffa?" Bima mengecup kening anak itu. "Jagoan kecil Ayah."
Kemudian, kata-kata Rania sampai ke telingaku, melilit leherku dan mencekik. "Terima kasih untuk ini, Bima. Untuk semua ini. Karena telah menjaga kami tetap aman."
"Selalu," jawabnya, dengan nada lembut dan menenangkan yang sama seperti yang dia gunakan padaku setiap hari. "Aku akan selalu melindungi keluargaku."
Keluargaku.
Dunia seakan berputar. Matahari terasa dingin. Vila yang indah, padang rumput hijau, anak yang tertawa-semuanya berubah menjadi teater penipuan yang mengerikan. Pernikahanku, keluargaku, seluruh hidupku selama lima tahun terakhir... hanyalah sebuah panggung. Sebuah cerita sampul. Sebuah kebohongan yang dirancang untuk melindungi mereka.
Aku merasakan gelombang mual yang begitu kuat hingga aku harus menekan tanganku ke mulut. Cinta yang kusayangi, keluarga yang kurindukan seumur hidupku-semuanya hanyalah alat untuk menyembunyikan kejahatan perusahaan dan sebuah keluarga rahasia.
Aku terhuyung-huyung kembali ke mobil, tubuhku bergerak secara otomatis. Saat aku merogoh kunci, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari ibuku.
`Cuma ngecek, Sayang. Semua baik-baik saja?`
Kasih sayang yang biasa itu tiba-tiba terasa mengerikan. Aku menatap layar, pandanganku kabur. Mereka semua terlibat. Orang tuaku, yang menangis bersamaku atas 'kematian' Rania. Mereka adalah bagian dari kebohongan ini.
Jari-jariku bergerak, dingin dan kaku, mengetik balasan. Ini adalah ujian yang nekat dan putus asa. Sebuah korek api yang dilemparkan ke dalam ruangan penuh gas.
`Semua baik-baik saja. Tadi lihat sesuatu yang aneh di jalan pulang. Sesaat, aku kira aku melihat Rania.`
Aku menekan kirim.
Responsnya seketika. Ponselku tidak bergetar. Ponselku berdering. Itu ayahku. Aku membiarkannya masuk ke pesan suara. Sedetik kemudian, ponsel Bima, yang bisa kulihat di atas tikar piknik dari tempat persembunyianku, menyala. Dia menjawabnya, punggungnya menegang.
Ponselku berdering lagi. Kali ini, Bima. ID penelepon menunjukkan foto kami yang tersenyum di hari pernikahan kami. Sebuah lelucon yang kejam.
Aku menjawab, tenggorokanku tercekat. "Halo?"
"Kirana? Sayang, kamu baik-baik saja?" Suaranya penuh dengan keprihatinan yang sempurna dan terlatih itu. "Ayahmu meneleponku, bilang kamu mengirim pesan aneh. Apa maksudmu melihat Rania? Kamu pasti kelelahan."
Aku menyandarkan kepalaku ke kaca jendela mobil yang dingin, kuku-kukuku menancap ke telapak tanganku. Rasa sakit itu adalah jangkar kecil yang tajam di tengah kekacauan pikiranku. Aku harus tenang. Aku harus memainkan peranku.
"Aku... aku tahu," bisikku, memaksakan getaran dalam suaraku. "Kamu benar. Aku hanya lelah. Itu hanya seseorang yang mirip dengannya. Aku kaget, itu saja."
Ada jeda. Aku bisa mendengar angin menggesek dedaunan, suara tawa anak kecil di kejauhan.
"Tentu saja, hanya itu," katanya, suaranya melembut karena lega. Dia percaya. "Dengar, aku baru saja mau selesai di sini. Aku akan segera pulang, dan aku akan membuatkanmu makan malam. Kita bisa santai saja. Oke, Sayang?"
"Oke," aku berhasil berkata.
Dia kembali ke kehidupannya yang lain, ke keluarga aslinya, mungkin merasa baru saja berhasil menghindari peluru.
Tapi saat aku menutup telepon, sebuah kejernihan yang mengerikan menyelimutiku. Pria yang kunikahi bukan hanya pembohong. Dia adalah orang asing. Dan cinta yang kukira adalah keselamatanku ternyata adalah sangkarku.
Buku lain oleh Gavin
Selebihnya