Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
INNOMINATUS : THE LOST CHILD

INNOMINATUS : THE LOST CHILD

Inhel Eienvon

5.0
Komentar
782
Penayangan
15
Bab

Seorang ilmuwan gila berkata kepada seorang anak yang tidak memiliki nama, "Kau tidak akan memiliki apapun bahkan sebuah ikatan sekecil apapun. Mereka akan meninggalkanmu seolah-olah tidak pernah mengenalmu. Apapun yang telah kau tanam tidak akan pernah kau tuai." Dan anak itu menjawab dengan senyum kecilnya, "Baik aku, Profesor, maupun mereka tidak ada yang tahu siapa yang akan tertawa di akhir."

Bab 1 YANG DI LUPAKAN

"Apa kau tersesat?"

Baju yang lusuh dan bau amis darah yang menempel pada tubuhnya menarik sekumpulan lalat. Di tengah-tengah kesadarannya yang semakin menipis, sosok dirinya muncul di hadapannya.

''Apa yang kau takutkan? Sejak awal kau bukanlah siapa-siapa. Kau tidak memiliki nama, masa lalu, maupun rekan. Kau tidak dibutuhkan oleh siapapun bahkan oleh 'dia' yang kau anggap sebagai keluarga."

''Diam.''

''Menyerahlah dan jangan bang-"

''ARRGGGHHHH!!''

''Siapa......?"

"Aku ini.... Siapa....? "

Rasa sakit yang tak bisa ia jelaskan meluap tak tertahankan bersamaan dengan hilangnya sosok tersebut yang meninggalkan rasa frustasi yang berlebihan. Rasa takut akan kesendirian terus menghantuinya.

***

Perlahan aku membuka mataku. Yang kulihat bukanlah daun-daun yang menghijau melainkan sebuah tembok putih besar. Aku memalingkan wajahku untuk melihat sekelilingku. Ini bukanlah sesuatu yang bisa ku sebut sebagai tempat tidur karena di hadapanku berdiri beberapa orang dewasa yang terlihat sangat terlatih. Jika hitunganku benar totalnya adalah 200 orang.

Lalu di balik kaca itu berdirilah beberapa orang berbaju putih sambil mengamati kami.

''Hey, bocah kau terlambat bangun. Aku sampai bosan menunggu.''

''Katakan dimana aku.''

"Apa itu penting? Toh kau akan mati.''

''Apa-''

''Mulai.''

Terdengar sebuah suara yang seperti memberikan aba-aba untuk memulai sesuatu. Dengan perintah tersebut, beberapa dari mereka bergerak maju sambil melayangkan tinjunya padaku. Aku berusaha menghindari setiap serangan mereka dengan memanfaatkan ruangan yang cukup luas untuk diriku.

Lima orang kembali maju dengan membentuk lingkaran bermaksud mengepungku. Logikanya adalah kekuatanku tidak sebanding dengan satu orang dewasa terlatih apalagi jika lebih dari satu. Aku juga berpikir demikian karena bagaimana pun itu adalah logika yang paling masuk akal. Tapi, entah bagaimana tubuhku dengan sendirinya bergerak menghindari serangan mereka.

Beberapa orang juga sangat ahli dalam melakukan seni bela diri seperti Judo, Kungfu, dan Jet Kune Do. Sejujurnya aku sama sekali tidak paham akan istilah itu, namun rasanya itu terdengar familiar.

''Jangan meremehkannya. Dia itu ******. Serangan biasa tidak akan mempan untuknya. Bentuk formasi D.''

''Siap.''

Dari serangan yang acak dan membabi buta kini berubah menjadi lebih terstruktur. Sepuluh⎯ tidak, 54 orang mengandalkan kecepatan, 98 menggunakan kekuatan dan sisanya adalah pendukung. Satu orang di belakang menjadi otak dari semua serangan yang di lakukan.

