Bagaimana rasanya diabaikan oleh cinta pertamamu? Sakit, bukan? Itulah yang dirasakan oleh Aruna, ketika takdir mempertemukannya kembali dengan Justin-teman masa kecil yang pernah ia cintai dengan segenap hati. Namun, harapan Aruna hancur saat menyadari bahwa Justin, yang dulu begitu menyayanginya, kini tak lebih dari orang asing yang tak mengenalinya. Marah, kecewa, dan terluka, menjadi satu dalam benak Aruna. Ia merasa kenangan masa kecil yang manis berubah menjadi sumber obsesi yang membara. Aruna bersumpah akan melakukan apa saja agar bisa membuat Justin teringat lagi kepadanya. Bahkan jika itu harus mengorbankan kewarasannya sendiri. Cinta yang ia simpan terlalu lama, kini menjadi api yang menghanguskan, dan mendorong Aruna ke batas yang sangat berbahaya. Sialnya, ketika ingatan Justin akhirnya mulai kembali, kehidupan mereka berdua berubah menjadi ujian yang paling tak terduga. Tuhan punya rencana lain-satu yang penuh cobaan, menyisakan bekas penyesalan yang tak akan pernah hilang dari hidup Justin. Apa yang terjadi di antara mereka berdua? Mengapa penyesalan itu begitu dalam?
Warna jingga keemasan tampak merona di cakrawala, seperti memendam rahasia yang tak tersampaikan. Udara hangat di pertengahan musim membelai lembut wajah Aruna. Helaan napas menguar pelan, seulas senyum tipis perlahan terbingkai di wajah. Lalu-lalang kendaraan di depan sama sekali tak mengganggu fokus gadis itu. Suaranya sangat ramai didengar, tetapi berbeda dengan hati gadis itu yang terasa sebaliknya-dingin, sepi, penuh luka.
Aruna berdiri di tepi trotoar, tanpa sadar matanya terpaku pada sosok yang baru saja melintas tak jauh dari seberang sana. Sosok yang selalu singgah dalam mimpinya bertahun-tahun, yang membuat ia terus mencari dan menunggu, berharap bahwa kenangan masa kecil yang berharga bisa mewujudkan cintanya. Bibir Aruna tersenyum lebar, kaki siap melangkah menghampiri laki-laki itu saat rambu lalu lintas berubah berwarna hijau untuk pejalan kaki. Namun, ia mengurungkan niatnya untuk menghampiri laki-laki itu-saat tak sengaja melihat seorang gadis datang menghampiri sambil merangkul dengan mesra. Keduanya tampak bertukar senyum sambil bergandengan tangan menyeberangi jalan.
GHarapan ingin menyapa laki-laki itu buyar seketika, hatinya terasa dicubit melihat betapa mesranya sejoli itu, sungguh sangat menyakitkan. Padahal Aruna sadar, bahwa laki-laki itu sempat berkontak mata dengannya.
"Menyebalkan, kenapa Justin tidak memanggil namaku ataupun tersenyum padaku?" tanya Aruna dalam hati, emosinya menggebu-gebu melirik sinis ke arah laki-laki itu.
Seharusnya pada saat ia dan Justin berkontak mata, Justin mengulas senyum cerah seperti dulu. Namun, kali ini berbeda. Tepat saat melewati Aruna, tak ada senyuman cerah dari laki-laki itu. Tak ada lirikan penuh keakraban. Tak ada sapaan yang pernah membuat dunia Aruna terasa lebih berwarna dan penuh kehangatan seperti dulu.
Laki-laki itu hanya melewati Aruna seakan-akan Aruna hanya angin lalu, ibaratkan Aruna ini hanya bayangan tak penting di keramaian. Padahal, Aruna sudah menunggu begitu lama momen bertemu dengan teman masa kecil sekaligus cinta pertamanya. Jantung Aruna berdebar kencang, bukan hanya karena rasa sakit diabaikan, tetapi juga keinginan yang membara-keinginan untuk menggenggam kembali kenangan-kenangan itu, memiliki kembali seseorang yang pernah berarti segalanya dalam hidup Aruna.
Aruna mengepalkan jemarinya, rasa tak terima mengguncang seluruh tubuh. Apa benar ini akhir dari kisah mereka? Apa benar Justin sudah melupakan ia serta kenangan masa kecil mereka berdua? Sesuatu dalam diri Aruna berteriak, menolak menerima kenyataan yang terasa begitu kejam kala melihat Justin tidak mengenali dirinya.
Amarah terpatri di balik bola mata Aruna, tubuh menyamping menatap tajam ke arah sejoli itu dengan perasaan cemburu yang membara. Ingatan Aruna membawa kembali pada kenangan masa kecil, masa-masa indah yang dimiliki oleh Aruna.
"Aruna, kita harus berjanji satu sama lain. Kalau kamu tidak akan pernah melupakan aku, aku juga di sini tidak akan pernah melupakan kamu," ucap bocah laki-laki berumur sepuluh tahun, suaranya lembut, senyumnya manis, bahkan mata bocah laki-laki itu sangat meneduhkan.
