/0/19910/coverorgin.jpg?v=0b94ad33c6c25cace4d10e28932213a4&imageMogr2/format/webp)
Jarum jam sudah menunjukan pukul 07:00 AM.
Seorang gadis bercadar tampak sibuk menjejal bekal nasi dan ponsel ke dalam tas. Kini Ia telah bersiap untuk berangkat kerja.
Ketika hendak keluar dari kamarnya, kakinya mendadak terhenti tepat di ambang pintu.
Kepalanya mendongkak menatap wanita paruh baya yang kini berdiri di hadapan dengan jarak dekat. "Ibu?"
"Tadi Sera datang buat jemput kamu. Tapi udah Ibu usir!" kata Ibu dengan nada yang terkesan ketus.
Mata gadis itu melebar. Ia tidak percaya jika Ibunya akan bersikap seperti itu pada teman kerjanya yang hendak memberi tumpangan motor. "Tapi kenapa, Bu? Aku kalau tidak naik motornya bisa telat," Gadis itu mulai terlihat gelisah. Wajah dibalik cadar itu tampak panik dan sesekali ia melirik Jam di dinding.
"Ibu sengaja mengusir dia biar kamu enggak usah kerja, Haura."
"Ya Allah ... Kok Ibu tega sih?" Haura merasakan pening di kepalanya. Sampai tangannya menyentuh kening yang mendadak terasa sakit. "Bu, Haura udah sering libur. Bisa -bisa gajinya dipotong besar. Padahal akhir bulan nanti, Kepengen Haura untuk melunasi hutang kasbon,"
Lea Nama Ibunya. Ia kerap kali meminta uang pada Haura dari hasil jeri payah selama kerja di toko Busana muslim. Kadang memaksanya untuk kasbon dengan jumlah melebihi dari gajinya pada majikan. Tentu saja Haura merasa keberatan. Tapi ia juga tidak bisa menolak permintaan Ibu lantaran takut dicap anak durhaka.
Haura adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya telah lama meninggal. Menjadikan dirinya pengganti tulang punggung dalam mencari nafkah untuk keluarga.
Kakak perempuan yang bernama Erin sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di kota lain.
Jadi, tinggal Haura sendiri yang harus bertanggung jawab dalam membiayai sekolah TK adiknya yang bernama Choki yang usianya sekitar Lima tahun.
Bukan hanya itu saja, Ia juga membiayai kebutuhan sehari-hari seperti untuk kebutuhan dapur dan sebagainya.
Lea tidak bekerja lantaran sibuk mengurus Choki, anak bungsu yang paling manja. Mulai dari mengantarkan sampai menjemputnya di sekolah TK.
Lea sebagai Ibu kelihatannya pilih kasih dalam bersikap baik terhadap anak. Terbukti perlakuannya terhadap Haura sangat berbeda jika dibandingkan dengan Erin dan Choki yang selalu di sayang dan dimanja oleh Lea.
Tapi, apa boleh buat? Haura hanya bisa bersabar hati. Walau bagaimana pun Lea adalah Seorang Ibu yang melahirkannya, nan harus dihormati.
"Hallahhh ... Kasbon! Ngapain dipikirin? Kan bisa juga bulan depan?!"
"Iya bisa, Tapi aku keberatan dengan ini. Hutang itu Dosa, Bu."
"Jangan sok suci kamu! Pake bilang itu dosa-itu dosa! Dipikir Ibu enggak tahu kelakuan kamu diluar sana kaya apa?!"
"Astagfirulloh ... " tangan Haura bergetar lemas. Tidak menyangka akan penilaian Ibunya terhadap dirinya berprasangka buruk. "Istighfar, Bu!"
"Kalau tentang Video ituloh, bagaimana?"
Haura benar-benar tidak mengerti yang dimaksud Sang Ibu. "Video? Video apa?"
"Itu makanya Ibu gak nggak ngasih kamu izin untuk kerja hari ini karena ada yang ingin ibu bicarakan tentang video itu,"
Lea berbalik menghampiri kursi di ruang tamu. "Sebaiknya kita ngobrol sambil duduk saja. Kaki Ibu pegal kalau kelamaan berdiri di situ,"
Mau tidak mau, Haura mengikuti langkahnya hingga dirinya sampai menduduki sebuah kursi.
Haura sangat penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Ibu. Jari-jemarinya sudah nampak berkeringat tengah meremas gaun gamis yang sedang dikenakan.
Entah, kenapa ia merasakan tidak enak hati. Seperti ada sesuatu yang buruk bakal terjadi padanya.
Haura menatap lekat-lekat ke arah sang Ibu yang tengah sibuk dalam mengotak-atik ponsel.
Kemudian, Lea menyerahkan ponselnya pada Haura. "Nih, kamu lihat ini!"
Dengan wajahnya yang diliputi oleh kebingungan dan rasa penasaran yang sudah di ubun-ubun, ia meraihnya dan segera menatap layar ponsel.
DEG!
Layar ponsel itu telah menampilkan adegan tak senonoh, membuatnya terkejut!
Sontak saja ia buru-buru menutup bola matanya dengan perasaan serba salah.