Dari gestur, bentuk tubuh, dan cara dia memberi perintah memberiku spekulasi bahwa dia yang paling lemah di antara semuanya. Sejak kemunculan mereka pria itu terus berpindah-pindah tempat dan berbaur dalam kerumunan untuk menyembunyikan dirinya. Setiap kali aku mendekatinya anggota yang lain akan berusaha menghadang.

''Kau melihat kemana bocah.''

Kepalan tangan yang kuat mencoba mengincar area perutku di ikuti dengan tendangan lain yang mengarah pada kepalaku.

''Kau terlalu berisik."

BUUGH

KRAAKK

''Arrrggghhhhhhhhhhhhh.''

"Lemah. Hanya ini kemampuanmu?"

''Untuk seukuran bocah kau sombong juga. Aku akan mengabulkan permintaanmu.''

***

Dalam sekejap bentuk serangan mereka berubah. Kali ini menggunakan senjata sebagai alat pendukung.

''Tembak.''

Dorr

Door

Sniper. Lawan yang cukup merepotkan.

Utara 3, Barat 9, Selatan 5. Jumlah snipernya cukup banyak, tapi anak itu sama sekali tidak menunjukkan rasa takut justru kini wajahnya di hiasi dengan senyuman aneh.

Wajahnya berkata bahwa ia sungguh menikmatinya.

Kini, lantai yang tadinya berwarna putih berubah menjadi lautan darah. Dari total 200 anggota kini hanya tersisa 38 yang masih hidup.

''Ba-bagaimana bisa kau-''

''Ti-tidakkkk!''

''Tolong!!!!!''

''Arrrgggghhh!!"

''Haah....Haah...Haahh.....''

"Bangun. Apa yang kau lihat? Aku di sebelah sini.''

Lautan darah kini memenuhi seluruh ruangan. Warna dasarnya tidak lagi terlihat. Temboknya terlihat seperti baru saja di cat dengan warna merah. Terlihat indah jika apa yang terletak di lantai tidak terlihat. Ribuan potongan tubuh berserakan dimana-mana. Tidak ada satu pun anggota tubuh yang terlihat utuh.

Pria yang sejak tadi memberikan instruksi kepada timnya hanya meringkuk ketakutan setelah melihat apa yang terjadi. Satu per satu anggota tim yang ia banggakan di bunuh dengan brutal oleh seorang anak kecil berumur 5 tahun hanya dengan tangan kosong. Di lihat dari sudut manapun, suatu kemustahilan bagi seorang bocah memenangkan pertarungan dengan 200 prajurit terlatih yang di lengkapi dengan senjata. Namun, faktanya bisa. Dari total 200 kini hanya tersisa 1 orang yang masih hidup.

''A-ampun. Ku mohon ampuni aku. Aku tidak mau mati. Kumohon.''

Tak ada lagi kata-kata yang bisa ia ucapkan kepadanya selain permohonan untuk hidup. Sekitar beberapa jam yang lalu ia masih bercengkerama dengan teman-temannya. Tertawa, minum bersama, dan merayakan kesuksesan bersama yang akan datang pada misi selanjutnya. Rasanya itu bagaikan mimpi. Sekarang mereka semua telah mati.

Hanya saja ia tidak ingin mati mengenaskan seperti rekan-rekannya. Setidaknya ia mati dengan layak setelah masa tuanya.

''Kau tahu, rekanmu mati karenamu. Tanggunglah dosa itu hingga ajal menjemputmu.''

"Ya. Itu aku. Aku yang membunuh mereka. Jika saja aku menolak misi ini mungkin mereka masih hidup. Ha...Hahaha...Hahaha....Aku membunuh mereka...AKU MEMBUNUH MEREKA....HAHAHAHA.''

Rusaknya mental lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri. Pria itu tidak bisa dikatakan hidup juga mati, tapi otaknya tak berfungsi dengan semestinya. Yang ia pikirkan hanyalah rasa bersalah akan kematian rekan-rekannya.

Tap...Tap...

Suara langkah kaki menghentikan tindakan bocah itu. Tatapan dinginnya seperti siap menangkap mangsanya.