Aruna, yang kala itu baru berumur enam tahun, menatap Justin, lalu menatap jari kelingking bocah laki-laki itu dengan mata membulat penuh rasa percaya. Mata Almond Aruna bersinar, mengagumi sosok kakak yang selalu membuatnya merasa aman. Ia mengangguk dengan sungguh-sungguh, membuat kucir kuda kecil di rambut ikut bergoyang. Wajahnya memerah seperti tomat, bukan karena malu, tetapi karena perasaan hangat yang selalu Justin bawa setiap kali keduanya bermain.
"Aku janji," balas Aruna dengan suara kecil dan sedikit serak. Ia mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Justin, sentuhan dua bocah itu terasa ringan penuh dengan arti.
Ada kilau kegembiraan di mata kedua anak itu. Dunia di sekitar tampak secerah langit biru, sinar matahari, seakan merekam semua rahasia; bahwa keduanya tidak mungkin saling melupakan.
Setiap kali Justin tertawa, perut Aruna bergejolak seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan. Justin selalu tahu cara membuat ia tertawa, entah itu dengan mengajaknya bermain petak umpet di antara bunga-bunga liar atau membuat lelucon tentang awan yang selalu berbentuk aneh. Bagi Aruna, Justin sudah seperti pelindungnya, kakaknya, bahkan sahabat terbaik yang selalu Aruna andalkan.
Aruna berlari mengejar langkah Justin yang mengelilingi taman kecil, sambil tertawa saling mengejek. Justin berhenti sejenak untuk mengatur napas. Begitu pun dengan Aruna, napasnya terengah-engah tetapi penuh tawa. Justin menatap anak perempuan cantik itu, sudut bibirnya terangkat dalam senyum yang membuat hati kecil Aruna berdebar aneh, meski ia tak mengerti maksud dari debaran itu.
"Kalau aku jauh nanti, kamu bakalan rindu tidak, Una?" tanya Justin tiba-tiba, setengah bercanda, setengah serius.
Aruna memajukan bibir mungilnya ke depan seperti mengerucut, mendengar pertanyaan dari Justin. "Aku tidak mau kalau kamu jauh-jauh, pokoknya kamu harus tetap ada di sini sama aku," tuturnya sambil melipat tangan di depan dada.
Tingkah Aruna sangat gemas, sampai membuat Justin tertawa. Lalu tanpa sadar tangan Justin mengacak-acak rambut anak gadis itu dengan sayang, membuat Aruna tertawa kesal sambil mendorong pelan tangan Justin dari pucuk kepalanya.
Kenangan itu hanya datang menghantam hati Aruna dengan diliputi oleh rasa rindu yang membelenggu. Sebelum perlahan menghilang, meninggalkan kekosongan yang terasa menyakitkan. Sekelebat bayangan senyuman Justin di masa kecil melintas di pikiran secara tiba-tiba,benar-benar membuat ia ingin mengulang waktu.
Aruna berdiri di depan jendela kamar, tangan mengepal erat di sisi tubuhnya. Setetes buliran bening jatuh dari sudut mata, menelusuri pipinya yang dingin. Ia mengusap buliran bening itu dengan kasar, menolak perasaan lemah yang singgah. Rasa kehilangan terlalu menyakitkan, terlalu dalam, dan ia tidak bisa membiarkan semua kenangan itu hilang begitu saja. Setelah ia menghabiskan bertahun-tahun untuk menunggu, berharap, memelihara harapan bahwa Justin akan kembali mengingat semua tentangnya dan siapa dirinya. Suasana dalam kamar bak kapal pecah, sangat berantakan, tetapi Aruna tampak tidak peduli dengan kondisi kamarnya sendiri. Ia hanya berdiri sambil memandangi bayangan diri sendiri di kaca jendela, mata Aruna menyala memancarkan ambisi.
Kekecewaan yang sempat meremukkan hati berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih kuat, lebih tajam-obsesi. Justin tidak boleh melupakannya begitu saja.
Aruna menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang mulai berdebar tidak keruan. Ia bersumpah, dalam hatinya yang sudah mulai dipenuhi oleh rasa ingin memiliki, bahwa ia akan membuat Justin mengingatnya. Ia akan membuat laki-laki itu kembali, entah bagaimana pun caranya. Jika kenangan itu tersembunyi di balik kabut kelupaan, maka ia sendiri yang akan menarik Justin keluar dari sana, meskipun harus melakukan apa saja. Mata Aruna menyipit, bibir mungilnya perlahan melengkung dalam senyum kecil yang nyaris menyeramkan.
Ia sudah menunggu cukup lama. Sekarang, giliran Justin yang akan menyadari kehadirannya. Aruna tidak akan membiarkan apa pun, atau siapa pun, menghalanginya untuk mendapatkan Justin kembali. Ia akan kembali mengganggu hidup Justin, agar ia bisa selalu diingat. "Justin, kamu milikku," gumam Aruna sambil tersenyum seringai.
Bab 1 Pertemuan kembali
21/02/2025
Bab 2 Siapa gadis itu
21/02/2025