Berkali-kali suaranya terdengar tengah beristighfar.
Ponsel yang masih dalam genggaman tangan Haura tampak ikut bergetaran mengikuti perasaan gadis itu, lemas.
Lea buru-buru merebut ponsel itu. Membuat bola mata Haura membulat.
"Ini kamu kan yang ada di video ini?" tuduh Lea seraya mengacungkan ponselnya.
Haura menggeleng cepat. Ia membantah kalau pemerannya itu bukanlah dirinya. "Bukan Bu. Demi Allah, aku tidak pernah melakukan itu,"
"Bohong!" ucap Ibu tak percaya. Ia melirik lagi pada layar ponsel yang masih menampilkan adegan syurnya Seorang lelaki dengan perempuan bercadar. Namun, setengah telanjang dengan gamis bagian bawahnya yang di tilap ke atas. "Ini Rainer lagi main sama kamu. Gak usah mengelak deh, hanya karena kamu telah tertangkap basah sama Ibu,"
Di balik cadar bibir bawah Haura tampak bergetar. Menahan rasa sakit hati atas tuduhan yang tidak pernah ia lakukan. "Ibu, itu bukan aku. Ibu harus percaya sama aku," mohonnya dengan suara lirih.
"Bagaimana Ibu mau percaya sama kamu," Sembari menunjuk layar ponsel. "Ini aja terbukti, nih! Ini bukannya pakaian gamis dan cadar warna merah itu punya kamu?"
Haura membenarkan Bahwa Gamis bermotif kotak-kotak warna merah senada dengan cadar yang dikenakan pemain wanitanya sama persis seperti miliknya. Ia pernah kehilangan pakaian itu satu bulan yang lalu. Tapi, ia bersumpah bahwa wanita itu bukanlah dirinya.
"Udah ngaku aja, ngapain malu sama Ibu? Ibu akan minta pertanggung jawaban sama Rainer biar kamu segera dinikahin!"
DEG!
Badan rasanya mulai lemas.
Bahunya tampak menurun.
Jantung yang tiada hentinya berdetak lebih cepat.
Sosok Rainer dimatanya bukanlah pria yang diidamankan. Ia merasa keberatan dengan keinginan sang Ibu.
Reiner kerapkali bersikap kasar terhadapnya meski keduanya tidak ada hubungan apa-apa.
Seringkali Haura mendapat ancaman dari Rainer hanya karena dirinya menolak cinta. Dari jauh sebelumnya sudah terlihat tanda Redplag pada diri Reiner membuatnya ragu untuk menerimanya.
Sungguh, saat itu hingga kini Haura tidak menginginkan hubungan seperti pacaran.
/0/13707/coverorgin.jpg?v=8b0f0aed14811960624dd85d0ca9b14e&imageMogr2/format/webp)
/0/19244/coverorgin.jpg?v=d120edfc595220e29f599bab7a546f88&imageMogr2/format/webp)
/0/21618/coverorgin.jpg?v=a7b5668813765121b2e786b3df0b999a&imageMogr2/format/webp)
/0/26554/coverorgin.jpg?v=0692dd6d9b982272e6b4c6b01ce23c66&imageMogr2/format/webp)
/0/17481/coverorgin.jpg?v=8c3027a31b4f8a53203fcfb6b4783cc5&imageMogr2/format/webp)
/0/16578/coverorgin.jpg?v=5c6bf690f03fb1b0cd47f5aebbd1aab1&imageMogr2/format/webp)
/0/19300/coverorgin.jpg?v=5b64df787a9f35410ad77322b8fc82cb&imageMogr2/format/webp)
/0/4259/coverorgin.jpg?v=cb1dcacc96fc7ddceb6c328c1d504baa&imageMogr2/format/webp)
/0/7208/coverorgin.jpg?v=bf11b7cb5f27d34aa8eab7f20c7735ac&imageMogr2/format/webp)
/0/23401/coverorgin.jpg?v=4d80576acf8f0703d0660545e45c3910&imageMogr2/format/webp)
/0/26711/coverorgin.jpg?v=48c10a46de0ec983adbad7eef063097d&imageMogr2/format/webp)
/0/17229/coverorgin.jpg?v=513b725cac4054a999e490e3aec89f07&imageMogr2/format/webp)
/0/19239/coverorgin.jpg?v=be300e83521b6b4a326118cd359263a8&imageMogr2/format/webp)
/0/4762/coverorgin.jpg?v=90a37d2a1943403822f106421e397f2b&imageMogr2/format/webp)
/0/3531/coverorgin.jpg?v=72d3cabea25da2ff51c0cb0a8bec0cae&imageMogr2/format/webp)
/0/16672/coverorgin.jpg?v=d87fa4f845b95b8f9e90e34b460bad5e&imageMogr2/format/webp)
/0/27448/coverorgin.jpg?v=69fdb3d59063a885ba71f039d3386cdf&imageMogr2/format/webp)
/0/27575/coverorgin.jpg?v=74626d9c39a6f054b168321c21c05c34&imageMogr2/format/webp)
/0/2841/coverorgin.jpg?v=f985878837adf7ea89879cdbb243c038&imageMogr2/format/webp)