Dua orang berpakaian jas putih mendekat. Betapa tercengangnya salah satu pria tersebut setelah melihat genangan darah yang menghiasi ruangan tersebut. Ini seperti berada di dalam kandang monster.

''Ini terlalu mengerikan. Tim 10 adalah tim terbaik yang kita miliki dan di akui juga oleh musuh. Tapi ini....''

''Bagaimana hasil rekamannya?''

"Dia membantai mereka dengan tangan kosong.''

''Sepertinya Chris juga menjadi gila. Tim 10 benar-benar hancur.'' Tambahnya.

"Mungkin inilah yang ku tunggu. Aku akan mengubahnya menjadi mesin pembunuh. Siapkan semuanya.''

''Baik, Pak.''

Pria paruh baya itu maju lebih dekat dengan kaca yang membatasi mereka berdua.

''Jadilah senjataku.''

Sorot mata bocah itu tak terlihat hidup sama sekali. Dia hanya menatap kekosongan.

''Kenapa aku harus menerimanya?''

''Hmph....Aku menginginkan kekuatanmu untuk membunuh musuhku. Apa itu cukup?''

''Apa yang kudapat?''

''Apapun.''

''Kalau begitu aku mau kepalamu. Bagaimana?''

Seringai buas menghiasi wajahnya.

''Hanya jika semua musuhku juga mati.''

''Setuju.''

Dengan demikian kesepakatan tercapai.

''Sebelum itu katakan siapa namamu dan dari mana asalmu. Sebelumnya kami menemukanmu bersimbah darah. Lalu aku melihat simbol aneh di tubuhmu. Ketika aku melihatnya aku merasa aneh seperti aku tiba-tiba menangis dan muntah. Sebenarnya apa itu? Itu bukan simbol biasa kan?'' Tanya pria itu.

''Kau melihat terlalu jauh.''

''Jelaskan dirimu terlebih dahulu. Setelah itu aku.'' Tambah sang bocah.

''Baiklah. Ini juga sebagai perkenalan. Mandilah terlebih dahulu. Asistenku akan mengantarmu. Jangan membunuhnya. Aku masih membutuhkannya.''

Tangan bocah itu seketika berhenti.

''Ok ok.''

''Namaku James Charwoft seorang ilmuwan sekaligus detektif kepolisian. Yah, sebenarnya ilegal. Pekerjaan asliku adalah detektif. Ilmuwan hanyalah pekerjaan sampingan untuk mencari informasi. Saat ini kau ada di Hongbo, lab rahasiaku.''

''Detektif? Itu lucu sekali dan juga apa hubungan diriku dengan pekerjaan detektifmu?''

''Kau boleh tertawa. Aku tidak melarangmu. Saat ini aku sedang menyelidiki kasus yang sangat menarik.''

"Sepuluh tahun yang lalu ada sebuah insiden yang cukup menggemparkan dunia. Insiden ini di kenal dengan nama Military 68. Saat itu, sejumlah tentara dari beberapa negara sedang mengadakan latihan gabungan untuk mencari kandidat terbaik. Aku tidak tahu persisnya, tapi dari 2000 kandidat yang ikut serta di temukan tewas dengan tubuh tercabik-cabik. Berdasarkan rekaman CCTV, mereka bertarung melawan 10 anak kecil yang seumuran denganmu yang menggunakan tangan kosong. Hingga saat ini tidak ada yang tahu identitas mereka."

"Namun, ada seorang anonim yang mengirim surat ke pemerintahan dunia dengan isi 'Aku tahu letak pembunuh Military 68. Mereka berada jauh di dalam hutan. Mereka yang tersesat memiliki tujuan yang sama.' Informasi ini telah di sebar dan 5 tahun terakhir ini pemerintah dunia terus mengupayakan pencarian, tapi hasilnya sama saja. Tak ada petunjuk sama sekali. Aku juga hampir menyerah hingga keberadaanmu memberiku harapan lagi."

''Jadi, kau hanya sekedar tertarik saja?''

''Aku ingin balas dendam. Istri dan kedua putraku adalah korban dari ulah mereka. Hanya itu tujuanku.''

''..........''

''Sejujurnya ceritamu cukup membosankan, tapi aku ingin bertemu dengan mereka. Mungkin aku bisa menemukan sesuatu yang menarik.'' Tukas anak itu.

''Giliranmu.''

''Aku tidak tahu siapa diriku baik namaku maupun masa laluku. Dan untuk simbol ini, ini adalah kutukan dari sejumlah orang yang tidak ku kenal.''

Matanya tak menunjukkan kebohongan sama sekali. Dirinya saat ini hanyalah cangkang kosong yang tidak memiliki apapun.

''Itu sama sekali bukan perkenalan. Kalau begitu beritahu namamu ketika kau kembali.''

Percakapan berakhir dan sang bocah meninggalkan Hongbo dengan perlengkapan seadanya. Ia akan melakukan perjalanan untuk mencari 'mereka'. Jika itu adalah takdir, maka mereka pasti akan bertemu.

.

.

.

.

''Pak, apa Anda yakin mempercayainya?''

''Percaya? Hahaha....Tentu saja tidak. Dia itu hanyalah pion untuk menemukan target.''

''Lalu cerita itu?''

''Ah, itu bohong, meskipun tidak sepenuhnya. Itu untuk menarik simpatinya. Simbol itu akan menarik hama busuk dan mereka pasti akan muncul. Akulah yang akan mewujudkan keinginan Phyles. Eksperimennya tidak akan berakhir sia-sia.''

"Sebenarnya dia itu siapa? Beberapa anggota tim 10 menjadi gila karena mendengar namanya."

''Dia itu ilmuwan gila. Anak-anak yang tidak punya rumah di jadikan kelinci percobaannya. Dia berpendapat bahwa bakat yang di asah sejak dini akan memiliki potensi besar di masa depan. Coba bayangkan, saat ini dia masih seorang bocah, namun berhasil mengalahkan level medium. Apa jadinya jika ia tumbuh hingga dewasa? Mungkin ia bisa menaklukkan satu negara seorang diri."

"Itu....tidak mungkin kan...."

"Tidak. Itu bukan hanya mungkin, tapi suatu saat akan terjadi ketika dunia menjadi musuhnya. Di antara semua hasil eksperimennya, Anathema lah yang membuahkan hasil. Ada sekitar 150 anak yang memiliki simbol kutukan, tapi entah bagaimana semuanya tewas. Di samping mayat Phyles ada sebuah kertas bertuliskan 'Mereka berhasil melarikan diri. Kini tak ada yang bisa menghentikan mereka, kecuali salah satu dari mereka."

"Yah, sejak awal eksperimen Anathema bertujuan untuk menciptakan monster yang menghancurkan sistem pemerintahan dunia. Rasa sakit, ketakutan, dan kegilaan Phyles ada di dalam Anathema, meskipun sekarang itu justru menjadi senjata makan tuan."

''Huft....Kuharap Anda mengambil keputusan yang benar. Singa memang lucu sewaktu masih kecil, namun naluri liarnya tidak akan hilang. Ia tidak akan segan memangsa majikan yang telah merawatnya karena hewan buas tetaplah hewan buas dan monster tetaplah seorang monster.''

''Kau benar. Singa tetaplah singa. Ia tidak akan lupa bahwa ia adalah raja hutan. Namun, hewan yang telah jinak tidak akan mampu menggigit majikannya.''

''Bagaimana jika Anda salah?''

''Kau hanya perlu mengingatkannya pada proses yang pertama sebelum ia menjadi yang sekarang."

''Aku kalah.''

''Kita tak sedang berkompetisi. Hanya saja jika dia ingin menentangku maka aku akan mengembalikan hari-hari neraka itu padanya. Tidak ada yang bisa lepas dari genggamanku. Bukankah begitu, Phyles?''

.

.

.

.

.

Dibalik kegelapan yang pekat, sesosok misterius terlihat mengamati dari kejauhan dengan seringai jahatnya.

Siapakah dia?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku